UAS, Singapura, dan Terorismephobia

316

Singapura belakang menjadi salah satu nama yang dibicarakan oleh netizen Indonesia. Nada sumbang yang diarahkan oleh para netizen Indonesia yang terkenal dengan julukan “paling tidak ramah” ini berawal dari rencana Ustad Abdul Somad (UAS) yang tengah merayakan hari ulang tahunnya dengan berlibur ke negara tersebut.

Bayangan liburan menyenangkan UAS buyar setelah otoritas imigrasi Singapura meminta agar UAS kembali pulang ke Indonesia karena dia tak diizinkan masuk ke Singapura.Hal ini yang kemudian menyebabkan kehebohan di tengah masyarakat. Karena UAS adalah tokoh dai yang tengah naik daun. Sebagian orang di Indonesia menggandrunginya.

UAS mengatakan bahwa dirinya bak pesakitan karena ia bingung kenapa dirinya tidak boleh masuk ke Singapura (Pedomantangerang.com, 17/05/2022). Hal ini kemudian juga memancing orang-orang yang mendukung UAS untuk mengutuk Pemerintah Singapura.

Para politikus yang tahu bahwa UAS memiliki banyak simpatisan, ikut tebar pesona dengan mengutuk Singapura. Pemerintah Singapura sendiri mengatakan bahwa larangan UAS masuk ke Singapura adalah bentuk perlindungan negara tersebut terhadap bahaya ekstrimisme dan terorisme.

“Somad dikenal menyebarkan ajaran ekstremis dan perpecahan, yang tidak dapat diterima di masyarakat multiras dan multiagama Singapura,” kata Kementerian Dalam Negeri Singapura dalam pernyataan pers tertulis menanggapi Nota Diplomatik yang dilayangkan Kementerian Luar Negeri RI.

Singapura menilai UAS pernah merendahkan komunitas agama lain. “Dia juga membuat komentar yang merendahkan anggota komunitas agama lain, seperti Kristen, dengan menggambarkan salib Kristen sebagai tempat tinggal jin (roh/setan) kafir,” demikian pernyataan Kemendagri Singapura. (Pedomantangerang.com, 20/05/2022)

Singapura adalah negara kepulauan yang kecil dan sangat bergantung pada stabilitas politik dan sosial. Bagi Singapura, UAS dianggap sebagai salah satu dai yang berpotensi untuk memecah belah masyarakat Singapura. Apalagi Singapura adalah negara yang sangat sensitif dengan masalah radikalisme dan terorisme.

Trauma Masa Lalu

Saat orang-orang mulai mempersiapkan diri untuk menghadiri kebaktian di malam yang Kudus, tak ada seorang pun yang mengira bahwa pada 24 Desember tahun 2000 tersebut akan menjadi tragedi tak terlupakan bagi bangsa Indonesia dan dunia.

Serentetan bom meledak, dari Batam hingga Jakarta, dari Katedral milik umat Katolik hingga gereja tempat orang-orang Protestan beribadah, menjadi sasaran aksi teror yang didalangi oleh Jemaah Islamiyah (JI). Teror bom tersebut menghentakkan seluruh dunia. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang dikenal sebagai presiden cinta damai merasa tercoreng wajahnya akibat ulah para terorisme yang biadab dan tak berkeprikemanusiaan.

Tak hanya itu, teror bom di tahun 2000 adalah awal dari tahun-tahun mengerikan bagi negara-negara di Asia Tenggara. Jaringan Teroris yang didalangi oleh para “Mujahidin” asal Malaysia, seperti Noordin M Top, Dr. Azahari, Hambali, dibiayai oleh Mehdat Abdul Salam Shabana kombatan perang Afghanistan dahulu.

Para teroris ini bukan hanya menyebarkan teror di satu negara, namun meluaskan jaringan mereka dan memperkuat basis pemberontakan di Indonesia dan Filipina Selatan. Lebih kacau lagi, ternyata Singapura menjadi tempat berlalu-lalang kelompok teroris yang membangun jaringan Malaysia – Indonesia.

Tragedi teror 9/11 pada tahun 2001 makin memperkuat paranoia masyarakat terhadap kelompok teroris Timur Tengah yang melakukan aksinya ke seluruh dunia.Tentu dapat ditebak, akibat adanya aksi teror, industri pariwisata anjlok. Asia Tenggara dicap sebagai wilayah yang tidak aman karena maraknya aksi teror di negara tersebut.

