Undang-Undang Cipta Kerja Dalam Sudut Pandang Teori Pilihan Publik

    1116

    Pengesahan RUU Cipta Kerja menuai reaksi negatif dari berbagai kelompok dalam masyarakat. Keburukan UU Cipta Kerja yang dilekatkan pada kapitalisme menjadi narasi penolakan paling populis (Christy, 2020). Keburukan tersebut berupa pelemahkan posisi tenaga kerja, penindasan petani, sampai pembahasan yang tertutup dari publik (cnnindonesia.com, 07/10/2020).

    Salah satu artikel bernarasi serupa ditulis Wardana, yang melihat penjelmaan kapitalisme dalam Law and Development State dan Law and Neoliberal Market, sebagai teori UU Cipta Kerja berpijak, serta membawa Indonesia kembali ke otoritarianisme. Selain itu, perwujudan Coase Theorem dalam UU Cipta Kerja juga dianggap membatasi hak berpartisipasi Amdal (Wardana, 2020). Bagian terakhir artikel memposisikan kritik terhadap UU Cipta Kerja sebagai bagian dari kritik atas kapitalisme (Wardana, 2020).

    Mencermati artikel tersebut, saya tertarik memberikan pembelaan, tetapi bukan dengan menjernihkan pemahaman terhadap kapitalisme (Surya, 2020). Melainkan, melalui peneguhan kembali khutbah kapitalisme mengenai kegagalan pemerintah dalam mengatur kepentingan publik.

    Kegagalan pemerintah akan saya jelaskan menggunakan teori pilihan publik (public choice theory) yang mengaplikasikan analisis ekonomika untuk mendeskripsikan proses keputusan politik. Termasuk di dalamnya adalah teori negara, aturan pengambilan suara dan tindakan pemilih, partai politik, analisis kebijakan, serta regulasi (Mercuro & Medema, 1999).  Teori pilihan publik, seperti halnya kapitalisme, menempatkan penyelenggara negara sebagai manusia yang tindakannya dituntun kepentingan pribadi.

     

    Rasionalitas Ekonomika terhadap Legislasi

    Pemilihan legislatif merupakan pasar, tempat calon legislator menjual berbagai program legislasi kepada pemilih. Alat tukarnya adalah suara dari pemilih. Pasar ini dicirikan oleh karakteristik free rider, yakni legislator yang mendapat keuntungan dari pengesahan RUU tanpa ia berkonstribusi (Posner, 2014). Kondisi ini membuka kehadiran logrolling dan rent seeking.

    Pertama, logrolling, merupakan transaksi suara, yakni satu partai menyetujui tawaran legislasi partai lain, dan kompensasinya. Partai terakhir menyetujui tawaran partai pertama (Tullock, Seldon, & Brady, 2002). Perdagangan suara digambarkan tabel berikut;

    LEGISLATOR ISU
    X Y
    Partai A -2 -2
    Partai B 5 -2
    Partai C -2 5

     

    Ketidaksetujuan ditandai minus. Jika masing-masing isu diputuskan terpisah oleh aturan mayoritas, maka Partai B dan Partai C gagal. Keduanya meraih keuntungan maksimal dari isu X dan Y, dengan cara Partai B memilih Y, sebagai ganti Partai C memilih X. Partai B dan Partai C saling menguntungkan.

    Penting disampaikan bahwa, logrolling berkonotasi netral. Ia berimplikasi positif, misalnya Partai B berat pada isu efisiensi perpajakan, dan Partai C fokus terhadap isu perlindungan perempuan. Ketika keduanya menjadi isu legislasi, maka Partai B bertransaksi suara dengan Partai C. Partai B mendukung legislasi perlindungan perempuan sesuai fokus Partai C, dan Partai C mendukung legislasi efisiensi perpajakan sesuai heavy Partai B.

