
Maraknya penjualan masker yang memenuhi instastory saya selama berhari-hari membuat saya semakin tertarik mengenai seberapa rawannya virus Corona bagi Indonesia. Walaupun sampai saat ini peneliti dan pakar kesehatan mengatakan Indonesia masih negatif Corona, beberapa orang tetap melakukan antisipasi dengan memperbanyak stok masker yang menyebabkan tiba-tiba dinamika arus pasar melonjak drastis.
Bukan hanya masker, berbagai tweet dan postingan masyarakat dunia maya mengenai berita dan pandangan mereka sendiri tentang virus ini juga memenuhi linimasa media sosial saya selama beberapa minggu. Melihat hal ini, kepala saya dipenuhi pertanyaan, “Apa benar virus memandang ras atau etnis seseorang?”
Wabah virus Corona jenis baru yang awalnya bermula di Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok, menimbulkan masalah lain. Warga atau keturunan Asia di beberapa negara menjadi target rasisme baru dan xenofobia. Hal itu terjadi khususnya pada masyarakat Tiongkok, yang notabene-nya daerah mereka merupakan sumber penyakit tersebut.
Hoaks terkait virus Corona, memicu munculnya sikap diskriminatif dan rasial. Rasisme terhadap etnis Tionghoa, bahkan orang Asia secara keseluruhan, menyebar bahkan lebih cepat daripada virusnya.
Seperti beberapa kebijakan yang mulai diterapkan oleh berbagai negara seiring dengan mencuatnya kasus virus Corona ini, ada kampus di Hungaria yang melarang mahasiswa Tiongkok masuk kelas. Ada juga tanda di restoran atau gedung-gedung bertuliskan “pelanggan dari Tiongkok daratan dilarang masuk” di Hong Kong, Korea Selatan, dan Vietnam, serta beberapa singgungan yang muncul di medsos (Jateng.idntimes.com, 12 Februari 2020).
Dari kebijakan-kebijakan di atas, sentimen negatif terhadap penduduk Wuhan, dan Tiongkok pada umumnya, kian menebal seiring perkembangan hoaks yang demikian gencar. Misalnya, sentimen agama yang menyebut wabah virus Corona sengaja disebarkan rezim Tiongkok untuk membasmi umat Muslim di Wuhan.
Melihat “bumbu tambahan” pada kasus virus Corona ini, saya teringat pada gagasan lama yang memungkinkan munculnya perilaku rasisme saat ini. Konsep rasisme mengacu pada gagasan lama bahwa ras adalah karakteristik biologis dan juga mengacu pada gagasan baru bahwa budaya adalah penanda perbedaan. Doktrin rasisme menegaskan bahwa darah adalah penanda identitas bangsa-etnis.
Padahal, tidak ada fakta biologis atau data medis yang pernah mengatakan tentang beragam ras-ras semua individu saling berhubungan secara genetis. Namun, pemikiran tentang ras yang berhubungan secara genetik selalu ada dalam konstruksi imajinasi sosial.
Selama kita masih berpikir bahwa budaya, etnis, atau warna kulit seseorang berpengaruh pada kemampuan, sikap, motivasi, bahkan cara berpikir dan gaya hidup, maka rasisme akan selalu ada. Hal ini juga menjadi salah satu ciri individu sebagai sapiens menurut Darwin yang termasuk survival instinct mereka.
Coba kita lihat dalam pandangan-pandangan yang sering muncul dalam keseharian kita. Apakah ada suku tertentu yang diakui karena kecantikannya? Kemampuan bisnisnya? Kemampuan artistik atau kecakapan fisik? Apakah perempuan dari suku tertentu dianggap sebagai calon istri yang lebih baik dibanding perempuan dari suku lain? Atau ada suku tertentu yang dianggap lebih emosional, patuh pada aturan, keras kepala, lebih bekerja keras, dan lebih menarik?
Setiap individu memang memiliki kebebasan untuk berpendapat dan berkekspresi yang harus dihargai dan dilindungi. Namun, bukan berarti kebebasan berpendapat diartikan secara salah yang berujung menimbulkan hoaks baru. Ditambah beberapa tindakan represif yang jelas-jelas didasari karena kebenciannya terhadap anggota kelompok masyarakat tertentu.
Sumber :
https://jateng.idntimes.com/news/indonesia/rosa-folia/rasisme-kepada-orang-asia-meningkat-akibat-virus-corona-regional-jateng (Diakses pada 18 Februari 2020, pukul 18.57 WIB).

Samuella Christy adalah mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia yang aktif menulis mengenai isu-isu politik, sosial, dan budaya. Dapat dihubungi di samuellachristy3005@gmail.com.