Tragedi Hypatia dan Kekerasan Terhadap Perempuan

    1255

    Nama Hypatia mungkin masih terdengar asing oleh publik di Indonesia. Tentu saja, karena Hypatia mungkin tidak termaktub dalam lembaran buku sejarah yang dipelajari di sekolah. Sebagai tokoh penggerak emansipasi perempuan, kita lebih akrab dengan nama Kartini, Siti Soendari atau Dewi Sartika, serta pejuang perempuan lainnya ketimbang dengan nama Hypatia.

    Bagi saya, nama Hypatia memiliki kesan tersendiri. Ya, jika kita membuka lembaran sejarah filsafat atau sains, nama Hypatia akan muncul sebagai tokoh filsuf perempuan. Ia juga merupakan ilmuwan perempuan pertama yang berhasil melahirkan berbagai prestasi ilmiah.

    Dalam catatan sejarah, Hypatia hidup pada abad ke-5 Masehi di Kota Alexandria, Mesir. Ia adalah putri tunggal dari Theon, seorang filsuf ternama Alexandria yang menulis tafsiran Teori Matematika Euklid dan Ptolomeus. Sejak kecil, Hypatia selalu kagum dan tetarik dengan apa yang dilakukan oleh ayahnya, yaitu meggeluti bidang filsafat dan matematika.

    Konon, Hypatia tidak pernah mau disuruh untuk belajar mencuci, memasak atau bersih-bersih, sebagaimana perempuan pada umumnya pada masa itu. Hypatia lebih senang mengikuti kemana pun ayahnya pergi. Inilah yang kemudian membuat sang ayah tegerak untuk mengajarkan seluruh pengetahuannya pada si putri tunggalnya.

    Perlu diketahui bahwa perempuan di era Yunani kuno atau pada abad pertengahan, berbeda dengan kondisi perempuan pada masa sekarang. Di zaman Yunani kuno, para perempuan hidup sebagaimana budak. Mereka tidak diizinkan untuk bekerja, mendapatkan pendidikan, ataupun mengambil peran dalam suatu pemerintahan.

    Walaupun sistem Yunani kuno sudah menerapkan demokrasi dan juga voting, namun perempuan tetap tidak diizinkan untuk mendapat suara. Bahkan, beberapa pemikir Yunani seperti Aristoteles, memadang bahwa perempuan hanyalah setengah dari laki-laki. Atau secara kasar, perempuan tak ubahnya dengan hewan yang bertubuh manusia. itulah stereotype perempuan perempuan pada zaman dahulu.

    Perempuan hanya mendapat peran domestik, yaitu mengurusi dapur, sumur, dan kasur. Peran lainnya adalah wewenang dari laki-laki. Namun, Hypatia berbeda. Hypatia ingin menembus sekat-sekat norma dan tradisi masyarakat yang ia anggap merugikan kaum perempuan. Damaskios, salah seorang filsuf sekaligus sejarawan, menulis bahwa Hypatia adalah perempuan yang cemerlang di zamannya. Kecerdasan Hypatia bahkan berhasil mengungguli kaum para cendekiawan Alexandria.

    Ini kecemerlangan Hypatia ini kemudian membuat ia menjadi guru di akademi Alexandria. Ia memberikan ceramah tentang Aristoteles, Plotinus, Phytagoras, atau Ptolomeus. Ia juga membuat sebuah buku mengenai Astrolab (fungsinya seperti teleskop saat ini) dan Hidrometer. Kemampuan akademiknya telah berhasil mematahkan mitos bahwa perempuan adalah makhluk yang memiliki akal lemah dan berada di bawah kaum laki-laki.

    *****

    Masa ketika Hypatia hidup adalah masa dimana filsafat perlahan-lahan mengalami kemunduran karena mendapat tekanan dari kelompok Kristiani yang menguasai Kekaisaran Romawi. Terjadinya pergesekan antara pengikut Neo-Platonisme dengan penganut kekristenan akhirnya berdampak pada perkelahian dan bentrokan besar yang membuat para filsuf di  Alexandria tewas akibat bentrokan dan persekusi tersebut.

    Hypatia sendiri juga menjadi korban persekusi. Dalam film Agora (2009) besutan sutradara Alejandro Amenábar, kematian Hypatia digambarkan dengan cukup tragis. Ia diseret oleh gerombolan Parabalani (yaitu gerombolan yang mengaku sebagai pembela iman Kristen) dengan cara diseret ke dalam sebuah bangunan yang disebut Kaisarion, sebuah kuil pagan yang kemudian diubah menjadi gereja, kemudian ditelanjangi dan dirajam beramai-ramai.

    Seperti apapun versi sejarah yang menggambarkan kematian Hypatia, itu sudah cukup memberi gambaran. Kita bisa melihat bahwa perempuan selalu mendapat tantangan bahkan penganiayaan oleh berbagai kelompok yang tidak menyukai kebebasan berpikir dan kemandirian.