    Ia berdampak negatif, misalnya Partai B dipimpin pemilik harta di Kepulauan Cayman, dan ketua Partai C menelantarkan istri kedua yang dikawininya di bawah tangan. Ketika pertukaran data perpajakan dan perlindungan perempuan menjadi isu legislasi, maka pejabat tertinggi kedua partai bertransaksi. Partai B menolak legislasi perlindungan perempuan untuk kepentingan ketua Partai C, dan Partai C menolak legislasi pertukaran data perpajakan sesuai kepentingan pimpinan Partai B.

    Dari sini, maka mitigasi keburukan logrolling menjadi penting. Ada persyaratan logrolling yang baik, yakni deklarasi dan perdagangan suara pada semua masalah publik, dan peningkatan kapasitas guna mengelola isu yang menjadi perhatian partai dan melepaskan isu yang tidak menjadi fokusnya (Mueller, 2003; Tullock, Seldon, & Brady, 2002).

    Kedua, rent seeking, ialah tindakan mempengaruhi legislator guna meraih manfaat tertentu (Mueller, 2003). Sejak tindakan legislator dapat mendistribusikan kesejahteraan, maka para aktor privat mempunyai insentif membentuk kelompok guna meraih keuntungan atau menghindari nestapa dari legislasi. Kelompok ini disebut interest group (Posner, 2014). Interest group ingin bertransaksi dengan legislator, baik legislator berposisi sebagai calo distribusi kesejahteraan, maupun sebagai individu yang mengkreasi permintaan untuk ditanggapi interest group (McChesney, 1988).

    Seperti halnya logrolling, rent seeking, dan interest group juga berkonotasi netral. Ia berimplikasi positif, misalnya pusat kajian kampus yang mempengaruhi legislator agar segera mengesahkan RUU PKS guna memperluas jangkauan UU yang sudah ada. Ia berdampak negatif, misalnya lobi asosiasi pengusaha kepada legislator agar menolak legislasi pajak kantong plastik karena itu mereduksi keuntungan pengusaha.

    Rent seeking dan interest group tidak terhindarkan dalam demokrasi. Ada beberapa implikasi yang penting diperhatikan, yakni sistem bikameral dan jumlah banyak legislator menaikkan ongkos tindakan rent seeking dan interest group, dan isu berkelindan dan banyaknya populasi masyarakat memunculkan banyak rent seeking dan interest group (McCormick & Tollison, 1981).

     

    Logrolling pada Legislasi UU Cipta Kerja

    Koalisi merupakan bentuk logrolling, dan reputasi kesetiaan partai pada koalisi menjadi kunci kerjasama berjalan panjang (Carrubba & Volden, 2000). Saat ini, partai koalisi pemerintah terdiri dari 6 fraksi yang menguasai 427 dari 575 kursi DPR RI atau 74,26%, dan ada 3 fraksi berada di luar pemerintah yang menguasai 148 kursi DPR RI, atau 25,74% (dpr.go.id, 10/10/2020).

    Selain itu, 20 politisi partai koalisi pemerintah menjadi menteri dan wakil menteri di Kabinet. Komposisinya 6 orang dari PDIP, 4 orang dari Golkar, 3 orang dari NasDem, 3 orang dari PKB, 2 orang dari PPP, dan 2 orang dari Gerindra (merdeka.com, 26/10/2019). Di antara orang-orang ini, terdapat 3 pimpinan tertinggi partai yang menjadi Menteri, yaitu Menko Perekonomian merupakan Ketua Umum Golkar, Ketua Umum Gerindra menjadi Menteri Pertahanan, dan Menteri PPN/Bappenas dijabat Ketua Umum PPP (nasional.kompas.com, 25/10/2019).

    Situasi tersebut mengkhawatirkan absennya kemaslahatan pada legislasi UU Cipta Kerja, sehingga layak diuji melalui persyaratan logrolling yang baik. Pertama, deklarasi dan perdagangan suara pada semua masalah publik (Mueller, 2003; Tullock, Seldon, & Brady, 2002).

