Wawancara dengan Arief Anshory Yusuf, Ph.D

556

Isu ketimpangan di Indonesia menjadi isu yang krusial sejak reformasi 1998. Ketimpangan pendapatan yang ekstrem dalam suatu wilayah akan menyebabkan eksternalitas negatif, misalnya dengan munculnya tingkat kriminalitas yang tinggi. Walaupun begitu, banyak yang belum benar-benar memahami cara efektif untuk menanggulangi ketimpangan. Paradigma sosial-politik yang salah arah, dengan memahami ketimpangan harus disandingkan dengan kesetaraan ekstrem (kebijakan-kebijakan khas sosialisme/komunisme) masih sering ditawarkan. Padahal instrumen ekonomi seperti fiskal dan equal opportunity bisa menjadi solusi untuk menipiskan gap ketimpangan. Untuk membahas hal tersebut Suara Kebebasan mewawancarai Arief Anshory Yusuf sebagai salah satu pakar ketimpangan ekonomi terbaik di Indonesia. Arief adalah pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran, juga menjabat sebagai direktur Center for Economic Development Studies. Arief yang mendapatkan doktor ilmu ekonomi dari Australian National University mempunyai puluhan publikasi nasional maupun internasional berkaitan dengan isu ketimpangan. Simak wawancara Arief Anshory bersama Editor Suara Kebebasan, Rofi Uddarojat.

Apa ketimpangan yang paling nyata di Indonesia?

Ketimpangan adalah isu yang multi-dimensional. Ada ketimpangan kaya-miskin, pusat-daerah, barat-timur, dan bahkan ketimpangan gender. Bila ditanyakan bentuk ketimpangan yang nampak, saya melihat dari impact-nya. Misalnya dampak ketimpangan adalah penyakit sosial yang bisa jelek terhadap struktur kemasyarakatan. Bahkan saya merasa bahwa sebagian dalam lingkungan kita tingkat kejahatan semakin meningkat, tingkat stress masyarakat semakin meningkat, begal ada dimana-mana. Saya rasa kasus-kasus tersebut adalah bentuk ketimpangan. Intinya adalah kasus sehari-hari yang membuat kita mengelus dada.

Di Bandung contohnya sudah sangat terasa dampak ketimpangan. Pertumbuhan ekonomi Bandung sangat tinggi 9%, namun kemiskinannya dalam 6-10 tahun terakhir meningkat. Something wrong. Pertumbuhan ekonominya ternyata tidak merata. Saya sendiri pernah melakukan kajian dan menghitung pertumbuhan ekonomi, yang dihitung melalui PDRB. PDRB itu menghitungnya sederhana, BPS melakukan survei kepada business unit kemudian ditanya sales-omsetnya berapa, berapa biayanya, selisihnya dari keduanya adalah nilai tambah. Nilai tambah komponennya gaji dan return on capital. Yang gaji mungkin orang-orang yang tinggal di Bandung, tetapi capital return-nya itu belum tentu. Saya bandingkan dengan tingkat konsumsinya di BPS yang ternyata Cuma 4%. Lalu kemana 4% sisanya? Saya memprediksi bila trennya seperti ini terus, maka Bandung either jadi kaya Gotham tanpa Batman, atau jadi Beverly Hills yang hanya orang-orang kaya yang bisa tinggal.

Apa sebab dan akar utama ketimpangan secara umum di Indonesia?

Penyebab bisa dibagi dua. Yang pertama, selama ini pertumbuhan Indonesia tidak pernah pro-poor. Kalau anak ekonomi gampang, lihat saja survei setiap tahun. Pertumbuhan konsumsi masyarakat miskin dan kaya, mana yang lebih besar. Itu saja. Kalau pertumbuhan ekonomi 8% atau 7% , tetapi pertumbuhan orang kaya 20% dan orang miskin 2% berarti inequality creating. Seharusnya kan kalau inequality reducing, sebaliknya. Nah, Indonesia ini selalu inequality creating, ketimpangannya selalu melebar.

Tetapi kalau saya ngeliat root cause-nya adalah negara. Negara gagal hadir menerapkan keadilan (equity) dalam sistem pasar. Peran negara seharusnya bisa menjaga equity ketika pasar dan ekonomi terus tumbuh. Instrumen negara agar bisa menjaga equity dan mengurangi ketimpangan satu-satunya adalah kebijakan anggaran/fiskal. Baik dari sisi penerimaan, misalnya pajak progresif. Tetapi masalahnya di Indonesia, orang-orang yang seharusnya bayar pajak tidak membayar pajak. Penerimaan pajak kita masih rendah sekali. Kalangan kelas menengah yang relatif kaya misalnya, sebagian besar tidak bayar pajak. Jadi realitasnya, penerimaan pajak kita tidak progresif.

