
Menyangkut pemberitaan mengenai anak, sosok ibu seolah menjadi garda terdepan untuk mengikuti segala info, tidak terkecuali mama saya. Baru-baru ini, mama saya sering mengirim sebuah laman tautan (di grup keluarga besar) yang diawali dengan kata kunci health, dengan topik berita yang sama, kasus gagal ginjal akut yang sedang naik daun di kalangan anak Indonesia. Seperti yang bisa ditemukan pada respons ibu-ibu lainnya, mama saya mengutuk pemerintah karena kelalaian yang menyebabkan kasus gagal ginjal akut tersebut dan menuntut penyelidikan lebih.
Per tanggal 24 Oktober, Kementerian Kesehatan RI telah mencatat sudah terdapat 255 kasus anak yang mengalami gangguan ginjal akut progresif atipikal dan sekitar 143 di antaranya meninggal dunia. Juru bicara Kemenkes juga memaparkan bahwa kasus ini memulai lonjakan tajamnya sekitar bulan Agustus lalu sehingga pihak yang berwenang langsung melakukan penyelidikan mendalam terkait penyebab gagal ginjal pada anak (health.detik.com/26/10/2022). Sejauh perkembangannya, kasus gagal ginjal akut pada anak ini diduga terkait dengan penemuan cemaran dietilen glikol (DE) dan etilen glikol (EG) pada obat tertentu yang saat ini sudah teridentifikasi.
Melihat kasus ini, Komnas HAM berargumen bahwa kasus gagal ginjal akut yang tengah terjadi di Indonesia menjadi tantangan bagi penjaminan hak hidup, hak kesehatan, dan hak jaminan sosial. Komnas HAM turut mendukung dan mendorong setiap pihak yang terlibat atau terindikasi melanggar unsur pidana dalam kasus ini (baik memalsukan komposisi dalam obat pelarut atau mengedarkan obat yang terindikasi dietilen glikol dan etilen glikol), maka harus bertanggung jawab (nasional.tempo.co/27/10/22). Pernyataan Komnas HAM juga memastikan bahwa Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga telah mengidentifikasi lima obat sirup yang memiliki kandungan tersebut dan dua perusahaan yang memproduksinya. Hal ini berujung pula pada pembuntutan Polri yang melakukan penyelidikan terhadap dugaan adanya kelalaian dalam kasus gagal ginjal akut pada anak ini. Mereka telah melakukan uji sampel terhadap darah dan urin pasien serta obat sirup yang dikonsumsi para pasien.
Dalam konteks kasus di atas, penulis akan menyoroti bagaimana kasus gagal ginjal akut tersebut merupakan konsekuensi dari absennya transparansi mengenai kandungan dalam obat sirup yang dikonsumsi dan minimnya akuntabilitas perusahaan yang memproduksinya. Sebelum masuk mengenai ranah transparansi dan akuntabilitas dalam aspek kesehatan, penting untuk mengetahui bagaimana kedua hal ini pada substansinya bermula dan berakhir di hak atas jaminan kesehatan hidup.
Dalam Pasal 12 ayat (1) International Covenant on Economic, Social and Cultural Right (ICESCR), hak atas kesehatan didefinisikan sebagai hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental. Selain itu, Pasal 12 ayat (2) pada kovenan ini juga mencantumkan langkah-langkah penyokong hak kesehatan yang seharusnya dilakukan oleh negara, seperti ketentuan untuk perkembangan tingkat anak yang sehat serta kontrol atas tingkat kelahiran-kematian; perbaikan aspek kesehatan lingkungan dan industri; pencegahan dan pengendalian segala penyakit endemik; dan, penciptaan kondisi-kondisi yang akan menjamin semua pelayanan dan perhatian medis individu maupun masyarakat (Afandi, 2008).
Selain urgensinya pada kesehatan setiap individu di dalam masyarakat, hak atas kesehatan juga berkorelasi dengan hak asasi manusia (HAM) lainnya (sebagai sebab dan akibat ataupun sebaliknya). WHO memaparkan bagaimana hubungan keduanya dengan bagan lingkaran yang menunjukkan tiga (3) bagian, hak atas kesehatan yang dilanggar dengan adanya praktik kekerasan, kondisi masyarakat yang rentan dengan HAM dan akses kesehatan, serta kebijakan maupun program kesehatan yang dapat mempromosikan HAM untuk diimplementasikan (WHO, 2002). Pertama, beragam bentuk kekerasan yang turut melanggar hak atas kesehatan, seperti penindasan, perbudakan, praktik harmful, dan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Kedua, kondisi masyarakat yang rentan juga erat kaitannya dengan kesempatan pada pendidikan, nutrisi dan gizi, serta kebebesan dari diskriminasi. Ketiga, mengenai kebijakan yang dapat mendukung terlaksananya HAM pada suatu masyarakat menyangkut kebijakan yang menitikberatkan pada partisipasi, kebebasan pers, dan pengakuan privasi.