    Deklarasi partai koalisi pemerintah terlihat dari koalisi Indonesia kerja yang mendukung pasangan Jokowi – Ma’ruf Amin sebagai Capres dan Cawapres 2019, sampai bergabungnya Gerindra dalam koalisi partai pendukung pemerintah (bbc.com, 23/10/2019). Partai koalisi pemerintah bekerjasama secara efektif sebagaimana ditunjukkan kekompakan mereka mengesahkan RUU Minerba, Perpu COVID-19, RUU MK, RUU Bea Materai, dan RUU Cipta Kerja (parlemenindonesia.org, 02/10/2020; jateng.suara.com, 07/10/2020).

    Kedua, peningkatan kapasitas guna mengelola isu yang menjadi perhatian partai dan melepaskan isu yang tidak menjadi fokusnya (Mueller, 2003). Ketertarikan isu ditunjukkan melalui platform partai. Secara konseptual, basis platform dibedakan menjadi, libertarian yang tertarik pada hak asasi sipil dan politik, serta perlindungan kepemilikan. Selain itu, demokrasi sosial yang berat pada hak sipil, politik, sosial, ekonomi, dan budaya (Meyer, 2012). Tanpa penampakan ini dapat diasumsikan sistem kepartaian cacat dan tidak berfungsi (Meyer, 2012).

    Sementara persamaan dan pembedaan platform antar partai koalisi pemerintah maupun oposisi tidak terlihat. Ketiadaan platform berkorelasi lurus dengan lemahnya figur dan konsistensi program, yang berimplikasi pada oportunisme dalam citra maupun materiil (Aminuddin & Ramadhan, 2015).

    Dari sini, maka legislasi UU Cipta Kerja tidak memenuhi persyaratan logrolling yang baik. Ketiadaan platform yang menjadi perekat koalisi berimplikasi pada kekaburan batasan ideologi. Dengan demikian, sesama legislator saling mengakomodasi, menarik masuknya rent seeking dan interest group dalam legislasi, dan mengelabui pemilih. Logrolling demikian, dalam pandangan kapitalisme, merupakan tindakan pelaku monopoli yang mengeksploitasi konsumen.

     

    Rent Seeking dan Interest Group dalam Legislasi UU Cipta Kerja

    Sejak awal, legislasi UU Cipta Kerja menarik perhatian publik, baik itu ditunjukkan melalui kajian tertulis dari FH UGM (Riyanto, dkk., 2020), PP Muhammadiyah (Raharjo, dkk., 2020), dan ICEL (ICEL, 2020), maupun secara lisan seperti pendapat KNPI, APINDO, KSPI, dan lain sebagainya (jpnn.com, 22/02/2020; beritasatu.com, 12/07/2020; mediaindonesia.com, 21/02/2020). Aktor-aktor ini, dalam perspektif ekonomika, merupakan rent seeking dan interest group, lepas dari wujud mendukung atau menolak RUU Cipta Kerja. Ketertarikan mereka berangkat dari posisi legislator yang menjadi calo distribusi kesejahteraan dan mengkreasi permintaan untuk ditanggapi aktor di luar legislator (McChesney, 1988).

    Situasi di atas tidak terhindarkan dalam demokrasi. Jangkauan pengaruh rent seeking dan interest group dikembalikan kepada legislator, sejauh mana ia mempertimbangkan biaya dan manfaat dari legislasi terhadap kepentingan pribadinya. Oleh karena itu, desain legislasi yang dapat mengontrol kolaborasi legislator dengan rent seeking dan interest group menjadi prioritas yang sangat penting.

    Pertama, tingkatkan ongkos mengawal kepentingan pada legislasi. Salah satunya melalui lembaga perwakilan bersistem bikameral guna mengetatkan mekanisme saling kontrol antar legislator. Sistem ini menaikkan ongkos rent seeking dan interest group untuk mempengaruhi legislasi (McCormick & Tollison, 1981).