Kalau dari sisi spending, juga bisa mengurangi ketimpangan. Selama ini hal itu masih jauh. Banyak sekali kebijakan anggaran yang memang ketika dianalisis melalui benefit incidence masih jauh dari baik. Contohnya pernah ada studi dari Global Development Network mengenai kebijakan anggaran di Indonesia. Pengeluaran anggaran pendidikan untuk tingkat SD misalnya, masih dinikmati orang-orang miskin. Tapi ketika masuk SMP dan SMA, ternyata pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan bukan dinikmati oleh kalangan miskin. Belum dulu ketika kebijakan subsidi BBM belum dihapus, subsidi BBM itu sangat-sangat inequality creating, bukan bicara miliaran lagi, tetapi sudah ratusan triliun untuk subsidi BBM. Maka memang yang salah negara, karena belum menjalani peran hakiki-nya sebagai pengurang ketimpangan.

Kira-kira pertumbuhan industri seperti apa yang baik untuk pengentasan kemiskinan dan menipiskan ketimpangan?

Tergantung dari kapan melihatnya. Kalau bicara 1-2 tahun ke depan, karena orang miskin kita banyak di agriculture, maka harusnya agriculture focused development misalnya. Tapi kalau bicara 10-20 tahun ke depan, nggak mungkin pertanian terus. Mungkin bisa industry labour intensive, karena bagaimanapun kita punya jutaan informal labour yang bagaimanapun harus meningkat hidupnya. Yang jadi masalah di pembangunan era 2000-an sekarang, dulu ketika orang desa pindah ke kota, dia meningkat taraf hidupnya, sekarang tidak. Kalau saya lihat data, ternyata ada hal mencengangkan. Misalnya, real wage, berupa upah dibagi daya beli. Di desa upah riilnya turun selama beberapa tahun terakhir. Nah hal ini tidak independen dengan sektor manufaktur, mungkin karena dampak manis reformasi, ketika serikat buruh semakin kuat maka otomatis ada effect terhadap (berkurangnya) kesempatan kerja. Ketika balik ke desa, supply labour bertambah sedangkan demand-nya sedikit, maka upah riil terus turun. Di situ market bekerja. Nah di situ sangat berdampak pada ketimpangan.

Yang jelas sumber daya alam bukan sektor yang inequality reducing, tetapi capital intensive. Kalau capital intensive, jelas akan inequality creating. Bolehlah sektor agriculture, tapi harus dicermati bahwasanya petani sekarang itu kaya-kaya, dalam hal ini adalah pemilik tanahnya. Sedangkan yang miskin adalah buruh taninya.

Saya kesal sekali dengan pemerintahan sekarang, karena ultra-nasionalis yang melarang impor. Mereka nggak mikir, Bu Susi (menteri perikanan – editor) mengatakan bahwa importir garam kan ratusan, sedangkan petani garam kan ribuan. Tetapi jangan lupa, konsumen garam kan jutaan. Beras misalnya, sejak 2004 pemerintah melarang impor beras, langsung seketika itu juga harga beras Indonesia menjadi 30% lebih mahal dari harga beras internasional. Hal itu sangat signifikan menaikkan kemiskinan.

Menyambung masalah ini, berarti konsep swasembada adalah konsep yang salah?

Saya lebih setuju dengan ketahanan pangan (food security) dan yang jadi masalah sekarang banyak orang yang menyamaratakan food security sama persis dengan self-sufficiency atau swasembada pangan. Padahal beda sekali. Singapura adalah food secured, maksudnya adalah accessibility atau akses terhadap makanan. Tetapi yang dimaksud dengan self-sufficiency itu sama saja menyuruh semua rumah di Indonesia harus punya genset (baca: pembangkit listrik) sendiri. Kan nggak mungkin setiap rumah harus punya pembangkit listrik sendiri? Nah masalahnya di Indonesia sekarang ketika pemerintah menutup kran impor lagi, berarti harga beras sudah naik jadi 60% harga internasional.

