Pemilu 2014 dan 2019 bisa dikatakan sebagai tahun-tahun terberat dalam keberlangsungan keutuhan bangsa dan ujian bagi filsafat Pancasila. Sebagai orang biasa yang merasakan hiruk pikuk perpolitikan di akar rumput, sangat terasa bagi saya perpecahan yang diakibatkan oleh euforia Pemilu 2014 dan 2019. Bayangkan saja dua stasiun televisi besar saling sindir pasangan calon masing-masing. Kawan tongkrongan tak mau berkumpul karena beda pilihan politik, hahkan sepasang suami istri bercerai lantaran saling menyesatkan kedua kubu. Ini adalah cerminan jelas betapa parahnya Pemilu 2014 dan 2019 bagi persatuan nasional dan masyarakat.
Sektarianisme, kebencian perbedaan agama dan sukuisme menjadi komoditas politikus bobrok yang sengaja mengobarkan “politik identitas” untuk kepentingan pribadinya.Kekacauan negara oleh sektar juga diamini oleh Prof. Komarudin Hidayat, seorang pakar politik dan agama dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
“Dalam politik, kalau yang menonjol [adalah] identitas sektarian, maka semakin berat bebannya bagi negara. Identitas sektarian menambah beban dan problem negara,” ujar Komaruddin Hidayat (Gatra.id, 16/09/2019).
Apakah politik identitas itu begitu berbahaya, sehingga kita patut mewaspadainya? Pertanyaan ini akan kita ketahui jawabannya, dengan mulai memahami apa itu politik identitas. Politik identitas adalah sebuah alat politik suatu kelompok seperti etnis, suku, budaya, agama atau yang lainnya untuk tujuan tertentu, misalnya sebagai bentuk perlawanan atau sebagai alat untuk menunjukkan jati diri suatu kelompok tersebut (Alfaqi, 2016).
Secara sederhana, politik identitas adalah sikap politik yang mengedepankan faktor primordial seperti ras, suku, etnis bahkan agama dalam pilihan politik. Menginginkan orang yang satu suku atau satu agama dengan dirinya bisa berkuasa atau jika ada sosok yang berbeda secara identitas dengan dirinya, maka secara mentah dia akan menolaknya. Alih-alih kita memilih calon pemimpin dengan kualifikasi kebaikan budi dan kemampuan teknis, mereka yang terjebak oleh politik identitas hanya mementingkan kekuasaan orang yang satu kelompok atau memiliki kesamaan dengannya.
Lalu, seberapa bahaya sih politik identitas? Jawabannya jelas sangat berbahaya, baik bagi pembangunan negara dan keutuhan sebuah bangsa.
Menurut almarhum Syafi’i Ma’arif, politik identitas,merupakan politik yang fokus utama kajian dan permasalahannya menyangkut perbedaan-perbedaan yang didasarkan atas asumsi-asumsi fisik tubuh, politik etnisitas atau primordialisme, dan pertentangan agama, kepercayaan, atau bahasa (Ma’arif, 2012).
Dengan kata lain, orang-orang yang terperangkap dengan politik identitas akan terjebak oleh pola pikir yang sempit. Mereka hanya memandang pemimpin yang ideal hanya jika seetnik atau satu agama dengannya. Mereka mengabaikan kualifikasi lain dalam melihat calon pemimpin, seperti keutamaaan budi pekertinya, etos kerjanya, serta kecerdasan intelektual dan emosinya. Mereka yang terjebak dengan fanatisme identitas akan membuang itu semua.
Bisa dibayangkan jika negara dipimpin oleh orang yang tak memiliki kualitas akhlak dan kecerdasan yang baik. Bagaimana kita yakin bahwa ia bisa membangun bangsa? Bagaimana kita yakin ia bisa menuntaskan kasus kejahatan dan korupsi di negeri ini? Dan yang terpenting, bagaimana ia bisa menjaga demokrasi dan kebebasan sipil di negeri ini? Kebebasan dan demokrasi membutuhkan iklim politik yang sehat dan penegakan hukum yang adil.
