Visi Tragis vs Visi Utopia

    893

    Mengapa kita melakukan perang? Mengapa ada kemiskinan? Mengapa penduduk dunia gemar melakukan kekerasan antar sesama manusia?

    Sebagian kalangan mungkin berpendapat bahwa perang dan kemiskinan terjadi karena faktor negara, agama, serta berbagai institusi sosial-politik dan sistem ekonomi yang dibangun oleh manusia. Karena ada negara, maka manusia rela menghilangkan nyawa orang lain dan merampas suatu wilayah agar negaranya mendapatkan kejayaan dan keagungan.

    Agama juga dianggap sebagai penyebab utama manusia saling membunuh satu sama lain. Karena manusia mempercayai adanya Tuhan dan kehidupan mulai setelah mati, maka tak segan-segan ia rela mengakhiri kehidupan manusa lainnya demi menggapai surga.

    Kemiskinan juga merupakan sesuatu yang disebabkan dari sistem ekonomi yang kita bangun, yang menganggap uang dan kekayaan sebagai sesuatu yang sangat penting. Karena seseorang dituntut untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, maka hal tersebut menyebabkan rasa kepedulian terhadap orang lain yang kurang beruntung menjadi hilang.

    Oleh karena itu, mereka yang memilki pandangan demikian umumnya mengadvokasi adanya revolusi terhadap sistem, institusi, dan kepercayaan yang ada saat ini. Mereka berpandangan bahwa ada dunia lain yang dapat kita gapai bila kita bersedia melakukan perubahan besar secara fundamental.

    Sebagaimana lagu Imagine yang disenandungkan oleh John Lennon, apabila kita menghilangkan batas-batas negara, agama, serta menghapuskan kepemilikan, maka kita dapat menciptakan surga dan perdamaian abadi di dunia. Another world is possible.

    Pandangan lainnya, menganggap adanya perang, kekerasan, dan kemiskinan merupakan sesuatu yang tidak perlu dipertanyakan. Perang, kekerasan, dan kemiskinan merupakan hal yang selalu hadir dalam sejarah panjang manusia.

    Selama puluhan ribu tahun, jauh sebelum ada negara, agama, dan institusi sosial-politik saat ini, manusia sudah melakukan perang. Berbagai suku dan kelompok saling bertempur dan membunuh satu sama lain demi sumber daya dan kejayaan.

    Begitu pula dengan kemiskinan. Selama puluhan ribu tahun, manusia hidup dalam kekurangan dan keterbelakangan berdasarkan standar modern yang kita gunakan saat ini. Kemiskinan merupakan kondisi default manusia. Kesejahteraan dan keberhasilan kita mengentaskan berbagai permasalahan besar, seperti kelaparan dan berbagai penyakit merupakan suatu prestasi yang baru terjadi dalam waktu yang sangat singkat dalam sejarah homo sapiens.

    Lantas, apa yang menyebabkan adanya perbedaan pandangan mengenai hal tersebut?

    *****

    Pandangan seseorang mengenai perang, kekerasan, dan kemiskinan memiliki kaitan yang sangat erat dari bagaimana orang tersebut memandang kondisi alamiah manusia. Adalah Thomas Sowell, seorang ekonom dan intelektual asal Amerika Serikat, yang memaparkan hal ini melalui bukunya, “A Conflict of Visions” yang terbit pada tahun 1987.

    Sowell dalam bukunya memaparkan mengapa ada berbagai pandangan mengenai politik yang sangat beragam dan berbeda-beda. Asal usul dari perbedaan tersebut, tulis Sowell, adalah adanya perbedaan “visi” mengenai kondisi alamiah manusia. Perbedaan ini akan menghasilkan perbedaan yang sangat besar tentang bagaimana seseorang memandang berbagai isu, seperti perang dan kemiskinan.

    Ada dua visi dasar mengenai kondisi alamiah manusia yang ditulis oleh Sowell. Visi pertama adalah apa yang ia sebut sebagai unconstrained vision. Unconstrained vision menyatakan bahwa esensinya, manusia secara alamiah adalah baik dan kondisi alamiah manusia (human nature) bukanlah sesuatu yang terberi dan dapat diubah. Oleh karena itu, mereka yang memiliki visi ini tidak mempercayai proses sosial yang terdesentralisasi.

    Mereka yang memiliki pandangan unconstrained vision percaya bahwa ada solusi absolut bagi semua persoalan, dan oleh karena, itu kompromi bukanlah merupakan sesuatu yang dapat diterima. Manusia bisa dijadikan sempurna secara moral dan oleh karena itu, bila ada pihak yang dirugikan dalam proses untuk memperbaiki umat manusia, maka hal tersebut dianggap sebagai collateral damage semata.

