
Pada pertengahan bulan Mei 2022 lalu, kasus penembakan Shireen Abu Akleh, wartawati senior stasiun televisi milik Pemerintah Qatar, Al Jazeera di Jenin, Tepi Barat di wilayah Palestina menambah panjang daftar wartawan yang tewas dalam tugas liputan perang. Shireen tewas akibat terkena tembakan di bagian wajah saat meliput penyerbuan tentara Israel ke kamp pengungsi di Jenin (voi.id/14/05/2022). Setelah kasus penembakan wartawati yang dikecam oleh pihak internasional, tindakan pelanggaran HAM lainnya kerap terjadi di wilayah Tepi Barat, seperti penembakan yang menewaskan beberapa warga sipil di tenda pengungsian. Jauh sebelum itu, rekam jejak konflik Israel dan Palestina yang seakan tidak habisnya juga menunjukkan penyerangan militer Israel yang menargetkan serangan mereka kepada anak anak, wanita (berbagai usia bahkan termasuk wanita hamil), penyandang disabilitas, tim paramedis, tim media massa hingga institusi pendidikan (Mu’afizain, 2021).
Monitor Hak Asasi Manusia Euro-Mediterania merilis pelanggaran dalam konflik Israel dan Palestina tersebut masuk ke dalam kategori pelanggaran hukum humaniter internasional. Selain konflik Israel-Palestina, ada juga konflik lainnya yang masuk dalam pelanggaran hukum humaniter internasional, seperti Perang di Bosnia-Herzegovina, Konflik Rwanda, Apartheid di Afrika Selatan, hingga pembantaian oleh Nazi pada masa perang dunia kedua. Kasus-kasus yang menjadi ancaman bagi keamanan umat manusia (karena termasuk dalam pelanggaran HAM berat) inipun kemudian menjadi perdebatan sendiri, apakah ada kebijakan yang bertumpu pada prinsip perlindungan keamanan manusia dalam setiap ancaman, baik militer maupun nonmiliter?
Setelah Perang Dunia I, terdapat dua kebijakan luar negeri yang dominan, yaitu pembangunan ekonomi dan keamanan militer. Namun, kebijakan ini tidak mencakup isu-isu krusial yang mengancam keberadaan manusia, termasuk meningkatnya kemiskinan, migrasi, konflik bersenjata, degradasi lingkungan, dan lain sebagainya (Menon, 2007). Mayoritas pemerintah dalam upaya pembangunannya hanya menitikberatkan pada keseimbangan kekuatan, pembentukan aliansi, dan perlombaan senjata pada dimensi konvensional keamanan militer. Pada akhirnya, pendekatan sepihak pada aspek keamanan ini mengakibatkan Perang Dunia Kedua dan bencana manusia di Hiroshima dan Nagasaki.
Periode pasca Perang Dunia menjadi saksi transformasi signifikan dari konfigurasi sosial politik internasional. Berakhirnya kolonialisme dan munculnya negara-negara merdeka yang baru di Asia dan Afrika, pemindahan dan rehabilitasi pengungsi, rekonstruksi negara-negara yang terkena dampak perang, dan lainnya meningkatkan kesadaran akan betapa buruknya dampak yang ditimbulkan akibat serangan militer (Menon, 2007). Hal ini kemudian menyebabkan keterbatasan pendekatan militer sentris yang konvensional dalam upaya resolusi konflik. Di era inilah, konsep human security perlahan mulai terbentuk, meskipun pengimplementasiannya belum sempurna di setiap konflik.
Kegagalan resolusi konflik Perang Dunia I dan Perang Dunia II membuka mata masyarakat terhadap alternatif upaya penyelesaian konflik lainnya. Konsep human security yang sebelumnya bertujuan untuk melindungi perbatasan negara saja (national security), beralih fokus terhadap isu permasalahan dan kondisi yang terjadi pada individu (manusia) selama masa berlangsungnya perang dan setelahnya. Hal ini kemudian direalisasikan oleh United Nations Development Program (UNDP) dan PBB dalam Human Development Report tahun 1994 yang melakukan intervensi kemanusiaan dalam konflik genosida di Rwanda (Aziz, 2003: 99). PBB dan UNDP dalam kasus ini bersifat netral, tidak memihak etnis Hutu maupun Tutsi dalam konflik nasionalnya, serta intervensi militer sama sekali tidak dilakukan.
