Vonis Sambo dan Hukuman Mati di Indonesia

    99
    Sumber gambar: https://jatim.antaranews.com/berita/651109/sambo-saya-siap-bertanggung-jawab

    Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang dipimpin Wahyu Iman Santoso dengan anggota Morgan Simanjuntak dan Alimin Ribut Sujono, memvonis Ferdy Sambo dengan vonis mati, Senin, (13/2/2023). Vonis ini lebih berat dari tuntutan penjara seumur hidup jaksa penuntut umum. Meskipun demikan, hukuman mati ini masih menjadi perbincangan di kalangan masyarakat.

    Seperti diketahui, bahwa babak akhir kasus yang melibatkan pembunuhan Brigadir Yoshua merupakan salah satu episode paling banyak menyita perhatian masyakarat. Selain, motif yang menegangkan karena adanya pembunuhan berencana, namun pembunuhan yang dilakukan oleh seorang jenderal bintang dua ini menyerat banyak pihak di tubuh institusi Polri.

    Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan Ferdy Sambo terlibat dalam pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J).  Sambo dijatuhi hukuman mati oleh hakim dianggap terbukti melanggar Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Majelis hakim memperoleh keyakinan yang cukup bahwa terdakwa telah melakukan penembakan terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat, serta melakukan pembunuhan berencana terhadap Yosua. Menurut hakim, Sambo memikirkan secara rinci soal lokasi pembunuhan hingga mengajak orang lain ikut membantu (cnnindonesia, 14/2/2023).

    Putusan itu juga menjelaskan dengan jelas, bahwa ada beberapa hal yang memberatkan Sambo, di antaranya, perbuatan Sambo mengakibatkan duka mendalam bagi keluarga korban Yosua. Kemudian, perbuatan Sambo telah mencoreng institusi Polri di mata masyarakat Indonesia dan dunia internasional dan telah menyebabkan banyaknya anggota Polri lainnya terlibat. Selain itu, Sambo dianggap berbelit-belit memberi keterangan di persidangan dan tidak mengakui perbuatannya.

    Lantas, dengan berbagai pertimbangan tersebut, maka Majelis mengganjar Sambo dengan putusan vonis hukuman mati. Namun, hal itu masih menyisakan perdebatan yang cukup dinamis, terlepas dari ruang hukum yang memberikan pengaturan hukuman mati yang diatur dalam Pasal 10 KUHP.

    Penerapan hukuman mati merupakan isu yang melahirkan pro dan kontra. Hal ini dapat dilihat di mana aspek hukuman mati memiliki aspek sejarah dan nilai yang melegitimasi pandangan tersebut. Di sisi lain, hukuman mati juga mendapatkan banyak kritik karena hak hidup adalah karunia yang melekat pada individu yang tidak bergantung pada hukum, bersifat universal, fundamental, dan tidak dapat dicabut. Silang pendapat itu juga dapat dilihat dari fakta bahwa beberapa negara telah menghapus penerapan hukuman mati. Sebaliknya, beberapa negara juga masih menerapkannya, termasuk Indonesia.

    Sebetulnya, beberapa fakta menjelaskan bahwa, di negara lain hukuman mati dihapus dengan beberapa alasan. Pertama, pidana mati tidak seimbang dengan kesalahan yang dibuat. Selain itu, kedua, hukuman mati menghilangkan kemungkinan untuk memperbaiki diri dari terdakwa. Dan ketiga, ada kemungkinan hakim salah dalam menjatuhkan hukuman sehingga dampaknya sangat fatal bagi terdakwa (Suarakebebasan.id, 20/4/2022).

    Seperti diketahui, penerapan hukuman mati masih ada sebagai langkah untuk memberikan efek jera kepada tersangka. Namun, secara ilmiah dapat dikatakan bahwa hukuman tidak memenuhi syarat dalam menjadi faktor determinan untuk menimbulkan efek jera (deterrent effect), dibandingkan dengan jenis hukuman lainnya. Kajian PBB tentang hubungan hukuman mati (capital punishment) dan angka pembunuhan antara tahun 1988-2002 berujung pada kesimpulan hukuman mati tidak membawa pengaruh apapun terhadap tindak pidana pembunuhan dari hukuman lainnya, seperti hukuman seumur hidup. Bila direlevansikan dalam berbagai contoh misalnya, meningkatnya kejahatan narkoba, terorisme, atau kriminal lainnya tidak semata-mata disebabkan oleh ketiadaan hukuman mati, tetapi oleh problem struktral lainnya, seperti kemiskinan atau aparat hukum/negara yang korup. Bahkan, jika dilihat lebih seksama untuk kejahatan terorisme, hukuman mati umumnya justru menjadi faktor yang menguatkan berulangnya tindakan di masa depan. Hukuman mati menjadi amunisi ideologis untuk meningkatkan radikalisme dan militansi para pelaku (kontras.org/17/2/2022).

    Oleh karena itu, dalam konteks hukuman mati, penting untuk melihat hal tersebut sebagai bagian penting dalam konteks sistem hukum. Apakah hukuman mati masih cukup penting dan diperlukan untuk terus dipertahankan dalam perjalanannya dan bagaimana peran hukum terhadap pelaksanaan hukuman mati tersebut. Di sisi lain, hak atas hidup harus dipahami sebagai asas final yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun, termasuk oleh negara. Seperti yang diungkapkan oleh John Locke, setiap individu oleh alam dikaruniai hak yang melekat atas hidup, kebebasan, dan kepemilikan yang disebut sebagai  natural rights.

     

    Referensi

    https://kontras.org/2022/01/17/pidana-mati-belum-tentu-menyelesaikan-masalah/. Diakses pada 20 Februari 2023 pukul 04.00 WIB.

    https://suarakebebasan.id/cerita-webinar-forum-kebebasan-tentang-polemik-hukuman-mati-di-indonesia/ Diakses pada 19 Februari 2023 pukul 18.300 WIB.

    https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230214065524-12-912631/fakta-fakta-vonis-ferdy-sambo-hukuman-mati-motif-masih-misteri. Diakses pada 19 Februari 2023 pukul 20.00 WIB.