Tren Citayam: Kebebasan Berekspresi Warga Pinggiran

    233
    Sumber: https://www.google.com/amp/s/www.celebrities.id/amp/potret-adit-dan-ale-di-sudirman-sukses-bikin-citayam-fashion-week-pecah-8f2vl4

    Kemajuan zaman dan budaya populer yang berkembang cepat belakangan terus bergerak maju seiring dengan dorongan teknologi, informasi dan globalisasi. Perkembangan ini kita saksikan juga dengan munculnya berbagai tren di masyarakat. Baik di bidang kuliner, teknologi, maupun fashion.

    Tren fashion belakangan berkembang dengan cepat. Memang, fashion tak mungkin lepas dari kehidupan sehari-hari setiap orang. Kita membutuhkan fashion, kita memandang keindahan sebagai hak yang positif, kerapihan, bahkan kenyamanan. Jika direnungkan, fashion sangat mempengaruhi apa yang kita kenakan, kita makan, bagaimana kita hidup, dan bagaimana kita memandang diri dan idealisme kita.

    Di sisi lain, fashion juga mewarnai pasar dan memicu perkembangan ekonomi yang besar.

    Fashion juga mendorong pasar bebas dan transaksi global. Bayangan saya, jika ada tren baru yang berkembang di satu negara, maka beberapa negara lain cenderung akan meniru dan ini memicu terjadinya perdagangan global yang sehat.

    Dengan adanya internet, konsumen dengan mudahnya mendapatkan informasi terbaru tentang tren fashion terkini yang ada, baik di dalam negeri maupun negara-negara penghasil produk fashion ternama, seperti Paris, Italia, dan beberapa negara lainnya.

    Di sisi lain, fashion tidak selalu identik dengan kerapihan. Busana yang kita pakai kadang terlepas dari beban formalitas, namun menekankan pada aspek kebebasan. Hal ini pula yang ditunjukkan dalam “Citayam Fashion Week”

    ***

    Belakangan, fenomena “Citayam Fashion Week” sedang ramai diperbincangkan oleh warganet.Tidak ada yang mengira daerah di tengah kota tersebut akan menjadi tempat berkumpulnya anak-anak muda yang bergairah dan tengah haus mencari jati dirinya (Kompas.com, 20/07/2022).

    Masa remaja adalah masa yang penuh gairah, menggebu-ngebu dan dada dipenuhi gelora semangat. Dalam masa ini, remaja berusaha mencari identitas, kesukaan, jalan hidup dan kegemarannya. Beberapa remaja ada yang jatuh ke jalan yang salah, tapi saya bersyukur anak-anak remaja di Citayam tidak menampilkan citra ekstrim, namun sebaliknya: kreativitas.

    Anak-anak remaja dengan beragam pakaian dengan pede-nya membanggakan fashion dan jati dirinya. Berjalan dengan wajah tegak, tertawa dengan teman sebaya dan berkreasi dengan style busana yang mereka pakai.

    Inilah gambaran di bilangan Sudirman, Jakarta Pusat. Jika dahulu Kawasan ini adalah tempat ‘elit’ yang memamerkan mobil mewah, pakaian, dan aksesoris jutaan rupiah. Sebaliknya, kini anak-anak pinggiran bahkan mungkin yang terbiasa hidup keras di jalanan ‘menguasai’ daerah elit tersebut.

    Ya, kulit mereka mungkin agak gelap. Mereka dicemooh sebagian warganet karena tampak ‘kumal,’ namun mereka punya keberanian untuk mengekspresikan dirinya sekaligus menunjukkan bahwa mereka, anak-anak pinggiran ini, memiliki kesempatan yang sama untuk eksis, berkarya, dan tampil dengan selera mereka.

    Tren Fashion Yang Lebih Egaliter

    Ketika berita di koran dan media daring diwarnai oleh berbagai isu mengenai krisis, perang, pencitraan politik, dan kesemrawutan ibu kota, sekelompok anak muda di Citayam berusaha untuk tetap bahagia dengan cara mereka. Mereka bebas berlenggak-lenggok memamerkan kreasi fashion yang mereka rancang sendiri sembari mengusir kejenuhan dan kesumpekan Ibu kota Jakarta.