    Karena alasan tersebut, unconstrained vision percaya bahwa ada orang-orang yang memiliki moralitas jauh melampaui masyarakat umum. Orang-orang ini dipercaya mampu melampaui kepentingan pribadi mereka, dan oleh karena itu, mereka pantas memiliki kuasa untuk mengatur dan membuat keputusan bagi seluruh anggota masyarakat untuk mencapai terciptanya dunia yang ideal dan sempurna.

    Visi kedua adalah apa yang disebut Sowell sebagai constrained vision. Constrained vision percaya bahwa kondisi alamiah manusia (human nature) tidak dapat diubah dan manusia tidak akan pernah dapat menghilangkan kepentingan pribadinya, sebaik apapun intensi yang dimiliki oleh orang tersebut.

    Oleh karena itu, mereka yang memiliki pandangan constrained vision lebih memilih proses sosial yang sistematis dan bertumpu pada tradisi dibandingkan perubahan besar secara fundamental yang mengatasnamakan demi kebaikan bersama. Tidak ada solusi absolut yang dapat menyelesaikan seluruh permasalahan.

    Constrained vision tidak mempercayai bahwa ada sebagian orang yang memiliki moralitas yang sudah melampaui masyarakat umum, sehingga mereka mampu menghilangkan kepentingan pribadinya. Karena alasan tersebut, constrained vision menekankan pentingnya membangun sistem sosial yang bertumpu pada checks and balances dan menolak bila ada seseorang memiliki kekuasaan yang terlalu besar untuk mencegah perilaku korup dan penyalahgunaan wewenang.

    Ilmuwan kognitif dari Universitas Harvard, Steven Pinker, dalam bukunya “The Blank Slate”, memberi nama lain utopian vision (visi utopia) untuk unconstrained vision, karena pandangannya bahwa kondisi alamiah manusia bisa diubah dan manusia dapat mencapai kondisi ideal. Untuk constrained vision, Pinker memberi nama lain tragic vision (visi tragis), karena pandangannya bahwa kondisi alamiah manusia tidak bisa diubah dan seseorang tidak akan pernah bisa menghilangkan kepentingan pribadinya.

    Perbedaan visi constrained dan unconstrained yang sangat fundamental tidak hanya melahirkan perbedaan besar tentang bagaimana membangun sistem sosial di dalam masyarakat. Akan tetapi, perbedaan kedua visi ini juga membuat seseorang memiliki sudut pandang yang sangat berbeda dengan orang lain mengenai berbagai isu.

    Mengenai perang dan kekerasan misalnya, seseorang yang memiliki visi unconstrained akan menganggap perang dan kekerasan terjadi karena manusia tinggal di dalam sistem sosial dan institusi yang memungkinkan atau bahkan mendorong seseorang untuk melakukan hal tersebut. Oleh karena itu, bila kita melakukan perubahan besar secara fundamental terhadap institusi dan sistem sosial yang ada saat ini, dan memberikan kekuasaan besar kepada orang-orang yang moralnya sudah mampu melampaui masyarakat umum dan mampu menghilangkan kepentingan pribadinya, maka persoalan mengenai perang dan kekerasan pasti dapat terselesaikan.

    Sebaliknya, seseorang yang memiliki visi constrained akan melihat perang dan kekerasan dari sudut pandang yang berbeda. Kekerasan terhadap sesama adalah hal yang selalu hadir dalam sejarah panjang manusia, dan merupakan salah satu cara manusia untuk memuaskan hasrat dan memenuhi kepentingan pribadinya. Singkatnya, penyebab dari manusia melakukan perang dan tindakan kekerasan adalah karena ia manusia.

    Namun, bukan berarti lantas kita diam saja dan tidak berusaha melakukan apa-apa untuk menghentikan perang dan mencegah kekerasan. Perdamaian dan berkurangnya tingkat kekerasan di suatu wilayah bukanlah sesuatu yang tidak pernah terjadi dalam sejarah umat manusia.

    Untuk itu, penting bagi kita untuk bertumpu pada tradisi dan melihat tata cara dan langkah-langkah yang secara empiris terbukti berhasil menghentikan perang dan mencegah tindakan kekerasan, serta mengambil pelajaran dari hal tersebut. Kita harus selalu bersikap skeptis terhadap semua klaim solusi besar yang ditawarkan oleh sebagian kalangan untuk mengatasi perang dan kekerasan, karena klaim tersebut tidak pernah terbukti keberhasilannya. Hal yang sama berlaku juga untuk persoalan kemiskinan dan masalah-masalah besar lainnya yang dihadapi oleh manusia.