Sebenarnya operasi pasar yang paling alamiah adalah membuka kran impor. Dan lagian, yang menikmati harga beras naik di Indonesia itu bukan petani beras yang miskin. Beberapa penelitian di Indonesia yang sahih menyatakan bahwa buruh tani adalah net buyers of price. Mereka menerima upah sebagai buruh tani, uangnya dibawa ke pasar untuk membeli beras, ternyata harga beras naik celaka lah dia.  Saya yakin bahwa sebuah kebijakan akan bias, ketika ditekan oleh suatu kelompok kecil tetapi organized. Kebijakan ini tidak akan mendukung kepentingan publik yang lebih luas. Jadi kalau dikatakan kebijakan stop impor ini mendukung kelompok petani, kelompok petani yang mana? Ya pastilah pencari rente.

Kembali lagi ke ketimpangan, bagaimana konsep equal opportunity bisa mengatasi ketimpangan bila diletakkan dalam konteks Indonesia?

Saya setuju sekali bahwa konsep equality of outcome bertentangan dengan konsep khilafah di muka bumi. Manusia menjadi pemimpin peradaban dengan adanya peradaban, dengan cara dua hal: akal dan passion. Passion itu artinya ingin ini dan itu, oleh karena itu manusia bisa inovatif. Dan ini membantu peradaban dengan passion ini membutuhkan satu syarat penting yaitu: meritokrasi. Kalau nggak ada meritokrasi hal itu nggak akan jalan dan tidak akan ada passion. Orang males aja gitu kalau nggak ada meritokrasi. Sehingga equality of outcome akan mematikan passion dan meritokrasi, dan tidak berfungsilah kita sebagai manusia yang menjalankan peradaban.

Nah, cuma gini. Inequality mungkin timbul karena inequality in effort or talent, atau inequality in circumstances di luar kontrol individu tersebut. Menurut Rawls-ian idea, kita tahu manusia itu tidak memilih bagaimana dilahirkan. Jadi setiap individu mempunyai start yang berbeda-beda. Sehingga kita harus memberikan semuanya opportunity yang sama, yaitu dalam fungsi manusia seperti pendidikan dan kesehatan. Contohnya, orang yang punya penghasilan 10.000 per hari itu masih ada 50% penduduk Indonesia. Bayangkan kalau dia punya anak, nggak mungkin lah terpikir membeli susu. Padahal protein untuk perkembangan bayi sangat vital untuk perkembangan otak. Kalau dia nggak punya gizi yang baik, mau disuruh bimbingan belajar semahal apapun nggak akan bisa lulus masuk Unpad. Kalau dari awalnya nggak cukup gizi. Itu kan salah satu bentuk Inequality of Opportunity. Di universitas-universitas negeri kan ada program yang namanya Bidik Misi, yaitu beasiswa kuliah untuk orang-orang miskin yang ternyata 30-40% -nya terbuang tidak terisi. Kenapa? Karena untuk dapat beasiswa itu harus lulus tes. Sedangkan mereka nggak mampu. Nah, disini harus ditegakkan equal opportunity tadi.

Pertanyaan terakhir lebih ke filosofis, kalau menurut Bapak peran negara bagusnya sampai batas mana?

Kalau saya sih sederhana aja, dimana ketika pasar tidak mampu menanganinya. Di mana saja? Keadilan (equity), negara harus ikut kontribusi dengan menegakkan keadilan lewat fiskal. Kedua, public goods. Bisa provide only atau juga ikut produce, dan ketiga environmental issue dan sustainibility.

Kalau Bapak setuju dengan ikut campur negara dalam ekonomi, contohnya dengan BUMN?

Saya tidak anti-BUMN. Yang saya anti ketika BUMN tersebut tidak ikut berkompetisi. Seperti banyak yang bilang bahwa kalau ada Petronas, nanti Pertamina rugi. Saya bilang, kenapa harus rakyat harus membayar ketidakbecusan korporasi? Kalau korporasi ya bersaing dong dengan yang lain. Boleh ada BUMN, tetapi jangan dibemper. Dia harus bersaing dengan yang lain.

Ada kasus-kasus tertentu yang membutuhkan BUMN masuk, seperti Public Service Obligation dan daerah-daerah yang timur jauh dan sulit swasta masuk, bolehlah ada BUMN. Tetapi kalau suatu area sudah friendly for competition, maka bubarin aja.

Monopoli ada dua macam, pertama yang tidak alamiah seperti monopoli pesawat terbang dulu itu harus dibubarkan. Tetapi ada monopoli yang sektor utility seperti air, listrik tidak bisa dimasuki perusahaan listrik dalam satu kota. Tetapi bukan berarti tidak bisa kompetitif, caranya gampang dalam ekonomi. Untuk operator listrik, why not dikompetisikan. Jadi dalam suatu kota ada PLN negara dan PLN swasta. Silahkan di-compete. Mana yang lebih efisien.