Hal ini jugalah yang memukul perekonomian di Singapura. Hilangnya para turis dan investasi dari Asia Tenggara membuat negara yang diapit tersebut frustasi. Kelesuan ekonomi pada tahun 1998 belum sepenuhnya mereda. Namun, dengan adanya aksi teror ini, pertumbuhan ekonomi di Asia Tenggara memasuki fase ketidakpastian.

Chia Yi-Lee dalam makalahnya “Resurgent Terrorism in Southeast Asia: Impact On the Economy” (2016), menuturkan bahwa kekhawatiran utama investor di awal tahun 2000an adalah masalah terorisme dan keamanan.

Menurut hasil survei dari AT Kearney Foreign Direct Investment Confidence Index pada tahun 2004, 2005, dan 2007, eksekutif terkemuka perusahaan internasional menanggapi bahwa terorisme adalah salah satu perhatian utama mereka saat membuat keputusan investasi di luar negeri. Jika Asia Tenggara dianggap sebagai wilayah yang sering dilanda kegiatan teroris, perusahaan asing akan menghindari berbisnis di sini. (Chia, 2016).

Indonesia sendiri menjadi contoh karena akibat aksi teror, devisa negara merosot tajam, investasi menurun dan sektor pariwisata mengalami kerugian Akibat aksi itu, kerugian yang dialami Indonesia ditaksir mencapai Rp5,92 triliun. Selain itu, sektor pariwisata yang menjadi andalan masyarakat Bali juga terganggu, setidaknya hingga akhir Desember 2003 (Tirto.id, 21/05/2018)

Masalah keamanan dan ekonomi ini yang membuat Singapura agak panik. Bahkan, Perdana Menteri Singapura pada masa itu (Lee Kuan Yew), secara gegabah menyebut Indonesia sebagai sarang teroris.

Ucapan ini membuat polemik di media massa. Andreas Harsono dalam bukunya Agama Saya adalah Jurnalisme, menyebut ‘perang data’ antara majalah Tempo dan The Straits Times (Singapura) yang mana Indonesia berusaha mempertahankan nama baiknya dan menuduh “pihak asing” (Singapura) yang justru mencoba merusak pembangunan di Indonesia dengan isu terorisme. (Harsono, 2010).

Gerakan terorisme yang masif di Asia Tenggara, membuat Singapura bertindak sigap, bahkan secara terbuka bekerja sama dengan Amerika untuk memelihara keamanan dari serangan teroris.

Ini ditandai dengan sigapnya Singapura terhadap isu teror di negaranya. Singapura berhasil mengendus aktivitas kelompok JI yang hendak melakukan teror bom di Kedutaan Besar Amerika dan Australia. Otoritas kepolisian Singapura menangkap 15 orang dan 35 orang pada tahun 2022 (EmergencyNet News, 12/01/2002)

Jadi, bisa disimpulkan tentang alasan Singapura begitu waspada dan selektif terhadap masalah terorisme agama, karena Singapura tidak mau keadaan negaranya tidak stabil karena maraknya paham radikal di negerinya.

Singapura juga tidak ingin jika negaranya jadi tempat singgah kelompok radikal seperti Hambali beberapa tahun lalu. Karena itulah, Singapura begitu selektif terhadap tokoh agama yang datang berkunjung ke negerinya.

Bukan Hanya UAS!

Pengusiran terhadap agamawan oleh otoritas Singapura bukan hanya terjadi pada UAS. Beberapa waktu lalu, Singapura membuat daftar merah untuk agamawan yang dianggap sebagai ‘biang perpecahan’. Salah satunya adalah Lou Engle, seorang pengkhotbah asal Amerika yang berbicara menentang Islam dalam sebuah khotbah di sebuah gereja Kristen Singapura pada bulan Maret 2018.

Lou menganggap Islam adalah agama yang berbahaya bagi Singapura dan kalimat tidak pantas keluar dari tokoh agama tersebut. Agamawan seyogyanya menebarkan kebaikan dan ketentraman. Namun, Lou justru memanfaatkan popularitasnya untuk menjelek-jelekkan Muslim Singapura.

Komentar miring ini langsung disorot oleh pemerintah Singapura. Walhasil, Lou Engels dilarang oleh Kementerian Dalam Negeri (MHA) untuk berkhotbah di Singapura untuk selamanya. (Mothership, 15/03/2019).