Pasca genosida terjadi, resolusi konflik yang dilakukan PBB dan Pemerintah Rwanda masih terus berlanjut hingga saat ini. Dalam memberikan bantuan kepada Rwanda pasca konflik, PBB dan badan internasional lainnya menerapkan prinsip human security dalam melakukan pengawasan terhadap implementasi program bantuan dan pemantauan terhadap hak asasi manusia yang konsisten dilakukan melalui promosi HAM di sendi-sendi keseharian masyarakatnya (Damayanti, 2017). Usaha dari pemerintah setempat, Presiden Paul Kagame, yang terus-menerus menyerukan perdamaian dan pelaksanaan HAM dengan penerapan konstitusi baru yang melarang kriminalisasi etnis. Amnesti dan rekonsiliasi ini pun berangsur membuahkan hasil, pengungsi Tutsi mulai kembali dan program pembangunan desa, seperti dicanangkan oleh Pemerintah Rwanda, yang terdiri dari pelaku dan korban genosida berjalan lancar guna memulihkan kondisi kehidupan sosial yang lebih positif.
Dengan contoh keberhasilan salah satu upaya resolusi konflik dengan pendekatan kemanusiaan yang mengutamakan human security di wilayahnya, PBB dan lembaga lainnya berharap negara-negara lain, baik yang sedang berkonflik maupun tidak, untuk terus mempromosikan perdamaian melalui jalur HAM (Nasution, 2014). Berbeda dengan era sebelumnya, di mana kebanyakan konflik yang terjadi adalah konflik antarnegara, konflik-konflik yang terjadi saat ini lebih banyak terjadi di dalam negara. Pada masa kini, persoalan keamanan nasional memiliki pula dinamisme yang kompleks dengan merujuk pada definisi kontemporer. Persoalan terorisme misalnya, yang menjadi masalah keamanan nasional masa kini di Indonesia dan dunia.
Saat ini, isu keamanan sudah mengalami eskalasi makna dimana tidak lagi hanya berfokus pada negara dan teritorialnya ataupun penggunaan kekuatan militer sebagai instrumen stabilitator negara, melainkan perkembangannya sudah meluas ke sektor individu serta dalam aspek politik, pendidikan, kesehatan, bahkan ekonomi. Konsep national security perlahan bertransformasi menjadi wacana human security. Namun, sampai saat ini belum ada konsep mapan tentang keamanan manusia dalam perdebatan ilmu sosial. Dengan tidak adanya teori human security, indikator kuantitatif dan basis data keamanan manusia pun belum memadai untuk dikaji lebih lanjut (Menon, 2007).
Satu-satunya landasan utama dalam pengaplikasian prinsip human security di tiap negara adalah pengakuan terhadap HAM, yaitu merujuk pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada bulan Desember 1948. Deklarasi tersebut mengakui martabat yang melekat pada setiap manusia dan hak-hak yang sama serta tidak dapat dicabut dari seorang manusia. Selanjutnya, negara memiliki kewajiban untuk melindungi hak setiap warga negaranya untuk hidup, memiliki kebebasan, jaminan atas keamanan pribadi, dan perlindungan hukum yang setara. Dengan pendekatan HAM secara intensif dan konsisten, diharapkan negara dan setiap individunya dapat terus menghargai setiap hak asasi masyarakat dengan perlindungan manusia dari ancaman tradisional (militer) dan nontradisional seperti kemiskinan dan penyakit.
Referensi
Artikel
https://voi.id/bernas/167444/kasus-penembakan-shireen-abu-akleh-itu-jelas-pembunuhan-wartawan-bukan-kecelakaan Diakses pada 9 Juni 2022, pukul 13.45 WIB.
Jurnal
Aziz, V. (2003). Intervensi Kemanusiaan PBB dalam Konflik Etnis dan Genosida di Rwanda. Thesis Universitas Indonesia, hal 95-99. Diakses melalui https://lib.ui.ac.id/detail.jsp?id=76295
Damayanti, P, M. (2017). Efektivitas Rezim United Nations Development Assistance Framework 2008-2012 dalam Mengatasi Masalah Human Security di Rwanda. Thesis, hal 17-29.
Menon, S. (2007). Human security: Concept and practice. Diakses pada 9 Juni 2022, pukul 12.01 WIB, melalui https://www.researchgate.net/publication/24113083_Human_security_Concept_and_practice
Mu’afizain, R. (2021). Penyelesaian Konflik antara Palestina dengan Israel. Diakses pada 8 Juni 2022, pukul 15.30 WIB, melalui https://www.researchgate.net/publication/356264018_Penyelesaian_Konflik_antara_Palestina_dengan_Israel_Resolution_of_the_Conflict_between_Palestine_and_Israel

Samuella Christy adalah mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia yang aktif menulis mengenai isu-isu politik, sosial, dan budaya. Dapat dihubungi di samuellachristy3005@gmail.com.