Milenial dan media sosial memberi kesan tentang dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Milenial begitu identik dengan perkembangan media sosial dan media sosial juga begitu identik dengan milenial. Dalam data terbaru Google Consumer Behaviour, Kemp (2018, h.1) menyatakan bahwa dari 265,4 juta populasi di Indonesia, 50% di antaranya merupakan digital native. Menurut Helsper & Enyon (2009:1), digital native adalah generasi muda yang lahir saat internet sudah ada dan yang mempengaruhi kehidupan mereka sejak masih dalam kandungan. Munculnya generasi digital native ini menandakan era baru yang menuntut kita untuk memiliki kemampuan dasar berkaitan dengan konsep digital itu sendiri.
Adanya peningkatan terhadap penggunaan internet secara komprehensif di masa sekarang telah membentuk budaya dialektika baru di kalangan masyarakat. Budaya membaca dan menulis sudah beralih menjadi komunikasi digital di tengah-tengah masyarakat saat ini. Maraknya fenomena digitalisasi yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat ini juga dijadikan sarana komunikasi untuk pendidikan politik oleh sejumlah partai politik di Indonesia.
Dalam penelitian yang berjudul “Media Sosial sebagai Strategi Komunikasi Politik Partai Golkar dalam Melakukan Pendidikan Politik” oleh Andiwi Meifilina (2021), dijelaskan bahwa Partai Golkar Kabupaten Blitar pada Pemilu 2019 telah melaksanakan pendidikan politik melalui media sosial berdasarkan pada komponen-komponen komunikasi sebagaimana yang dijelaskan Harold D. Lasswell, yaitu komunikator politik, pesan, khalayak politik, media, dan efek yang diharapkan.
Penelitian ini mendeskripsikan bagaimana Partai Golkar memilih komunikator untuk menyampaikan pesan dan dialog melalui media massa online hingga media sosial. Pada dasarnya, pesan yang disampaikan Partai Golkar Kabupaten Blitar ini menekankan pada narasi pendidikan generasi milenial yang anti korupsi, berkarya, dan anti intoleransi.
Pendidikan politik yang dilakukan Partai Golkar melalui media sosial juga tidak hanya untuk membentuk citra positif terhadap calon legislatifnya, melainkan juga untuk melakukan pengembangan literasi digital masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat terlihat bahwa harapan dari pengimplementasian media sosial untuk kepentingan kegiatan politik yang dilakukan oleh Partai Golkar sebagai sarana pendidikan politik untuk mampu menambah pengetahuan tentang kegiatan politik yang terjadi, melihat jalannya kegiatan politik, dan berpartisipasi aktif dalam kegiatan politik. Adapun, kendala dalam pelaksanaannya juga dijelaskan, seperti dana operasional, kondisi anak muda yang menjadi sasaran pendidikan di media sosial, dan pemikiran strategi yang harus dinamis mengikuti perkembangan tren.
Ditambah lagi, secara umum, pada Pemilu 2019, media sosial berperan besar dalam mempengaruhi preferensi politik anak muda untuk menentukan kandidat yang akan dipilihnya. Media sosial yang awalnya hanya sebagai jejaring komunikasi semata. kemudian berubah menjadi lahan para buzzer untuk kampanye atau memberikan ajakan untuk segera menentukan siapa yang akan dipilihnya kelak.
Berangkat dari contoh tersebut, dapat disimpulkan bahwa penggunaan media sosial sebagai media komunikasi maupun sarana pendidikan politik sudah lazim terjadi. Media sosial selanjutnya menggambarkan sebagai sarana ideal dan basis informasi untuk mengetahui opini publik tentang kebijakan dan posisi politik, selain untuk membangun dukungan komunitas kepada politisi yang tengah berkampanye.
Adanya eksistensi media sosial sebagai wadah komunikasi maupun pendidikan politik memang dapat mengembangkan kemampuan warga negara dalam berpartisipasi sekalipun dalam konteks yang minimal. Pendidikan politik virtual bisa dijadikan sebagai sarana mengembangkan literasi digital warga negara sebagai substitusi pendidikan politik secara formal. Di Inggris misalnya, ada semakin banyak anggota parlemen menggunakan blog dan Yahoo Groups untuk mengkomunikasikan ide mereka dan mendengarkan ide kepentingan lain (Lestari, et.al. 2009).