Penceramah lainnya yang diblokir oleh pemerintah Singapura adalah seorang pendeta asal Australia, Colin Maxwell Stringer, yang telah diundang oleh New Creation Church untuk berkhotbah di Singapura pada 10 Maret 2019 lalu. Pemerintah Singapura juga menilai bahwa Stringer memiliki pandangan yang berpotensi memecah belah agama di Singapura, sehingga pemerintah melarang dirinya masuk dan berkhotbah di Singapura.

Pemerintah Singapura merujuk pada apa yang telah ditulis oleh Stringer pada sebuah blog sebagai bukti pandangan Islamofobia Stringer, di mana Stringer telah menyatakan bahwa Islam adalah agama yang bertekad menaklukkan dunia dan mengancam status Australia sebagai negara Kristen (Mothership, 15/03/2019)

Selain Islam dan Kristen, Singapura juga berusaha mencegah masuknya paham Hindu radikal ke negaranya. Melihat banyaknya etnis India yang tinggal di Singapura, pemahaman ekstrim yang timbul dari agama ini juga harus diantisipasi. Salah satunya adalah pelarangan film “The Kashmir Files”. Sebuah film yang dipuji oleh PM Narendra Modi dan partai Hindu sayap kanan India.

Film ini menggambarkan Islam dengan citra yang sangat buruk. Islam dianggap agama yang penuh kebencian, teror dan permusuhan. Film ini memperkuat rasa fanatisme Hindu di India, sehingga mereka ada alasan kuat untuk menahan laju Islam dan mengukuhkan kekerasan di Kashmir yang dilakukan oleh tentara India.

Singapura melarang film ini diputar dan disebarkan. Seluruh bioskop dilarang menyebarkan film ini dan setiap situs yang menyediakan akses film ini langsung dilarang oleh pemerintah Singapura. Apa yang dilakukan pemerintah Singapura bukanlah bentuk anti terhadap agama, namun rasa terrorist phobia juga ikut mendorong Singapura untuk menjaga ketentraman dan stabilitas tanah airnya.

Gejolak konflik agama di Malaysia, Indonesia, Myanmar dan Filipina menjadi bukti nyata betapa bahayanya fanatisme agama yang berujung pada paham radikal. Singapura tidak membenci UAS atau siapapun secara personal. Mereka hanya ingin agar persoalan privat (agama) tidak menjadi polemik nasional yang justru memecah belah bangsa Singapura.

Harusnya politikus di Indonesia memiliki akal yang jernih untuk memahami tindakan dan posisi Singapura. Upaya pencegahan terhadap paham radikal di Singapura ratusan kali lebih efektif dari Indonesia.

Ini disebabkan karena negarawan dan Pemerintah Singapura tegas untuk menghadang isu agama sebagai konsumsi politik publik dan menyebarkan radikalisme untuk kepentingan pihak-pihak tertentu. Berbeda sekali dengan sikap politikus Indonesia yang suka bermain api dengan menggoreng isu agama dan memanfaatkan perpecahan di masyarakat sebagai kendaraan politik mereka.

****

Referensi

https://amp.tirto.id/mengukur-efek-terorisme-terhadap-ekonomi-global-cKGa diakses pada 23 Mei 2022, pukul 23.49 WIB.

Yi-Lee, Chia. 2016. https://www.rsis.edu.sg/rsis-publication/cms/co16012-resurgent-terrorism-in-southeast-asia-impact-on-the-economy/#.You2TFMxdPw diakses pada 23 Mei 2022, pukul 23.55 WIB.

Harsono, Andreas. 2010. Agama Saya adalah Jurnalisme. Yogyakarta: Kanisius, 2010.

https://mothership.sg/2019/03/lou-engle-islamophobia-ban-mha/ Diakses pada 23 Mei 2022, pukul 00.37 WIB.

https://pedomantangerang.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-074498238/dideportasi-dari-singapura-uas-apa-saya-dianggap-isis diakses pada 24 Mei 2022, pukul 00.08 WIB.

https://pedomantangerang.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-074523551/6-fakta-kemendagri-singapura-menolak-uas-padahal-uas-dihormati-di-banyak-negara-ke-5-bikin-kaget?page=2 diakses pada 24 Mei 2022, pukul 00.08 WIB.

Zakis, Jeremy and Steve Macko (12 Januari 2002). “Major Terrorist Plot in Singapore Discovered; al-Qaeda Believed Well Established in the Asian Region”. EmergencyNet News. https://groups.google.com/g/alt.true-crime/c/6LMDZu35hhE. Diakses pada 24 Mei 2022,pukul 00.19 WIB