
Saya yakin kita semua pasti familiar dengan sosok Jack Sparrow sebagai karakter utama dari series Pirates of The Caribbean. Tampil khas menggunakan topi bajak lautnya serta rambutnya yang dibuat ikal, Jack Sparrow yang kadang bersikap nyeleneh itu membuat jalan cerita Pirates of The Caribbean semakin menarik. Ditambah lagi, akting Johnny Depp yang begitu melekat pada sosok bajak laut ini mampu menghidupkan karakter Jack Sparrow dengan kharismatik. Rasanya, saya tidak bisa membayangkan apabila Disney merekrut orang lain selain Johnny Depp karena saking begitu melekatnya karakter ini.
Namun, baru-baru ini, Johnny Depp mengungkapkan bahwa Disney tidak melanjutkan kontrak saga Pirates of the Caribbean dengan dirinya, lantaran kasus pencemaran nama baik yang melawan mantan istrinya, Amber Heard, yang kembali digulir di pengadilan. Johnny Depp menggugat Amber Heard atas kasus pencemaran nama baik pada bulan Maret 2019. Ia melayangkan gugatan tersebut terkait tulisan mantan istrinya yang dipublikasikan di Washington Post pada tahun 2018 silam dengan judul “I spoke up against sexual violence – and faced our culture’s wrath. That has to change“. Meskipun nama Johnny Depp tidak tercantum dalam tulisan tersebut, sang aktor tetap merasa dirugikan. Ia menilai Heard telah merusak karier film dan reputasinya sebagai seorang figur publik (cnnindonesia.com, 21/04/2022).
Nyatanya, Johnny Depp lah yang menjadi korban dari “perspektif korban” dalam rumah tangganya sendiri. Dalam sidang ini, kesaksian pertama datang dari kakak Johnny Depp yang juga manajernya, Christi Dembrowski, adalah orang pertama yang membantah tudingan Amber Heard bahwa aktor itu orang yang kasar. Justru, Dembrowski menyebut ia menyaksikan Depp jadi korban kekerasan fisik (cnbc.indonesia.com, 23/04/2022). Selain kekerasan itu, Johnny Depp juga mengaku istrinya telah melakukan kekerasan verbal pada dirinya.
Kasus ini seolah menjadi tamparan nyata bagi masyarakat bahwa laki-laki juga bisa menjadi korban. Pasalnya, selama ini masyarakat menganggap bahwa hanya perempuan yang kerap menjadi korban dalam kasus kekerasan seksual, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), sampai persoalan diskriminasi lingkungan pekerjaan. Terlebih lagi, hadirnya narasi budaya patriarki yang seringkali membebankan pikiran korban laki-laki untuk bercerita dan melapor juga menjadi satu masalah yang tidak bisa dilupakan. Dalam kasus di atas, Johnny Depp menjadi korban dari narasi bahwa laki-laki tidak bisa menjadi korban.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa korban kekerasan seksual didominasi oleh perempuan dan mayoritas pelaku adalah laki-laki. Akan tetapi, fakta tersebut tidak dapat menafikkan bahwa kekerasan seksual juga terjadi pada laki-laki, khususnya anak laki-laki. Kekerasan seksual terhadap laki-laki seringkali tidak dianggap sebagai suatu hal yang serius. Berdasarkan Laporan Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender yang diluncurkan Indonesia Judicial Research Society (IJRS) dan INFID Tahun 2020, ada 33% laki-laki yang mengalami kekerasan seksual khususnya dalam bentuk pelecehan seksual (ijrs.or.id, 28/09/2021).
Berdasarkan survei dari Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) yang melibatkan 62.224 responden, 1 dari 10 laki-laki pernah mengalami pelecehan di ruang publik. Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memperlihatkan bahwa korban kekerasan seksual di tahun 2018 lebih banyak dialami oleh anak laki-laki, di mana ada 60% anak laki-laki dan 40% anak perempuan menjadi korban kekerasan seksual (ijrs.or.id, 28/09/2021).
Di samping kasus kekerasan seksual, data juga menunjukkan bahwa laki-laki dapat menjadi korban dari KDRT. Pada tahun 2020 lalu, Komnas Perempuan mengadakan penelitian mengenai dinamika rumah tangga di masa pandemi, jumlah perempuan yang mengalami kekerasan sebesar 90 berbanding 10. Artinya, dari 90 persen korban dalam kekerasan rumah tangga yang merupakan perempuan, 10 persen di antaranya adalah laki-laki (voi.id, 04/02/2022). Adapun faktor-faktor yang menjadi penyebab laki-laki dapat menjadi korban kekerasan dalam sebuah hubungan, antara lain adalah pengaruh negatif relasi sosial, usaha mempertahankan hubungan, gejolak emosi dan agresi, pengaruh terhadap hubungan baru, dan lain sebagainya (Maria & Sakti, 2021).