Sama halnya dengan Indonesia, penggunaan media sosial dalam ranah politik mulai dilirik ketika masa kampanye Joko Widodo dan Basuki Tjahja Purnama pada Pilkada DKI Jakarta 2012, di mana para pendukungnya memanfaatkan YouTube untuk memposting video kampanye kreatif mereka. Bahkan, tidak kelupaan betapa kreatifnya pendukung mereka menciptakan game online yang memiliki alur cerita seperti game Angry Birds, dengan tokoh utama Jokowi.
Di satu sisi, peran dukungan dari media sosial ini juga dapat menekankan pada peningkatan literasi digital akan memberi titik tekan pada kemampuan kritis individu yang berpijak pada pemrosesan informasi dan melibatkan kemampuan memverifikasi data agar publik lebih peka ketika menyaring informasi. Publik yang cerdas mampu memilah mana yang baik dan benar dalam beretika di media sosial, melihat suatu isu dengan objektif, dan memilah data yang kredibel. Ditambah lagi, adanya kebebasan dalam berkreasi di media sosial juga mendorong inovasi karya anak muda.
Dengan demikian, peran media sosial ikut membenahi diskursus publik menjelang pemilu maupun momen biasa, ruang aman masyarakat, dan angka toleransi suatu negara. Dalam artian lain, kebebasan berpendapat maupun berekspresi di dunia maya menjadi semakin sehat.
Sehubungan dengan hal tersebut, pendidikan politik di media sosial terasa jauh lebih inklusif bagi semua kalangan. Setiap anak muda hingga orang dewasa, dapat mengakses internet dengan mudah, sembari menyemil snack favorit, tanpa harus repot-repot keluar mencari informasi di sekitar, tidak terkecuali perempuan. Hal inilah yang menjadi urgensi selanjutnya yang perlu diperhatikan, bahwa partisipasi perempuan sendiri tidak hanya berkutat di lingkup legislatif maupun eksekutif saja, melainkan harus jauh lebih luas, khususnya dalam ranah sosial dan pembangunan demokrasi menuju kecerdasan dalam berpolitik. Maka dari itu, pendidikan politik melalui media sosial yang inklusif dan ramah bagi seluruh kalangan juga perlu ditingkatkan ke depannya.
Referensi
Helsper, E., & Enyon, R. (2009). “Digital natives: Where is the evidence?”. Diakses pada 17 Maret 2023, pukul 10.00 WIB, melalui British Educational Research Journal (hal 1-18).
Kemp, S. (2018). Digital in 2018: World’s Internet Users Pass The 4 Billion Mark. Diakses pada 17 Maret 2023, pukul 10.12 WIB melalui <https:// wearesocial.com/blog/2018/01/global-digital report-2018>.
Lestari, A, et al,. (2019). “Media Sosial sebagai Sarana Pendidikan Politik untuk Mengembangkan Literasi Digital Warga Negara”. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP Untirta Vol. 2, No. 1, 2019, pp. 369-378. Diakses pada 17 Maret 2023, pukul 13.00 WIB, melalui https://jurnal.untirta.ac.id/index.php/psnp/article/download/5636/4041.
Meifilina, A. (2021). “Media Sosial sebagai Strategi Komunikasi Politik Partai Golkar dalam Melakukan Pendidikan Politik”. Jurnal Komunikasi Nusantara, 3(2), 101-110. Diakses pada 17 Maret 2023, pukul 11.20 WIB melalui https://doi.org/10.33366/jkn.v3i2.80.

Galang Taufani adalah Managing Editor di Suara Kebebasan. Galang adalah lulusan program Sarjana Hukum (2013) dan Magister Hukum (2016) di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Sebelum bergabung di Suara Kebebasan, Galang pernah bekerja sebagai wartawan, peneliti, dan dosen sejak tahun 2013. Galang menulis banyak karya berupa buku, jurnal, dan artikel ilmiah. Bidang yang digeluti olehnya, yaitu adalah bidang Hukum, Kebijakan Publik, Pajak, Filsafat, dan Sastra.