Valentine: Produk Kapitalisme Cinta?

    430

    Perayaan Hari Kasih Sayang, atau Valentine’s Day, yang jatuh pada tanggal 14 Februari kemarin rasanya berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Bagaimana tidak? Biasanya, di sekolah teman-teman sudah heboh mondar-mandir kelas untuk saling bertukar cokelat, sedangkan tahun ini hanya bisa merayakannya lewat video call atau mengirim hadiah dalam bentuk paket.

    Muda-mudi di seluruh dunia biasanya sangat bersemangat untuk merayakan hari tersebut dengan orang-orang terkasih. Beragam cara mereka lakukan untuk merayakan hari tersebut. Mulai bertukar cokelat, boneka, hingga mengadakan makan malam romantis. Namun, ada beberapa peristiwa “menarik” yang justru mengecam Hari Valentine, apa alasannya?

    Seperti diberitakan oleh AFP, sekelompok pria yang menyebut diri mereka penganut Marxisme melancarkan protes dengan turun ke jalan di kawasan Shibuya, Jepang, untuk menuntut diakhirinya “pertunjukan cinta” di Hari Valentine (idntimes.com, 13/2/2017).

    Para laki-laki ini mengaku perayaan tersebut menyakiti perasaan mereka. Mereka tergabung dalam kelompok Kakuhido atau yang dalam Bahasa Indonesia berarti Aliansi Revolusioner Para Pria yang Tak Dianggap Menarik oleh Perempuan. Meski terkesan seperti sebuah candaan belaka, tapi mereka rupanya sangat serius dalam mengajukan tuntutan.

    Menurut anggota Kakuhido, Hari Valentine adalah bentuk komersialisme dan merupakan penjajahan terhadap mereka. Tak hanya itu, para laki-laki ini juga menganggap bercumbu di area publik itu seperti terorisme. Humas dari Kakuhido, Takayuki Akimoto, mengungkap tujuan kelompoknya adalah untuk menghancurkan apa yang mereka sebut dengan “kapitalisme cinta” (idntimes.com, 13/2/2017).

    Di Jepang sendiri, perayaan Valentine merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sejumlah pengusaha cokelat maupun restoran. Para perempuan diharapkan memberikan cokelat kepada laki-laki yang mereka suka, di mana laki-laki akan membalasnya pada White Day, yang jatuh sebulan kemudian. Menurut Akimoto, tradisi ini berarti melanggengkan kompetisi antar manusia. “Kamu dinilai dari seberapa banyak cokelat yang kamu terima. Ini adalah strategi bisnis dari para kapitalis cokelat. Konyol sekali,” tambah Akimoto (idntimes.com, 13/2/2017).

    Saya sendiri, dari dulu selalu menganggap Hari Valentine sebagai perayaan biasa yang tidak mengandung makna apa-apa, selain melambangkan cinta kasih terhadap orang terdekat kita. Akhirnya, melihat protes laki-laki di Jepang itu membuat saya menelusuri lebih jauh makna dan sejarah di balik Valentine sehingga banyak orang kemudian beranggapan bahwa perayaan itu merupakan produk kapitalis.

    Sejarahnya, di masa Romawi, Hari Valentine sangat identik dengan dunia para dewa dan ‘mitologi sesat’. Sementara, di abad sebelum Renaisans (masa dominasi gereja dan Vatikan), Hari Valentine dijadikan bagian dari simbol perayaan hari agama. Sedangkan, di zaman modern, masyarakat mengidentifikasinya dengan pergaulan bebas kaum muda-mudi (cnnindonesia.com, 14/02/2020).

    Namun, apapun kronologi sejarah Valentine, di era modern saat ini, perayaan Valentine kemudian dianggap sebagai perayaan yang dimanfaatkan untuk komoditas bisnis oleh segelintir pihak yang ingin memuluskan bisnisnya. Mendekati perayaan Valentine, semua pelaku bisnis tak lupa mengusung tema “Valentine” sebagai pendongkrak bisnis yang digelutinya. Pengusaha coklat, bunga, kartu, mal-mal besar, hotel, kuliner, dan kafe-kafe, semua akan mengangkat tema Valentine untuk kepentingan bisnis yang dikelolanya.

    Memang, melalui peran media, Valentine menjadi bagian dari mass culture sehingga bagi orang yang tidak ikut merayakannya akan dianggap kuno atau kolot. Lebih jauh lagi, dalam perkembangannya, perayaan Hari Valentine ini menunjukkan keseragaman di seluruh dunia, seperti mengindetikkan perayaan ini dengan sesuatu yang bernuansa merah muda, pernak-pernik berlambang hati, bingkisan cokelat yang manis, dan lain sebagainya.

