
Kelas offline pagi ternyata menjadi momok baru bagi penulis. Hari Senin pertama, pukul 8 pagi, dengan aroma bakso yang menguar dari kantin bawah, justru penulis dihidangi oleh ceramah pemerintah junta militer di Myanmar dan perbandingannya dengan tentara Indonesia pada mata kuliah Konflik Politik (tepatnya pada bagian perbandingan politik). Masih dibayangi oleh kenikmatan kelas online pada semester lalu di mana penulis hanya akan mendengarkan ceramah dosen sambil merenggangkan kaki di kasur sambil sekali-kali mencuri kesempatan untuk scroll Twitter (jangan ditiru!), namun penulis samar-samar mengingat bagaimana sang dosen sangat amat menyayangi kegagalan militer di Myanmar yang disebabkan oleh kurangnya kontrol sipil.
Pada bulan Juni lalu, pemerintah junta sempat menuai kecaman dari dunia internasional, lebih tepatnya saat mereka mengatakan akan mengeksekusi tiga anggota parlemen dari partai Aung San Suu Kyi dan seorang aktivis demokrasi terkemuka di Myanmar. Sebelumnya, junta telah menghukum mati puluhan aktivis anti-kudeta yang menentang tindakan perebutan kekuasaan oleh junta. Selain itu, pasukan junta juga membakar ratusan bangunan milik media lokal dan rumah penduduk yang dianggap sebagai bagian dari Pasukan Pertahanan Rakyat (international.sindonews.com/03/06/2022).
Hal-hal yang telah dilakukan junta tersebut pun mengundang kemarahan di antara kelompok pejuang hak asasi manusia (HAM) dan kecaman dari pemerintah negara lainnya. Kedutaan besar Prancis di Yangon juga menyebut junta sebagai rezim militer yang tidak sah. Adapun sebutan “junta” ini juga tidak diterima oleh pemerintah militer Myanmar. Mereka menyatakan keberatan terhadap pemberitaan internasional yang menyebut mereka dengan istilah junta. Selain itu, mereka bahkan mengancam akan menjerat para jurnalis asing yang berada di negara itu jika terus menggunakan istilah junta yang ditujukan bagi pemerintahan militer (cnnindonesia.com/01/07/2021).
Secara historis, Tatmadaw (nama resmi militer di Myanmar) sebenarnya sudah mendominasi lanskap politik nasional di Myanmar sejak negara tersebut meraih kemerdekaannya dari Britania Raya pada tahun 1948. Hal menariknya adalah bagaimana Indonesia juga pernah mengalami gejolak dalam badan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang pernah memainkan peran sebagai kekuatan sosial-politik di bawah doktrin ‘Dwifungsi’ pada rezim Orde Baru. Akan tetapi, di saat Indonesia (relatif) berhasil membangun Reformasi TNI dan mempertahankan demokrasinya dari pasca Reformasi sampai saat ini, demokratisasi di Myanmar ternyata malah menghadapi kegagalan yang berujung pada kudeta militer.
****
Konsolidasi Demokrasi dan Kontrol Sipil atas Militer
Schedler (1997) mendefinisikan democratic consolidation sebagai expected regime stability, yaitu ekspektasi mengenai stabilitas rezim demokratis. Stabilitas ini ditandai dengan rendahnya kemungkinan rezim tersebut mengalami breakdown dan tingginya kemungkinan survival. Dalam artian lain, konsolidasi demokrasi dapat dianggap selesai ketika semua pemangku kepentingan meyakini bahwa rezim demokratik dapat terus bertahan tanpa adanya ancaman serius di masa yang akan datang, termasuk ancaman kudeta dari militer.
Kenapa ancaman militer menjadi salah satu ancaman yang disorot selama ini? Secara alamiah, keberadaan dari militer itu sendiri merupakan ancaman potensial terhadap demokrasi (Sundhaussen, 1998). Karakteristik militer sebagai kelompok satu-satunya di sebuah negara yang berhak memonopoli kekuatan bersenjata dan berstruktur hierarkis sangat bertentangan dengan sistem demokrasi yang cenderung terbuka dan egaliter. Namun, di dalam negara-negara demokratis yang kokoh, ancaman ini dapat diminimalisasi dengan civilian control of the military, atau penegakan kontrol sipil terhadap militer.
Salah satu sudut pandang dalam menilai hubungan sipil-militer adalah dengan cara melihat kontrol sipil terhadap militer. Secara konseptual, kontrol sipil atas militer merujuk pada kemampuan elit sipil yang terpilih secara demokratis untuk melaksanakan segala kebijakan negara tanpa intervensi dari pihak militer. Artinya, seluruh keputusan negara harus diformulasikan dan diawasi pelaksanaannya oleh otoritas sipil yang memiliki legitimasi politik secara demokratis (Kohn, 1997). Jika dilihat dari kacamata masalah Myanmar saat ini dan Indonesia pada rezim Orde Baru, kontrol sipil merupakan antitesis dari partisipasi militer dalam politik. Pembahasan utamanya adalah bagaimana kontrol sipil meminimalkan power atau kekuasaan yang dimiliki oleh kelompok militer
Adapun, keberhasilan perwujudan kontrol sipil dapat dilihat secara objektif dari tiga aspek berikut: Pertama, pemisahan yang jelas antara sipil dan militer secara institusional. Kedua, non intervensi militer dalam politik domestik. Ketiga, terlaksananya subordinasi militer oleh otoritas sipil (Huntington, 1957). Ketika kontrol sipil diimplementasikan dengan optimal, otoritas sipil tidak akan mengintervensi ranah militer secara berlebihan dan militer pun juga akan menjaga profesionalismenya dengan tidak melibatkan diri dalam politik. Selain mencakup aspek militer di dalamnya, kontrol sipil juga mengatur bagaimana rekrutmen elit politik, kebijakan publik, dan keamanan domestik menjadi tiga ranah yang harus dikuasai penuh oleh pemerintah sipil di negara demokrasi.