    Memang, tak sedikit warganet yang nyinyir bahkan memandingkan fashion street di China dan Korea Selatan yang tampilan warganya lebih fresh, segar, tampak ganteng, dan cantik. Saya pribadi tidak ingin membandingkan mana yang lebih baik, tapi mungkin warganet yang nyinyir tersebut lebih mementingkan ‘wajah ganteng’ dan ‘cantik’ ketimbang melihat bagaimana anak muda ini menikmat berkreasi menunjukkan jati dirinya dengan bebas.

    Melihat komunitas anak-anak di Citayam, saya teringat oleh komunitas La Sape di Kongo, Afrika. Tanpa bermaksud merendahkan siapapun, komunitas La Sape adalah orang-orang yang memiliki style pakaian unik dan ingin tampil elegan di tengah masyarakat yang masih dijerat oleh kemiskinan ekstrim.

    Asal-usul La Sape diyakini bermula di awal abad ke-20 di masa penjajahan Belgia-Prancis, di mana budak Kongo bekerja untuk mendapatkan pakaian bekas. Di luar jam kerja, para pria Kongo mulai berpakaian seperti “Pria Prancis” yang fashionable, ditandai dengan pakaian warna-warni, sepatu mewah, aksesoris seperti topi bowler, tongkat, dan kacamata hitam. Mengenakan pakaian seperti itu, mereka merasa keren dan mendapatkan energi serta kegembiraan (CNBCIndonesia.com, 12/04/2022).

    Bisa dikatakan bahwa kemiskinan ekstrim di sana telah memicu mereka untuk menikmati hidup dan tampil sesuai selera ekspresi mereka.  Dengan berpakaian necis, para anggota La Sape bisa merasakan kemerdekaan dan kesamaan derajat dengan bangsa-bangsa Eropa yang mempekerjakan mereka.

    Mereka tahu bagaimana menjadi bahagia dan komunitas La Sape hadir sebagai bentuk pelarian atas segala tekanan hidup yang selalu membuat mereka menangis. Berbeda dengan komunitas La Sape di Kongo, komunitas anak-anak Citayam hadir berkat perkembangan digital, khususnya media sosial. Di TikTok, Instagram dan Facebook, mereka melihat banyak anak-anak menjadi populer, terkenal, dan mendapat uang dengan mengekspresikan citra diri.

    Anak-anak Citayam yang biasanya berdomisili di Bogor, Depok, atau pinggiran Jakarta ingin memanfaatkan peluang itu. Umumnya, dahulu orang yang bisa masuk tv dan berpakaian bagus hanya kelompok elit. Namun, saat ini mereka berhasil menunjukkan bahwa fashion elit dan eksistensi diri bisa didapatkan oleh siapapun, tak memandang kaya atau miskin, Jakarta atau luar Jakarta.

    Menurut Sosiolog Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Luluk Dwi Kumalasari, keberadaan “Citayam Fashion Week” merupakan sarana para anak muda untuk mengungkapkan diri mereka secara jujur melalui fashion. Ia mengatakan, bahwa masifnya keberadaan media sosial memengaruhi cara para remaja untuk berkreasi dan “Citayam Fashion Week” menjadi wadah baru untuk mereka. Selain itu, munculnya komunitas ini juga menjadi sebuah wacana baru bahwa fashion yang selama ini identik dengan kalangan atas, juga bisa dilakukan oleh kalangan menengah ke bawah (muhammadiyah.or.id, 19/07/2022)

    ***

    Saya sendiri sepakat bahwa komunitas anak-anak Citayam telah membuka budaya baru, yaitu budaya yang bebas, egaliter, dan kreatif. Mereka bukan berasal dari orang kaya, sebaliknya, penggerak “Citayam Fashion Week” yang populer itu lahir dari anak-anak kelas menengah bahkan bawah. Mereka ingin melawan budaya ‘sultan-sultan’ media sosial yang kerap memamerkan kemegahan fashion dan gaya hidup mewah, kekayaan, yang kadang diikuti dengan kesombongan.