Namun, kasus-kasus tersebut mungkin saja jauh dari angka yang sebenarnya. Ketidaktahuan dan perspektif masyarakat mengenai laki-laki yang menjadi korban kerap menjadi penyebabnya. Misalnya, budaya patriarki di mana adanya distribusi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan, sehingga laki-laki dipandang mempunyai keunggulan dalam satu aspek atau bahkan lebih dibandingkan seorang perempuan. Kultur patriarki ini secara turun- temurun membentuk perbedaan perilaku, status, dan otoritas antara laki-laki dan perempuan di masyarakat yang kemudian menciptakan narasi di mana laki-laki harus kuat, derajatnya lebih tinggi, dan tidak boleh kalah dari perempuan.
Stigma-stigma tersebut kemudian mengakar pada masyarakat dan dianggap menjadi kodrat gender. Persepsi kodrat merupakan hasil dari proses internalisasi yang panjang, sehingga hampir seluruh masyarakat menganggap kodrat laki-laki adalah bekerja dan kodrat perempuan adalah diam di rumah tanpa mengetahui asal-usul kodrat tersebut. Hal ini yang masyarakat yakini. Proses internalisasi yang terjadi sejak waktu yang lama inilah yang juga mendasari norma gender. Misalnya, apabila korban laki-laki mengadu mengalami kekerasan dalam hubungannya, mungkin respons orang di sekitarnya, seperti “Loh, badan kamu lebih gede, kan?” atau “Gak boleh manja dong, dipukul gitu aja ngadu,”.
Terlepas dari kasus Johnny Depp di atas, yang belum kita ketahui kebenaran pasti maupun akhir dari putusan persidangannya, isu kesetaraan gender menjadi urgensi yang harus terus digaungkan untuk meningkatkan kesadaran gender bersama, beserta komitmen penegakan hukumnya. Entah siapapun itu korbannya, dimanapun tempat kejadiannya, semua korban (baik laki-laki maupun perempuan) berhak untuk menyuarakan suara mereka tanpa intimidasi dari pihak manapun. Sudah seharusnya pemerintah dan masyarakat bersinergi untuk membangun ruang aman bagi korban dan penegakan hukum yang berperspektif gender dan HAM, serta berorientasi bukan saja pada sanksi kepada pelaku, namun juga pemulihan korban.
Referensi
Artikel
https://www.cnbcindonesia.com/lifestyle/20220423195946-33-334248/ini-kronologi-kasus-kdrt-yang-diduga-menimpa-johhny-depp Diakses pada 24 April 2022, pukul 19.40 WIB.
https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20220421104019-234-787686/johnny-depp-ungkap-alasan-disney-putuskan-kontrak-pirates-of-caribbean Diakses pada 24 April 2022, pukul 19.30 WIB.
http://ijrs.or.id/kekerasan-seksual-pada-laki-laki-diabaikan-dan-belum-ditangani-serius/ Diakses pada 25 April 2022, pukul 15.33 WIB.
https://voi.id/berita/131456/jangan-salah-selama-pandemi-covid-2020-10-persen-pria-menjadi-korban-kdrt Diakses pada 24 April 2022, pukul 14.00 WIB.
Jurnal
Fadilah, Nur. A.., Kuniasari, Netty D., & Quraisyin, D. (2011). “Relasi Gender dalam Hubungan Pacaran”. Jurnal Komunikasi, Vol. V (2): 79-164. https://media.neliti.com/media/publications/107368-ID-relasi-gender-dalam-hubungan-pacaran.pdf Diakses pada 25 April 2021 pukul 16.13 WIB.
Maria, A., & Sakti, H. (2021). “Pengalaman Laki-Laki yang Menjadi Korban Kekerasan dalam Pacaran (KDP): Sebuah Interpretative Phenomenological Analysis”. Jurnal EMPATI, 10(4), 240-247. https://doi.org/10.14710/empati.2021.32578
Rahayu, N. (2012). “Kesetaraan Gender dalam Aturan Hukum dan Impelementasinya di Indonesia”. Jurnal Legislasi Indonesia, Vol 9 (1). Diakses melalui https://e-jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/view/375/257

Samuella Christy adalah mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia yang aktif menulis mengenai isu-isu politik, sosial, dan budaya. Dapat dihubungi di samuellachristy3005@gmail.com.