    Jika melihat dari opini mengenai Valentine hanya sebagai produk kapitalis yang menguntungkan pengusaha besar dan merugikan konsumen, hal ini sebenarnya keliru karena, selama ini masyarakat hanya melihat dari sisi finansial atau laba yang diperoleh.

    Memang betul bahwa, perayaan Valentine membuat penjualan produk-produk yang bernuansa pink atau bunga dan cokelat diproduksi dalam skala besar. Di negara seperti Amerika Serikat, perayaan hari Valentine merupakan kesempatan besar bagi pengusaha untuk meraih pendapatan. Valentine dijadikan momen perdana di awal tahun untuk menangguk untung besar bagi para produsen. Nilai belanja terkait Valentine dari tahun ke tahun terus meningkat. National Retail Federation (NRF) pada awal bulan Januari 2016 memperkirakan rata-rata belanja Valentine mencapai $19,7 miliar. Angka itu naik hampir $1 miliar dibandingkan proyeksi tahun 2015 (tirto.id, 15/2/2016).

    Peningkatan konsumsi ini berdampak positif pada kelanjutan pertumbuhan ekonomi negara, termasuk juga tentunya di Indonesia. Itu didasari pada porsi konsumsi rumah tangga yang cukup besar di pertumbuhan ekonomi nasional terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Kinerja ekonomi akan banyak ditentukan dari konsumsi rumah tangga atau daya beli masyarakat.

    Penguatan konsumsi rumah tangga dalam masa pandemi COVID-19 saja dinilai dapat membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap terjaga. Dengan begitu, prediksi dari Bank Dunia tentang pertumbuhan ekonomi Indonesia yang hanya tumbuh 0% hingga minus 3,5% dapat diminimalisasi (mediaindonesia.com, 3/6/2020). Dengan demikian, makin tingginya pertumbuhan ekonomi biasanya makin tinggi pula kesejahteraan masyarakat, meskipun terdapat indikator yang lain yaitu distribusi pendapatan.

    Tingkat pendapatan masyarakat yang diikuti dengan tingkat konsumsi masyarakat bisa menjadi anugerah tersendiri bagi pertumbuhan perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Peningkatkan aktivitas konsumsi dalam negeri dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi bangsa. Peningkatan konsumsi nasional secara tidak langsung akan membuat industri ekonomi dalam negeri akan tumbuh dengan baik.

    Selain konsumsi yang meningkatkan pertumbuhan ekonomi, perayaan Valentine yang digadang sebagai produk kapitalis ini juga mampu meningkatkan produktivitas dan inovasi produsen yang ke depannya menjadi kunci daya saing masyarakat. Dengan banyaknya peminat pada hari perayaan, banyak produsen sadar akan ketatnya persaingan, sedikit saja mereka menaikkan untung, jarang atau bahkan tidak ada yang membeli output mereka jika barang yang dijual tidak ada inovasi.

    Maka dari itu, banyak produsen yang mengkreasikan produk mereka seunik dan sebeda mungkin dari penjual lain agar peminatnya juga banyak. Selain itu, kreativitas masyarakat juga terus diasah untuk menjawab beragam preferensi konsumen.

    Jadi, daripada meneruskan tradisi lama berdebat tentang halal-haram pelaksanaan acara Valentine, ada baiknya bagi pengusaha untuk melihat ini sebagai momen penting promosi meningkatkan keuntungan. Sementara bagi konsumen seperti kita, Valentine menjadi pilihan bebas untuk diikuti ataupun tidak.

    Mengutip lagu seorang musisi, Sal Priadi, saya ingin mengatakan “Jangan bertengkar lagi ya? Ok? Ok!” Tetapi mungkinkah?

     

    Referensi

    https://www.idntimes.com/news/world/rosa-folia/dianggap-kapitalisme-cinta-sekelompok-pria-ini-tolak-valentine/full Diakses pada 14 Februari 2021, pukul 01.00 WIB.

    https://tirto.id/konsumerisme-valentine-cintaku-mahal-di-modal-nh Diakses pada 15 Februari 2021, pukul 12.00 WIB.

    https://mediaindonesia.com/ekonomi/317915/jaga-daya-beli-masyarakat-jadi-kunci-dorong-pertumbuhan-ekonomi Diakses pada 15 Februari 2021, pukul 22.00 WIB.

    https://m.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20200214110726-277-474570/sejarah-panjang-dan-arti-valentine-dulu-dan-kini Diakses tanggal 15 Februari 2021, pukul 13.00 WIB.