    Semakin banyak legislator terlibat legislasi, semakin tinggi ongkos rent seeking dan interest group untuk mengadvokasi kepentingan pada legislasi. Sementara, legislatif Indonesia bersistem unikameral, karena DPD tidak berwenang mengesahkan RUU. Bagi rent seeking dan interest group, sistem ini berbiaya lebih murah dibandingkan bikameral.

    Kedua, pembatasan subyek legislasi. Sedikitnya, subyek berimplikasi berkurangnya kehadiran rent seeking dan interest group (McCormick & Tollison, 1981). Formulasinya melalui aturan subyek tunggal guna melarang masuknya ketentuan-ketentuan yang mencemari maksud dan substansi RUU (Kaminski & Hart, 2002). Ini berlawanan dengan RUU Cipta Kerja yang mempunyai 11 klaster. Banyaknya klaster bukan hanya menarik banyaknya rent seeking dan interest group, tetapi juga menyulitkan pembahasan dan menggelapkan transparansi (Cooter & Gilbert, 2010).

    Sebagai penutup, tulisan saya menggambarkan secara singkat bahwa legislator bukan hanya kelanjutan preferensi pribadi, tetapi juga individu dengan agenda dan tujuan sendiri. Legislator berusaha meningkatkan kesejahteraan pribadi, termasuk dalam mengelola kepentingan publik. Sementara, legislator tidak tunduk pada ketatnya disiplin pasar. Implikasinya, kegagalan dalam mengatur kepentingan publik.

    Melalui perspektif teori pilihan publik, saya mendeskripsikan permasalahan logrolling, rent seeking dan interest group pada legislasi UU Cipta Kerja. Keberadaan mereka dan juga free rider merupakan keniscayaan dalam demokrasi. Kejelasan platform partai untuk permasalahan logrolling, serta sistem perwakilan bikameral dan aturan subyek tunggal untuk permasalahan rent seeking dan interest group, merupakan rekomendasi perbaikan demokrasi dengan cara menundukkan legislator pada disiplin pasar secara ketat. Tujuannya, menghadirkan kemaslahatan total dalam kehidupan berdemokrasi.

     

     

    Referensi

    Buku

    McChesney, Fred S. “Rent Extraction and Rent Creation in the Economic Theory
    of Regulation”. Rowley, Charles K; Robert D. Tollison, & Gordon Tullock. 1988. The Political Economy of Rent Seeking. Massachusetts: Kluwer Academic Publisher.

    McCormick, Robert E. &  Robert D. Tollison. 1981. Politicians, Legislation, and the Economy: An Inquiry into the Interest-Group Theory of Government. Massachusetts: Kluwer Boston.

    Mercuro, Nicholas & Steven G. Medema. 1999. Economics and the Law: From Posner to Post-modernism. New Jersey: Princeton University Press.

    Meyer, Thomas, 2012. Peran Partai Politik dalam Sebuah Sistem Demokrasi: Sembilan Tesis. Jakarta: Friedrich-Ebert-Stiftung (FES) Kantor Perwakilan Indonesia.

    Mueller, Dennis C. 2003. Public Choice III. Cambridge: Cambridge University Press.

    Posner, Richard. 2014. Economic Analysis of Law: Ninth Edition. New York: Wolter Kluwer Law & Business.

    Tullock, Gordon; Arthur Seldon, & Gordon L. Brady. 2002. Government Failure: A Primer in Public Choice. Washington: Cato Institute.

     

    Jurnal

    Aminuddin, M. Faishal dan Moh. Fajar Shodiq Ramadlan, “Match-All Party: Pragmatisme Politik dan Munculnya Spesies Baru Partai Politik di Indonesia Pasca Pemilu 2009”, Jurnal Politik, Vol. 1 (1), 2015.