Namun, kontrol sipil atas militer memang tidak bisa dijauhkan dari beragam tantangan. Secara riil, militer pada dasarnya merupakan kekuatan negara yang sah dalam menggunakan kekerasan (Gunawan, 2017). Fakta ini jugalah yang mendasari kenapa ancaman militer termasuk dalam potensi alami ancaman terhadap negara demokrasi. Jika instrumen-instrumen represif yang dimiliki oleh militer masih menjadi bagian dari sektor pertahanan nasional, bukan tidak mungkin proses konsolidasi demokrasi terancam gagal. Kondisi di atas terefleksikan dalam rekam jejak demokratisasi Indonesia pada rezim otoritarian Orde Baru di mana terdapat dwifungsi TNI.
Kembali ke kasus pemerintah militer Myanmar, kontrol sipil gagal terwujud di sana karena tiga alasan mendasar: 1) keengganan internal militer untuk mengakomodasi gerakan prodemokrasi, 2) pemberlakuan konstitusi yang memberikan ruang bagi dominasi militer dalam politik, dan 3) penanaman pengaruh militer secara tidak langsung dalam pemerintahan sehingga dapat menggagalkan upaya legislasi oleh otoritas sipil.
Lain halnya dengan Myanmar, kontrol sipil relatif berhasil ditegakkan di Indonesia berkat beberapa faktor utama, antara lain antara lain: 1) adanya respons positif dari internal TNI terhadap tuntutan Reformasi, 2) terlaksananya pemisahan fungsi pertahanan-keamanan dan penguatan peran sipil terhadap urusan pertahanan, serta 3) penghapusan doktrin Dwifungsi secara sistematis. Dampak keberhasilan kontrol sipil di Indonesia pun membatasi ruang gerak militer sehingga memfokuskan TNI untuk membenahi diri menjadi angkatan perang yang profesional.
Upaya untuk membangun format baru hubungan sipil-militer dalam masyarakat demokratis memerlukan landasan yang lebih fundamental. Prasyarat yang penting adalah terbentuknya pemerintahan demokratis yang mencakup rule of law, akuntabilitas publik dalam kaitannya dengan ‘delicate balance’ tentang otonomi militer dalam kebijakan personil, penentuan tingkat kekuatan, dan doktrin militer. Alhasil, dapat dikatakan penataan hubungan sipil-militer yang demokratis harus melibatkan sipil dalam memikirkan dan merumuskan, serta menentukan kebijakan di bidang pertahanan.
Referensi
Artikel
https://international.sindonews.com/read/787985/40/junta-myanmar-akan-gantung-4-orang-termasuk-anggota-partainya-aung-san-suu-kyi-1654268787. Diakses pada 3 September 2022, pukul 15.07 WIB.
https://www.cnnindonesia.com/internasional/20210701101822-106-661672/rezim-militer-myanmar-enggan-disebut-junta-dan-ancam-jurnalis. Diakses pada 3 September 2022, pukul 16.09 WIB.
Jurnal
Gunawan, A. (2017). “Kontrol Sipil atas Militer dan Kebijakan Pertahanan di Indonesia Pasca Orde Baru”. Diakses pada 5 September, pukul 10.30 WIB melalui https://www.researchgate.net/publication/322984667_Kontrol_Sipil_atas_Militer_dan_Kebijakan_Pertahanan_di_Indonesia_Pasca_Orde_Baru
Kohn, R. (1997). “How Democracies control the Military”. Jo-
urnal of Democracy 8 (No.4): 140-153. Diakses pada 5 September, pukul 10. 10 WIB melalui https://www.semanticscholar.org/paper/How-Democracies-Control-the-Military-Kohn/50c47f1491c06773514d8354e9f962a1274871fe
Schedler, A. (1997). “Expected Stability: Defining and Measuring Democratic Consolidation(Working Paper 50)”. IHS Vienna. Diakses pada 4 September, pukul 21.10 WIB melalui https://irihs.ihs.ac.at/id/eprint/1026/1/pw_50.pdf
Sundhaussen, U. (1998). The Military: A Threat to Democracy? Australian Journal of Politics and History, 44(3), 329–349. Diakses pada 4 September, pukul 22.09 WIB melalui https://doi.org/10.1111/1467-8497.00025
Buku
Huntington, S. P. (1957). The Soldier and the State: The Theory and Politics of Civil–Military Relations(Revised ed.). Belknap Pres.

Samuella Christy adalah mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia yang aktif menulis mengenai isu-isu politik, sosial, dan budaya. Dapat dihubungi di samuellachristy3005@gmail.com.