“Aku tidak suka dengan Tuhan yang tidak pernah berubah.” – Afrizal Malna dalam Biografi Yanti 12 Menit
Saat yang disebut sebagai kaum intelektual, dengan alasan argumentatif mereka sendiri, tidak berteriak mengikuti suara “rakyat” atau yang juga sering disebut “kaum tertindas,” mereka dituduh tidak memiliki keberpihakan kepada kelompok kelas bawah. Tapi jikapun mereka ikut berteriak menyerukan penindasan itu, kaum intelektual ini akan tetap dipojokkan dengan ungkapan tak memiliki basis massa dan/atau, lewat tragedi analisa Marxis, dianggap hanya menyuarakan kepentingan kelasnya sendiri. Kenapa? Karena mereka kaum intelektual non-Marxis.
Berhadapan dengan model analisis semacam ini, terutama analisa kelas Marxisme, tidak ada ruang bagi yang “bukan kami.” Bagi yang lain yang memikirkan problem masyarakat dengan cara yang juga lain dari para intelektual Marxis itu. Bagi yang tiba dalam kesimpulan-kesimpulan berbeda dari apa yang telah mereka tetapkan sebagai kesimpulan.
Dalam rangka analisa Marxis, persoalannya selalu sederhana dengan mengikuti “hukum-hukum” mereka yang juga sederhana bak ketetapan hukum ilahiah yang selalu benar dan tidak akan pernah berubah.
Persoalan dengan Marxisme bahwa Ia menyediakan seperangkat metode analisa untuk tiba pada apa yang mereka andaikan sebagai tujuan yang baik dan benar. Sebentuk metode untuk melihat dan menimbang sejauh apa gagasan lain dari sang liyan dapat mencapai tujuan itu. Tujuan generiknya bisa sama, seperti kebebasan, keadilan, dan seterusnya. Tapi cara untuk tiba pada tujuan itu hanya ada satu, yakni yang mengikuti cara-cara yang telah digariskan dalam sejarah panjang pemikiran Marxisme yang “logis” dan “ilmiah” itu.
Maka yang muncul dari analisis-analisis itu melulu tuduhan yang dibungkus dengan berbagai “diskursus analitis” sehingga tampak argumentatif. Padahal gagasannya hanya itu-itu saja, tunggal, dan sederhana: diluar cara kami semua harus dicurigai sebagai membawa kepentingan kelasnya. Yang tak terlihat adalah, padahal terlalu jelas, mereka yang melakukan analisa juga datang dari kelas yang bukan bawah.
Bagaimana bisa mereka jadi memiliki keberpihakan atas kelas tertindas dan tidak perlu dicurigai sebagaimana yang lain? Karena mereka bicara dari posisi yang jelas, yakni posisi yang disediakan bagi mereka oleh wacana Marxisme. Mereka menggunakan analisa kelas, analisa Marxis. Itu berarti mereka Marxis, bukan liberal misalnya.
Dan, karena Marxisme adalah “class struggle in theory,” maka itu juga berarti mereka mewakili kepentingan kelas bawah, kaum tertindas. Sederhana saja, sesederhana kita membedakan antara orang yang mengenakan baju merah dengan baju putih.
Kesederhanaan yang gigantik dan menyeluruh. Yang, lebih dari segalanya, begitu sederhana untuk menganalisa hal ihwal yang segala sesuatunya telah ditetapkan sebelumnya dalam cara dan tujuannya. Hukum bagi mungkinnya analisis mereka itu berlaku secara impersonal dan tidak datang dari luar hal ihwal yang dianalisa tapi dari dalam posisi hal ihwal itu sendiri. Posisi yang mereka sebut “kelas” dengan model klasifikasi yang mengharukan.
Dan hukum itu sudah diketahui sebelumnya berdasarkan apa yang telah ditetapkan oleh teori mereka dengan menggunakan sebentuk logika epistemik yang berfungsi menyederhanakan keseluruhan dan menyeluruhkan kesederhanaan diskursif itu. Karenanya segala sesuatu yang mendasari keberadaan hal ihwal itu bisa dipastikan akan mengikuti “hukum-hukum” tersebut, sebagaimana bola menggelinding mengikuti hukum-hukum fisika.
Namun, secara seketika dan sungguh mengejutkan, “hukum-hukum” itu menjadi begitu saja tidak berlaku ketika diarahkan pada para penganut, pengaku, dan pengguna “hukum-hukum” itu. Bagaimana bisa?
Sebagaimana semua teori mereka berlangsung secara sederhana dan “ilmiah” kita juga bisa mencoba untuk menjawab pertanyaan ini dengan teori mereka yang tak kurang sederhananya mengenai ideologi sebagai kesadaran palsu. Semua yang tidak menganut, mengakui, dan menggunakan “hukum-hukum” mereka adalah para makhluk malang yang terkurung dalam kesadaran palsu. Karenanya wajar jika makhluk-makhluk ini menjadi sasaran dari keberlakukan “hukum-hukum” itu.
Hal yang sebaliknya, tentu saja, memberi jaminan bagi ketidakberlakuan “hukum-hukum” itu. Siapapun kamu, termasuk jika kamu intelektual lulusan universitas luar negeri dari sebuah negeri di mana banyak penduduknya yang bahkan tidak cukup mampu untuk menyekolahkan anak mereka keluar dari kampungnya, kamu adalah pembawa suara dan kepentingan kelas bawah jika kamu seorang Marxis.
Artinya, jika kamu menganut, mengakui, dan menggunakan asumsi, teori, sekalian segala mitologi Marxisme. Dan kepada para intelektual ini “hukum-hukum” yang “canggih” dan “ilmiah” itu tidak akan berlaku karena mereka memiliki kesadaran yang benar.
Setiap gagasan akan mengandaikan kebenaran gagasan itu sendiri. Ini tidak masalah. Sehingga tidak ada masalah pula bahwa hal ini telah menjadi dasar dari anggapan kaum Marxis sendiri akan kebenaran gagasan-gagasan mereka. Singkatnya, Marxisme tentu saja berhak untuk dianggap sebagai gagasan yang mungkin benar. Persoalannya hanyalah, mengikuti Afrizal Malna, “Aku tidak suka dengan filsafat yang tak pernah (mau) berubah…”
Marxisme sebagai sebuah sistem gagasan yang menyeluruh dan lembam atas kritik, pertama-tama, mengklaim kebenarannya dengan menolak falsifikasi (ide Popper yang seorang liberal ini juga dianggap sebagai “menyembunyikan” kepentingan kelas borjuis) dan, kedua, tidak pernah mau berubah. Walhasil, Marxisme kemudian tampil menjemukan, abai terhadap fakta untuk dianggap sains, sinis terhadap imajinasi untuk dianggap filsafat, esensialis dan konservatif secara teoritis. Atau, dalam sarkasme filsafat, terlalu banyak Hegel dan terlalu kurang Nietzsche.
Catatan:
Salam libertarian untuk Subronto Aji dan percayalah bahwa Derrida jauh lebih baik daripada Marx.