Intensitas kasus gagal ginjal akut misterius pada anak di Indonesia yang terus meningkat membuktikan perlu adanya evaluasi komprehensif lebih lanjut mengenai pelayanan kesehatan dan produk-produk kesehatan yang diperjualbelikan. Transparansi dan akuntabilitas dalam kasus ini sangat penting, mengingat ketidaktahuan adanya cairan berbahaya yang terkandung dalam obat sirup anak yang diduga sebagai penyebab utama terjadinya kasus gagal ginjal dan prosedur produksi perusahaan yang kemudian turut dipertanyakan.
Konsep transparansi menunjuk pada suatu keadaan di mana segala aspek dari proses penyelenggaraan pelayanan bersifat terbuka dan dapat diketahui dengan mudah oleh para pengguna dan stakeholders yang membutuhkan. Dalam hal ini, transparansi mencakup segala aspek proses penyelenggaraan pelayanan, seperti persyaratan, biaya dan waktu yang diperlukan, cara pelayanan, serta hak dan kewajiban penyelenggara dan pengguna layanan yang dipublikasikan secara terbuka sehingga mudah diakses dan dipahami oleh publik. Sementara, konsep akuntabilitas berarti menandakan tanggung jawab tindakan dan pekerjaan perusahaan kepada publik sehingga setiap informasi yang diberikan (mulai dari metode, prosedur, realitas pelaksanaan, serta produk yang dihasilkan dan dampaknya) harus lengkap dan jelas (Maani, 2009). Transparansi dan akuntabilitas, pada akhirnya, menjadi indikator penting dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan karena menyangkut hak hidup banyak orang dan juga penjaminan akan kesehatan.
Dalam hal ini, memang tidak dipungkiri bahwa kesehatan sebagai HAM dapat terwujud sepenuhnya dalam kurun waktu yang singkat. Namun, realisasi dan targetnya bisa dilakukan secara progressive realisation. Perwujudan secara progressive realisation berarti dilakukan bertahap secara progresif yakni dalam rangka memenuhi hak atas kesehatan dilakukan alokasi sumber daya secara maksimal untuk memastikan bahwa kebijakan, pemberian layanan, dan derajat kesehatan selalu semakin meningkat (menunjukkan progres). Dengan demikian, pemenuhan kesehatan sebagai HAM tetap dapat diimplementasikan dan diupayakan negara sesuai dengan kondisi dan kemampuan.
Referensi
Internet
https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-6369570/kronologi-kasus-gagal-ginjal-akut-anak-di-ri-korban-meninggal-sudah-143-orang Diakses pada 27 Oktober 2022, pukul 21.30 WIB.
https://nasional.tempo.co/read/1649864/kasus-gagal-ginjal-akut-pada-anak-permahi-tegaskan-pemerintah-dan-produsen-obat-harus-bertanggung-jawab Diakses pada 27 Oktober 2022, pukul 23.05 WIB.
Jurnal
Afandi, D. (2008). “Hak Atas Kesehatan dalam Perspektif HAM”. Jurnal Ilmu Kedokteran, Jilid 2 (1). Diakses pada 28 Oktober 2022, pukul 13.30 WIB melalui http://fk.unri.ac.id/wp-content/uploads/2017/11/Hak-atas-kesehatan-dalam-perspective-HAM.pdf.
Maani, K. (2009). “Transparansi dan Akuntabilitas dalam Pelayananan Publik.” DEMOKRASI, Vol. VIII No. 1. Diakses pada 29 Oktober 2022, pukul 15.36 WIB melalui https://media.neliti.com/media/publications/241816-transparansi-dan-akuntabilitas-dalam-pel-1c438131.pdf
World Health Organization (WHO). (2002). “25 Questions and Answers on Health and Human Rights.” Health & Human Rights Publication Series, Issue No.1. Diakses pada 28 Oktober 2022, pukul 13.55 WIB melalui http://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/42526/9241545690.pdf;jsessionid=ADC3C9E3D11F253A2A322F3B1BBE41C8?sequence=1

Samuella Christy adalah mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia yang aktif menulis mengenai isu-isu politik, sosial, dan budaya. Dapat dihubungi di samuellachristy3005@gmail.com.