Pernahkan Anda datang ke acara resepsi pernikahan, namun seluruh makanan yang Anda sukai sudah habis diambil tamu-tamu lainnya? Bila Anda pernah datang ke banyak acara resepsi pernikahan, besar kemungkinan Anda pernah mengalami hal tersebut, terutama bila Anda datang pada saat penghujung terakhir acara.
Namun, besar kemungkinan juga, makanan yang habis karena diambil oleh para tamu tersebut tidak dikonsumsi seluruhnya. Tidak jarang kita dapat melihat sisa-sisa makanan tersebut, yang seringkali dalam jumlah yang tidak sedikit, diletakkan begitu saja di meja-meja piring kotor, dan selanjutnya akan dibuang oleh para petugas yang mengurusi acara tersebut.
Lantas, mengapa para tamu tersebut bisa dengan mudah membuang makanan yang mereka ambil? Bukankah hal tersebut merupakan tindakan yang mubazir, dan akan lebih bermanfaat bila para tamu tidak mengambil makanan terlalu banyak, sehingga akan lebih banyak orang yang bisa menikmati makanan tersebut?
Bila dihadapkan dengan pertanyaan ini, besar kemungkinan dengan mudah Anda bisa menemukan jawabannya. Hal tersebut dikarenakan konsumsi di pesta pernikahan gratis dan para tamu tidak dikenakan uang sama sekali untuk mengambil makanan tersebut.
Para tamu tersebut tidak akan mendapatkan kerugian apapun bila mereka mengambil makanan dalam jumlah besar. Selain itu, tidak mustahil juga bila ada seorang tamu yang mengambil makanan dengan jumlah yang sedikit, justru ia akan merasa rugi karena makanan tersebut nantinya akan diambil dan dihabiskan oleh para tamu lainnya.
Contoh di atas, merupakan salah satu ilustrasi untuk menggambarkan situasi yang dikenal dengan nama tragedy of the commons. Tragedy of the commons sendiri, merupakan situasi di mana ada suatu sumber daya yang diperuntukkan secara kolektif, namun setiap individu yang menggunakan sumber daya tersebut bertindak sesuai dengan kepentingan pribadinya masing-masing, yang bertentangan dengan kebaikan bersama bagi seluruh pengguna sumber daya tersebut.
Tragedy of the commons sendiri diperkenalkan oleh ekonom asal Britania Raya bernama William Forster Lloyd pada tahun 1833. Lloyd, dalam salah satu famplet yang diterbitkannya, memberi ilustrasi prakitik penggembalaan hewan ternak di suatu desa di Inggris, di mana ada tanah tertentu yang disepakati oleh para penduduk desa yang diperuntukkan untuk memberi makan hewan ternak.
Setiap peternak di desa tersebut memiliki hak untuk memberikan makan ternaknya dari lahan tersebut. Lloyd menulis, dalam situasi tersebut, maka yang terjadi adalah pemberian makan ternak yang berlebihan (overgrazing), karena setiap peternak akan berlomba-lomba memberi makan bagi hewan ternaknya sebanyak-banyaknya sebelum rumput di lahan tersebut dimakan oleh ternak orang lain.
Lalu, bagaimana cara mengatasi hal tersebut? Bagaimana agar sumber daya tidak habis karena diambil berlebihan oleh orang-orang yang menggunakannya?
Bila Anda bertanya dengan mereka yang memiliki haluan politik kiri, besar kemungkinan solusi yang akan ditawarkan adalah pengambilalihan sumber daya oleh negara dan pengelolaan oleh pemerintah. Bila sumber daya tersebut dikelola oleh pemerintah, mereka menganggap masyarakat akan mendapat manfaat yang sebesar-besarnya.
Namun, yang jarang dilihat oleh mereka yang mengavokasi penguasaan sumber daya oleh negara adalah, potensi korupsi yang dilakukan oleh para pejabat negara. Pengelolaan sumber daya oleh pemerintah justru membuka pintu korupsi yang sangat besar bagi para pejabat dan teman-teman mereka yang menjadi kroni pemerintah.
Hal ini bisa diilustrasikan dengan analogi pesta resepsi pernikahan di awal. Bayangkan, bila dalam pesta pernikahan tersebut, ada satu orang yang secara absolut bisa menentukan konsumsi para tamu. Besar kemungkinan, makanan-makanan yang menjadi favorit, seperti bebek goreng atau daging asap, disimpan sendiri oleh orang tersebut, dan hanya diberikan kepada keluarga dan kawan-kawan dekatnya, sementara para tamu lainnya hanya mendapat makanan-makanan biasa.
Inilah yang terjadi di negara-negara komunis misalnya, seperti Uni Soviet. Negara menguasai seluruh sumber daya, dengan dalih bahwa sumber daya tersebut akan dikelola untuk kemakmuran masyarakat. Namun, bukan berarti masyarakat menajdi sejahtera, atau para pejabat negara Soviet dapat mengelola sumber daya tersebut secara adil. Sumber daya pangan misalnya, justru digunakan oleh para petinggi Partai Komunis menjadi alat politik.