    Anak-anak komunitas Citayam berhasil melampaui mereka. Kebebasan berekspresi dalam “Citayam Fashion Week” justru berhasil menunjukkan bahwa menjadi keren dan membanggakan bisa dilakukan oleh siapapun tanpa memamerkan kesombongan dan kekayaan.

    Pandangan serupa juga dipaparkan oleh Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Derajat Sulistyo Widhyarto. Ia mengatakan bahwa anak-anak komunitas tersebut memang kalah bertarung dengan kaum muda menengah ke atas yang sudah masuk ruang bisnis kota. Maka, “Citayam Fashion Week” adalah representasi kaum muda menengah ke bawah dan menjadi bagian dari eksistensi baru mereka dalam mengisi ruang kota dan sekaligus pembentuk budaya muda kota (kompas.com, 20/07/2022).

    Perlu dibina?

    Munculnya fenomena “Citayam Fashion Week” juga menimbulkan pro dan kontra di tengah warganet Indonesia. Beberapa di antara mereka mencibir mereka yang kebarat-baratan dan bertindak tanpa faidah. Beberapa warganet ada pula yang menuntut agar anak-anak di Citayam dibina agar sesuai dengan akhlak (entah akhlak yang seperti apa).

    Salah seorang warganet pun sewot terhadap keberadaan “Citayam Fashion Week”. Ia berkata bahwa fenomena itu merusak remaja Indonesia.

    “SCBD Sudirman Citayam Bojong Depok. Mirisss….generasi muda kebanyakan gaya, lupa kalau negeri ini sedang tidak baik-baik saja,” kata @yaniarsim.

    Saya pribadi tak paham apa maksud negeri ini tidak baik-baik saja dengan generasi muda kebanyakan gaya? Apakah karena banyak gaya, lalu negeri ini rusak? Atau, warganet ini menginginkan semua anak di negeri ini ikut hiruk-pikuk politik, yang saling maki, saling mengkultuskan tokoh, nyinyir, dan merebut kekuasaan? Tak tahulah.

    Yang seharusnya mereka ketahui, munculnya komunitas anak-anak di Citayam dan “Citayam Fashion Week” adalah bentuk pelarian orang-orang dari politik yang membuat leher tegang, krisis ekonomi, dan perang.

    Sudah cukup dunia yang sumpek ini dipenuhi dengan intrik politik elit. Anak-anak muda Citayam ini hanya ingin menunjukkan ekspresi dan membuka ruang kebebasan bagi setiap orang untuk menjadi dirinya sendiri. Kita juga perlu mengapresiasi para elit politik yang ikut memberi apresiasi pada komunitas “Citayam Fashion Week” ini.

    Fenomena ini menunjukkan bahwa budaya kita butuh penyegaran dari pembatasan norma yang sempit menjadi kebebasan yang memberi ruang pada tiap diri untuk berkarya. Kita bisa lihat kawasan SCBD, bukan hanya disorot oleh turis, tetapi juga menghidupkan ekonomi wong cilik, menghidupkan industri pakaian rumahan yang memproduksi baju bagus dengan harga murah, dan juga memberi penghidupan bagi tukang ‘starling’ (Starbucks keliling) yang dapat meraup keuntungan ratusan ribu rupiah tiap harinya.

    Ini jelas lebih menguntungkan ketimbang nyiyir politik di media sosial, kan?

    Referensi

     https://amp.kompas.com/edu/read/2022/07/20/144001271/viral-citayam-fashion-week-pakar-ugm-angkat-kelas-menengah-dan-bawah Diakses pada 21 Juli 2022, pukul 17.30 WIB.

    https://megapolitan.kompas.com/read/2022/07/20/05000091/citayam-fashion-week-kian-tenar-gubernur-hingga-penyanyi-dompleng?page=all Diakses pada 21 Juli 2022, pukul 16. 27 WIB.

    https://muhammadiyah.or.id/fenomena-citayam-fashion-week-viral-begini-penjelasan-sosiolog-muhammadiyah/ Diakses pada 21 Juli 2022, pukul 17.22 WIB.

    https://www.cnbcindonesia.com/lifestyle/20220412102632-33-330877/asal-usul-komunitas-la-sape-di-kongo-rela-miskin-asal-gaya/amp Diakses pada 21 Juli 2022, pukul 17.11 WIB.