    Melalui sejarah, kita dapat mengetahui dampak yang sangat mengerikan dari visi unconstrained. Pandangan bahwa manusia secara alamiah adalah baik dan ada orang-orang yang secara moral sudah mampu melampaui masyarakat umum dan menghilangkan kepentingan pribadinya telah memberikan kita berbagai rezim despotik dan totalitarian, baik yang berlandaskan ideologi sekuler atau agama, yang telah membawa malapetaka bagi jutaan individu.

    Tengoklah yang terjadi di Uni Soviet dan China misalnya. Para pemimpin negara komunis tersebut percaya pada gagasan Marx mengenai perkembangan sejarah manusia yang determenistik. Mereka percaya bahwa manusia pada suatu saat nanti dapat mencapai kondisi ideal dan kesempurnaan, dimana tidak ada lagi kekerasan, eksploitasi, kemiskinan, dan penderitaan.

    Oleh karena itu, penting untuk memberikan kekuasaan besar kepada segelintir orang untuk mengatur masyarakat demi mencapai tujuan ideal tersebut. Orang-orang ini diantaranya adalah para petinggi Partai Komunis, yang telah memiliki moralitas melampaui masyarakat umum untuk menghilangkan hasrat dan kepentingan pribadi mereka. Bila ada orang-orang yang menjadi korban dari proses tersebut, maka hal itu merupakan harga yang harus dibayar demi terciptanya dunia yang ideal dan sempurna.

    Hal yang sama juga terjadi di negara totalitarian berbasis agama, seperti di Iran. Tak sedikit warga Iran yang meyakini bahwa ada orang-orang terpilih karena mereka merupakan keturunan Nabi, sehingga mereka layak menjadi wakil Tuhan di bumi untuk mengatur masyarakat. Bila kita bersedia menjalankan perintah dan hidup di bawah naungan orang-orang yang terpilih tersebut, maka akan ada masa dimana manusia dapat mencapai kondisi ideal dan sempurna.

    Kita bisa melihat dengan jelas hasil nyata dari pandangan tersebut. Puluhan juta rakyat China dan Uni Soviet kehilangan nyawa melalui apa yang diyakini kaum Marxis sebagai proses sosial demi mencapai tujuan masyarakat yang ideal. Begitu pula yang terjadi di Iran dan negara-negara teokrasi lainnya, dimana ribuan warga yang berani melawan orang-orang yang disucikan dilenyapkan. Belum lagi, jutaan manusia lainnya yang menjadi korban di negara-negara tersebut, yang dipaksa untuk hidup di bawah totalitarianisme dan tidak bisa menikmati kebebasan dan kesejahteraan.

    Hal yang sebaliknya terjadi di negara-negara liberal, seperti Amerika Serikat. Para bapak pendiri Negeri Paman Sam tidak mempercayai bahwa manusia dapat menghilangkan keinginan untuk bertindak korup dan melampaui keinginan pribadi mereka. Untuk itu, para founding fathers Amerika Serikat tersebut merancang sistem bernegara yang bertumpu pada checks and balances. Tidak boleh ada seseorang yang memiliki kuasa absolut yang terlampau besar untuk mengatur masyarakat sesuai dengan kehendaknya sendiri.

    Presiden, dalam hal ini, bisa diturunkan oleh para legislator bila menyalahgunakan kekuasaannya. Kepala pemerintahan juga tidak bisa mengangkat pejabat tinggi sesuai dengan keinginannya sendiri tanpa persetujuan Senat. Di sisi lain, Kongres Amerika Serikat harus mendapatkan persetujuan dari Presiden untuk meloloskan suatu undang-undang.

    Legislator, dalam hal ini, juga tidak bisa membuat produk hukum sesuai dengan kehendak mereka hingga merapas hak dasar negara. Untuk itu, konstitusi menjadi dokumen yang sangat penting sebagai prinsip dasar dalam bernegara, yang memberi jaminan atas hak-hak dasar rakyat, seperti kebebasan berbicara, beragama, dan berkumpul. Bila ada produk hukum tersebut yang dianggap oleh masyarakat bertentangan dengan konstitusi dan merampas hak dasar mereka, maka warga negara bisa menuntut kepada Mahkamah Agung agar produk hukum tersebut dicabut.

    Sejarah sudah menunjukkan bahwa kondisi alamiah manusia (human nature) merupakan sesuatu yang terberi dan tidak dapat diubah (constrained). Hasrat dan kepentingan pribadi merupakan hal yang secara inheren melekat pada diri manusia dan mustahil dapat dihilangkan. Tidak ada solusi absolut untuk menyelesaikan semua persoalan, dan klaim atas solusi besar tersebut selalu justru membawa malapetaka dan penderitaan yang jauh lebih besar.