Mereka yang melawan rezim komunis dibiarkan mati kelaparan. Inilah yang terjadi di Ukraina misalnya, pada tahun 1932-1933, di mana pemerintah Uni Soviet yang dipimpin oleh Joseph Stalin memberlakukan kolektivisasi lahan pertanian secara paksa untuk dikelola oleh Moskow (Ellman, 2007).
Akibatnya, bukan rakyat Ukraina semakin sejahtera, namun semakin menderita karena seluruh hasil panen bahan-bahan pangan dikirim ke Moskow dan rakyat Ukraina tidak mendapatkan bahan makanan sedikit pun, yang menyebabkan jutaan rakyat Ukraina. Hal ini dilakukan Stalin untuk mematikan kekuatan oposisi yang kuat di Ukraina.
Lantas, adakah solusi lain bagi permasalahan tragedy of the commons, yang tidak memberikan kekuasaan besar kepada pemerintah untuk mengelola sumber daya tersebut?
Solusi untuk mengatasi persoalan tersebut adalah melalui privatisasi sumber daya dan aset-aset yang dimiliki secara komunal kepada individu dan penguatan terhadap perlindungan atas hak kepemilikan. Melalui privatisasi, individu akan lebih hati-hati dalam menggunakan sumber daya yang dimilikinya, karena bila ia menggunakan sumber daya tersebut secara semena-mena, maka ia sendiri yang akan rugi.
Kembali ke ilustrasi penggembalaan hewan ternak yang diberikan oleh Lloyd. Kalau saja, lahan untuk makan hewan ternak tersebut diprivatisasi, misalnya lahan tersebut dibagi-bagi secara rata kepada setiap keluarga di desa tersebut dengan batas-batas yang jelas, niscaya overgazing akan dapat sangat diminimalisir.
Hal tersebut dikarenakan, setiap pemilik akan sangat hati-hati dalam mengelola lahan makanan hewan ternak yang dimilikinya. Apabila ia bertindak gegabah dan memberikan makanan untuk hewan ternaknya sebanyak-banyaknya, maka ia sendiri yang akan rugi karena rumput di lahannya menjadi habis, dan ia tidak bisa lagi memberi makanan untuk hewan ternaknya. Ia juga akan memiliki insentif untuk melestarikan bagian lahan yang dimilikinya agar hewan ternaknya dapat selalu mendapat pasokan makanan.
Contoh mengenai kepemilikan pribadi dari sumber daya bisa dilihat dari negara Islandia misalnya, yang terletak di sebelah utara Eropa. Ekonom dan Geolog asal Amerika Serikat, Robert J. Smith, dalam artikelnya yang berjudul “Resolving the Tragedy of the Commons by Creating Private Property in Wildlife”, membahas mengenai dampak positif dari hal tersebut.
Smith menulis, banyak bagian-bagian tertentu dari sungai di Islandia, khususnya yang menjadi tempat terbaik untuk mendapatkan ikan, yang dimiliki oleh individu atau perusahaan tertentu. Akibatnya, yang terjadi bukanlah overfishing (penangkapan ikan berlebih), melainkan konservasi ikan-ikan di sungai tersebut menjadi semakin baik (Smith, 1981).
Hal ini dikarenakan para pemilik dari sumber daya tersebut memiliki insentif ekonomi untuk menjaga kelestarian dari ikan-ikan yang berada di sungai tersebut. Apabila ia mengambil ikan secara berlebihan, sehingga populasi ikan menjadi berkurang drastis, maka ia sendiri yang akan rugi karena ikan yang akan ia dapatkan di masa depan menajdi berkurang.
Sebagai penutup, sudah menjadi bagian dari human nature, bahwa kita cenderung untuk lebih peduli dalam menjaga dan merawat sesuatu yang menjadi milik kita, dibandingkan yang dimiliki oleh orang lain atau dimiliki secara komunal. Untuk itu, bila kita benar-benar ingin mencegah adanya eksploitasi sumber daya yang berlebihan, sehingga akan merugikan masyarakat yang bergantung pada sumber daya tersebut, maka perpindahan kepemilikan di tangan individu dan penguatan perlindungan atas hak kepemilikan merupakan langkah yang sangat penting untuk dilakukan.
Referensi
Ellman, Michael. 2007. Stalin and the Soviet Famine of 1932 – 33 Revisited. Diakses dari http://www.paulbogdanor.com/left/soviet/famine/ellman1933.pdf pada 7 Juni 2020, Pukul 02.15 WIB.
Smith, Robert J. 1981. Resolving the Tragedy of the Commons by Creating Private Property in Wildlife. Diakses dari https://www.cato.org/sites/cato.org/files/serials/files/cato-journal/1981/11/cj1n2-7.pdf pada 7 Juni 2020, Pukul 19.45 WIB.

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.