    Kekerasan yang Selalu Berulang

    Menurut data yang diambil dari Komnas Perempuan, tercatat bahwa pada tahun 2014,  terdapat 4.475 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan. Pada tahun 2015 sebanyak 6.499 kasus, kemudian di tahun 2016 sebanyak 5.785 kasus, dan pada tahun 2017 tercatat ada 2.979. Walaupun kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2017 cenderung menurun drastis dibanding dengan tahun 2015, angka tersebut tetap tinggi (CNN Indonesia, 2018).

    Hal ini menunjukkan bahwa, walaupun di era kemajuan dan nasib perempuan bisa jauh lebih baik daripada sebelumya, namun kekerasan dan diskriminasi terhadap mereka masih kerap terjadi. Bahkan dewasa ini muncul kelompok-kelompok yang ingin memperbudak kembali perempuan sebagai objek seksual kaum laki-laki dengan mempromosikan poligami dan kawin kontrak.

    Fenomena kekerasan terhadap perempuan bukan sekedar karena masalah ekonomi atau masalah moralitas, namun juga karena adanya kesenjangan gender (juga pandangan miring laki-laki terhadap perempuan) yang disebabkan oleh budaya patriarki yang masih langgeng di masyarakat.

    Misalnya, seorang ibu rumah tangga di Kecamatan Tanah Jambo Aye, Aceh, telah mengalami tindakan kekerasan oleh suaminya, padahal sang istri baru saja melahirkan. Sifat temperamen si suami juga tak menghalangi pelaku untuk menganiaya, walau istrinya tengah mengandung putranya sendiri (Kompas, 2020). Di Brazil. Marcelo Araujo, lelaki berusia 21 tahun di Brazil, mengakui menggorok leher istrinya yang sedang hamil memakai pisau cukur hanya karena si dia tak ingin punya anak lagi (Suara.com, 2020).

    Dari contoh dua berita di atas menunjukkan bahwa perempuan masih menjadi objek kekerasan. Hal ini dikarenakan masih tingginya pandangan bahwa laki-laki derajatnya lebih tinggi dari perempuan.  Dalam rumah tangga, perempuan atau istri hanya dianggap pemuas nafsu semata.

    Kasus Baiq Nuril adalah salah satu kasus yang masih segar di ingatan kita. Alih-alih memberi perlindungan dan memberi keadilan terhadap korban pelecehan seksual, Baiq Nuril justru dipidanakan dan dianggap mencemarkan nama baik. Ini adalah salah satu contoh bahwa hukum (khususnya di Indonesia), masih belum memberi keamanan dan keadilan, serta perlindungan bagi perempuan.

    Komnas Perempuan tahun lalu mengagas Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). RUU ini disusun agar perempuan bisa mendapatkan perlindungan dan payung hukum. Lewat RUU ini, diharapkan perempuan yang menjadi korban dari kekerasan seksual dapat dibela dan dilindungi secara hukum, dan agar kasus yang menimpa Baiq Nuril tidak terjadi kembali.

    Namun, RUU ini mendapat kecaman yang keras dari kelopok konservatif. Bukannya mendukung, mereka malah menolak RUU PKS dan menyebarkan isu bahwa RUU PKS akan melegalkan zina dan LGBT. Hoaks yang disebarkan oleh kelompok konservatif tersebut berhasil membuat masyarakat tidak menaruh simpati pada proses  pengesahan RUU PKS. Hingga saat ini, RUU PKS masih mengambang dan tidak lagi diberitakan.

    *****

    Hypatia adalah simbol sejarah bahwa dari zaman ke zaman perempuan menjadi sosok yang paling sering menjadi objek kekerasan. Akar budaya patriarki yang menganggap bahwa perempuan adalah makhluk lemah dan juga bodoh, secara tidak langsung turut menyumbangkan kesengsaraan pada kaum perempuan.

    Tentu saja, kita tidak bisa hanya sekedar duduk dan meratap. Perempuan juga harus turut mengambil andil. Perempuan Indonesia harus memupuk semangat sebagaimana semangat Hypatia, yaitu semangat untuk mandiri, menjadi cerdas, dan memupuk mental yang kuat.

    Perempuan harus memiliki kesadaran untuk bangkit melawan stigma negatif dalam masyarakat kita yang masih berpandangan patriarkis dan misoginis. Kaum konservatif yang secara terbuka melakukan penolakan terhadap gerakan feminis dan emansipasi perempuan merupakan contoh nyata bahwa masih banyak orang yang memandang bahwa perempuan adalah makhluk lemah yang berfungsi sebagai pemuas nafsu semata.

    Perjuangan untuk melawan hegemoni maskulinitas adalah perjalanan panjang yang harus selalu disuarakan. Para aktivis perempuan dan aktivis kebebasan tentu harus membantu memberikan edukasi dan menyadarkan kaum perempuan yang tertidur dalam alam pikiran patriarki.

    Mereka harus sadar bahwa untuk menghilangkan diskriminasi dan kekerasan seksual yang selama ini rentan mereka terima, hanya bisa terwujud jika perempuan dan segenap masyarakat serempak untuk terus menyuarakan hak dan keadilan bagi setiap individu, termasuk perempuan.