    Carrubba, Clifford J.  dan Craig Volden, “Coalitional Politics and Logrolling in Legislative Institutions”, American Journal of Political Science, Vol. 44 (2), 2000.

    Cooter Robert D. dan Michael D. Gilbert, “A Theory of Direct Democracy and the Single Subject Rule”, Columbia Law Review, Vol. 110 (3), 2010.

     

    Artikel Lepas

    Kaminski, Stanley R. & Elinor L. Hart. 2012. “Log Rolling Versus the Single Subject Rule”, The United States Law Week: Case Alert & Legal News.

     

    Internet

    https://www.beritasatu.com/edi-hardum/ekonomi/654649/apindo-omnibus-law-angin-segar-bagi-investor-dan-para-pencari-kerja Diakses pada 12 Oktober 2020, pukul 19.24 WIB.

    https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201007161530-20-555563/said-aqil-ciptaker-untungkan-kapitalis-tindas-rakyat-kecil Diakses pada 9 Oktober 2020, pukul 18.05 WIB.

    https://suarakebebasan.id/populisme-dan-klaim-atas-representasi-rakyat/ Diakses pada 15 Oktober 2020, pukul 19.24 WIB.

    http://www.dpr.go.id/tentang/fraksi Diakses pada 10 Oktober 2020, pukul 10.10 WIB.

    https://icel.or.id/wp-content/uploads/CATATAN-ATAS-RUU-CIPTA-KERJA-ICEL-13.02.20.pdf Diakses pada 12 Oktober 2020, pukul 09.53 WIB.

    https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-50120592 Diakses pada 17 Oktober 2020, pukul 10.48 WIB.

    https://www.jpnn.com/news/knpi-dukung-omnibus-law-cipta-lapangan-kerja-segera-disahkan Diakses pada 12 Oktober 2020, pukul 10.07 WIB.

    https://www.merdeka.com/politik/komposisi-pembagian-pos-menteri-wamen-untuk-parpol-profesional-siapa-terbanyak.html?page=4 Diakses pada 17 Oktober 2020, pukul 10.34 WIB.

    http://parlemenindonesia.org/ress-release-formappi-dpr-di-tengah-pandemi-refleksi-setahun-dpr-ri-pasca-pelantikan/ Diakses pada 17 Oktober 2020, pukul 10.58 WIB.

    https://muhammadiyahgl.com/kajian-akademis-pp-muhammadiyah-tentang-ruu-cipta-kerja/ Diakses pada 12 Oktober 2020, pukul 09.45 WIB.

    https://rispub.law.ugm.ac.id/2020/03/13/kertas-kebijakan-catatan-kritis-dan-rekomendasi-terhadap-ruu-cipta-kerja/ Diakses pada 12 Oktober 2020, pukul 09.25 WIB.

    https://suarakebebasan.id/kapitalisme-kapitalis-elit-global-dan-oligarki/ Diakses pada 09 Oktober 2020, pukul 14.20 WIB.

    https://nasional.kompas.com/read/2019/10/23/10365701/tiga-menteri-jokowi-masih-menjabat-ketua-umum-parpol Diakses pada 12 Oktober 2020, pukul 09.03 WIB.

    https://mediaindonesia.com/read/detail/291548-tolak-ruu-cipta-kerja-kspi-buruh-akan-lakukan-aksi-besar Diakses pada 12 Oktober 2020, pukul 20.06 WIB.

    https://jateng.suara.com/read/2020/10/07/100000/uu-cipta-kerja-disahkan-ini-isi-lengkap-omnibus-law?page=all Diakses pada 12 Oktober 2020, pukul 08.21 WIB.

    https://indoprogress.com/2020/10/omnibus-law-cipta-kerja-peneguhan-hukum-sebagai-instrumen-akumulasi-kapital/ Diakses pada 09 Oktober 2020, pukul 12.42 WIB.