
Pekerjaan rumah tangga menjadi salah satu kontributor pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Dalam urusan domestik, pekerja rumah tangga memberikan impresi yang penting pada rumah tangga dan pasar tenaga kerja secara fungsional. Namun, perlindungan sosial dan ketenagakerjaan bagi kelompok pekerja rumah tangga ini sering diacuhkan serta jauh dari standar kerja yang layak.
Kenyataannya di lapangan menunjukkan bahwa pekerja rumah tangga (PRT) masih jauh dari hak-hak yang semestinya didapatkan, salah satunya masih mengalami penyiksaan. Pada akhir tahun lalu, kasus kekerasan terhadap pekerja rumah tangga di Indonesia kembali terjadi. Berbagai perlakuan tidak manusiawi dialami RN (korban yang merupakan PRT), termasuk disiram air cabai jika mengantuk saat bekerja. Pakaiannya pernah dilucuti si majikan dan majikannya merekam kejadian tersebut. Penyiksaan ini menyebabkan RN mengalami luka di bagian telinga kiri dan luka lebam di kepala (kompas.id/26/10/22).
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), terdapat 1.635 kasus multi kekerasan terhadap PRT yang berakibat fatal selama periode 2017 sampai 2022. Selain itu, terdapat 2.021 kasus kekerasan fisik dan psikis, serta 1.609 kasus kekerasan ekonomi (metrotvnews.com/12/11/2022).
Sementara itu, sejak 16 Juni 2011, sebagai institusi internasional, ILO (International Labour Organization) telah mengesahkan Konvensi ILO Nomor 189 mengenai Pekerjaan yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga. Urgensi perlindungan terhadap pekerjaan rumah tangga ini didasari oleh data perkiraan global dan regional yang menyatakan bahwa setidaknya 52,6 juta perempuan yang berusia di atas 15 tahun. Angka ini menjadi refleksi akan porsi signifikan dari pekerjaan berupah secara global, yaitu sebanyak 3.6 persen di seluruh dunia (ilo.org).
Di Indonesia, sampai tulisan ini diturunkan, belum ada regulasi yang menjamin pelindungan dan pengakuan PRT sebagai pekerja. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, mendefinisikan pekerja sebagai “Seseorang yang bekerja dan mendapatkan upah dan atau bentuk upah lainnya”. Namun, undang-undang tersebut belum mencakup PRT dalam lingkupnya, mengingat karakteristik khas PRT yang bekerja melakukan pekerjaan kerumahtanggaan dan pemberi kerja yang bukan merupakan perusahaan atau korporasi. Karakteristik khusus itu tidak diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Oleh karena itu, negara perlu memahami bahwa percepatan pengesahan RUU PPRT sebagai landasan perlindungan bagi para PRT merupakan wujud manifestasi dari peran negara untuk menegakkan HAM sesuai dengan Konstitusi Undang-Undang Dasar 1945, yang mana pada pasal 27 ayat (2) berbunyi, “Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Proses pembahasan RUU PPRT sejak tahun 2004 hingga kini bahkan belum membuahkan hasil sama sekali.
Adapun, tuntutan pengakuan PRT sebagai pekerja menjadi agenda pokok dari RUU PPRT ini. PRT yang merupakan profesi sah berhak menerima hak-hak normatif dan perlindungan sebagaimana yang diterima pekerja pada umumnya, karena PRT selama ini melakukan pekerjaan dengan memenuhi unsur upah, perintah, dan pekerjaan. Selain itu, diskriminasi dan stigmatisasi terhadap PRT yang diukur dari bias gender, kelas, dan ras, serta anggapan bahwa PRT merupakan pekerjaan yang tidak memerlukan keterampilan, tidak bernilai ekonomi, dan merupakan pekerjaan rendahan juga harus dihentikan. Kesejahteraan PRT sebagai pekerja dan warga negara juga seharusnya dijamin perlindungan dan pemenuhan hak-hak kesejahteraannya. Hal-hal seperti upah yang layak, hari cuti dan libur, bahkan menjalankan ibadah pun harus dijamin kebebasannya agar tidak terancam.
Melihat kondisi PRT di Indonesia yang sebagian besar adalah golongan perempuan dan anak-anak, ditambah lagi dengan usia yang masih belia dan belum cukup matang untuk mencari kerja, membuat kelompok marginal ini begitu mudah untuk dipekerjakan sesuka hati majikan. Bahkan, seringkali disertai dengan ancaman atau tindak kekerasan bila hasil pekerjaannya tidak memuaskan.
Selain itu, realita sosial di masyarakat yang menganggap bahwa PRT sama saja seperti pembantu rumah tangga, kemudian melabeli perempuan sebagai makhluk yang lemah karena hanya bisa melakukan pekerjaan informal. Pandangan seperti ini pulalah yang membuat masyarakat merasa bahwa tidak perlu ada perlindungan sosial dan ekonomi untuk PRT, sebab apa yang dikerjakan hanyalah pekerjaan informal semata.
Degradasi pekerjaan inilah yang juga menjadi peringatan bagi pemerintah dan masyarakat untuk segera bertindak dengan cepat dalam melakukan pembahasan RUU tersebut untuk kemudian dapat disahkan sebagai payung hukum yang sah dan terlegitimasi, sehingga hak-hak PRT dapat terlindungi dan PRT, baik individu maupun profesinya, juga dihargai dan dimanusiakan sebagaimana pekerjaan pada umumnya.
Referensi
https://www.kompas.id/baca/humaniora/2022/10/26/penganiayaan-pekerja-rumah-tangga-terjadi-lagi. Diakses pada 6 Februari 2023, pukul 19.32 WIB.
https://www.metrotvnews.com/play/NA0CX2eL-data-kasus-kekerasan-terhadap-prt-pada-2017-2022. Diakses pada tanggal 6 Februari 2023, pukul 19.40 WIB.
ILO. (2011). K-189: Konvensi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga. Diakses pada 6 Februari 2023, pukul 20.42 WIB melalui https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/—asia/—ro-bangkok/—ilo-jakarta/documents/legaldocument/wcms_166544.pdf.

Samuella Christy adalah mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia yang aktif menulis mengenai isu-isu politik, sosial, dan budaya. Dapat dihubungi di samuellachristy3005@gmail.com.