Indonesia kedepannya membutuhkan pemimpin yang berani, memiliki citra kemanusiaan tinggi, dan visi pembangunan Indonesia ke depan. Tanpa hal itu, maka Pemilu 2024 mendatang akan sia-sia. Jika politik identitas yang diunggulkan, maka Pemilu mendatang hanya akan menjadi euforia pesta demokrasi tanpa memiliki manfaat, dan bahkan berbahaya untuk bangsa ini.
***
Tak hanya di Indonesia, di Amerika Serikat yang maju pun juga terjebak oleh penyakit politik identitas ketika Donald Trump naik ke podium pemilihan presiden dan menyampaikan narasi kebencian pada imigran asing di AS. Tom G Palmer, seorang intelektual libertarian dalam sebuah esai kecil, memperingatkan seluruh warga Amerika yang mulai tergiur oleh politik identitas agar sadar betapa bahayanya politik identitas.
“Gerakan-gerakan semacam itu menantang nilai-nilai dan prinsip-prinsip libertarian di seluruh dunia, terutama di Eropa, di Amerika, dan di beberapa bagian Asia, tetapi pengaruhnya terasa di mana-mana. Mereka sama-sama menolak secara radikal ide-ide nalar, kebebasan, dan supremasi hukum yang menjiwai Pendiri Amerika dan, memang, merupakan fondasi modernitas,” (Cato.org, 2016). Palmer berusaha meyakinkan masyarakat bahwa apa yang diutarakan oleh para politikus rasis tersebut tidak mencerminkan jiwa sejati warga Amerika kecuali kebohongan.
“Mereka yang lebih memilih konstitusionalisme daripada kediktatoran, pasar bebas daripada kroni atau statisme sosialis, perdagangan bebas daripada autarki, toleransi daripada penindasan, dan harmoni sosial daripada antagonisme yang tidak dapat didamaikan perlu sadar! karena tujuan kita: kemakmuran dan perdamaian yang berada dalam bahaya besar,” kata Palmer (Cato.org, 2016).
Sejarah sudah membuktikan betapa disruptifnya politik identitas. Rasisme di Jerman telah membuat negara tersebut bangkrut dan terpecah belah. Konflik antar etnis telah menyebabkan Yugoslavia pecah dan terjadi pertumpahan darah antara Serbia dan Bosnia. Di Indonesia, politik identitas juga telah menyebabkan kekacauan dan krisis politik yang luar biasa. Peperangan antar agama pada dekade 2000-an lalu membuat bangsa ini tersayat parah.
Melihat betapa hitamnya politik identitas dalam lembar sejarah kita, sudah saatnya Pemilu kali ini kita suarakan “Tolak Politik Identitas” dan dengan kompak dan kuat menolaknya. Kita sebagai generasi muda adalah ujung tombak negeri ini. Sudah saatnya kita membangkitkan kesadaran bahwa bangsa ini terlalu mahal untuk dipecah belah oleh isu-isu rasial dan agama. Kita membutuhkan kemajuan teknik, mendorong ekonomi global, pertukaran pengetahuan yang pada intinya adalah persaudaraan global tanpa melihat etnis, warna kulit dan keyakinan agama.
Mari bersama kita wujudkan politik bersih! Membuat sehat kembali iklim politik di Indonesia dan merekatkan persaudaraan sesama kita. Yakinlah bahwa politik identitas dan rasis sudah bukan zamannya lagi. Kita hidup di zaman global, di mana perdamaian dan harmonisasi jauh lebih dibutuhkan dibandingkan keutamaan ras dan permusuhan agama.
Referensi
Alfaqi, M. Z. (2016). “Memahami Indonesia Melalui Prespektif Nasionalisme, Politik Identitas, Serta Solidaritas”. Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, 28(2).
https://www.cato.org/policy-report/november/december-2016/new-old-challenge-global-anti-libertarianism. Diakses pada 24 Oktober 2022, pukul 20.00 WIB
https://www.gatra.com/news-438114-politik-komaruddin-hidayat-sebut-politik-identitas-hambat-kemajuan-bangsa.html. Diakses pada 24 Oktober 2022, pukul 18.43 WIB.
Maarif, Ahmad Syafii. 2012. Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita. Jakarta: Democracy Project.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com