Toleransi Salah Kaprah di Bulan Puasa

430

Tindakan Satuan Polisi Pamongpraja Pemkot Serang Jumat lalu menutup warung makan dan menyita dagangan yang terjadi di Serang menorehkan noda di 10 hari pertama Ramadhan. Atas nama kebijakan pemerintah yang melarang warung makan dan restoran beroperasi di siang hari selama bulan puasa, pun melayani orang yang tidak berpuasa, pedagang kecil menjadi salah satu korban yang harus dimatikan rejekinya. Atas nama toleransi, pemerintah menjustifikasi tindakan yang tidak hanya melanggar kebebasan ekonomi dan berusaha, namun juga HAM dan tindakan yang mubazir lewat penyitaan makanan.

Dikatakan lebih jauh bahwa tindakan tersebut memang didasarkan aturan pemkot yang melarang restoran dan rumah makan beroperasi di bulan puasa melayani orang yang tidak berpuasa. Di sini ada hal problematik yang muncul. Tidak hanya dari bagaimana toleransi dipahami, namun juga dari bagaimana kebijakan publik diterapkan tanpa memperhatikan aspek lain, termasuk hak asasi manusia untuk berusaha, serta prinsip bahwa urusan beragama adalah urusan pribadi masing-masing individu.

Kejadian ini bukan hal baru dan mungkin tidak hanya terjadi di Kota Serang. Pelarangan operasi warung makan di bulan puasa, razia, dan penutupan serta penyitaan jelas bukan tindakan yang bijak alih-alih toleransi. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, toleran adalah sikap menghargai, membiarkan, membolehkan pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.

Dari sisi definisi, jelas kebijakan pemerintah setempat dan tindakan Satpol PP yang mengikutinya, atau apapun tindakan yang selama ini dilakukan ormas yang berdasarkan agama atas nama toleransi adalah hal yang menyesatkan dan jelas melanggar kebebasan dan definisi dari toleransi itu sendiri. Patut dan penting dicatat, bahwa Kata toleransi bisa jadi sangat bias tergantung siapa yang mendefinisikannya, pemerintah kah, ormas tertentukah, kelompok atau golongan tertentukah?  Dan dengan kepentingan apa?

Toleransi semakin dimaknai sempit dan tanpa dasar yang jelas. Keyakinan seseorang dipertanyakan saat ibadahnya mendapatkan cobaan. Pemerintah dan kelompok ormas agama merasa harus menjadi ‘penjaga’ keimanan seseorang. Toleransi makin jauh dari pemahaman dasar bahwa manusia adalah makhluk individu dan sosial. Kebebasannya pun dibatasi oleh kebebasan orang lain. Sayangnya, dalam kasus penutupan dan penyitaan, serta pelarangan usaha restoran dan warung makan saat bulan puasa ini semua jadi tidak masuk akal.

Bukankah dengan melakukan kebijakan yang tidak bijak seperti itu, makna toleransi sendiri telah dilecehkan? Menghargai siapa? Bukankah toleransi itu seharusnya bersifat saling dan tidak dipaksakan. Sekali lagi, kasus-kasus main hakim sendiri atas nama toleransi ini telah menunjukkan betapa terancamnya kebebasan dan keberagaman di tanah air. Parahnya lagi, ketika pemerintah sebagai pelayan publik ikut-ikutan mengukuhkannya dengan kebijakan yang salah kaprah.

Toleransi itu seharusnya tidak hanya soal menghargai yang berpuasa tapi juga menghargai orang lain yang berbeda agama dan kepercayaan, termasuk siapapun yang tidak berpuasa. Agama bagaimanapun adalah ruang privat individu dengan Sang Kuasa. Ketika tindak kebijakan yang justru anti-toleransi dan tidak peka sosial ini diterapkan, kita harusnya juga kritis bahwa pemerintah dan masyarakat termasuk kita di dalamnya juga kerap luput mengkritisi kebijakan pemerintah yang justru anti toleransi dan mengancam kebebasan.

Sebut saja, soal pelarangan pendirian rumah ibadah, pelarangan umat dengan kepercayaan dan agama tertentu, dan sebagainya yang malah justru mengancam ke-Indonesiaan kita, Bhinneka Tunggal Ika yang kita banggakan? Selain itu, apa maksud ‘ekonomi kerakyatan’, ketika atas nama ‘toleransi’, usaha kecil seperti warung makan harus dilibas paksa? Apa kebijakan atas nama toleransi sedemikian harus mengorbankan kebebasan, keragaman, dan hak orang untuk berusaha dan bertahan hidup?

Jelas sudah ‘toleransi’, ‘ekonomi kerakyatan’, dan terma sejenisnya telah dikemas sedemikian menjadi jargon kebijakan yang tidak hanya membodohi dan menyesatkan, namun juga mengorbankan masyarakat. Yang bahaya adalah atas nama kebijakan publik, pemerintah merasa telah mengambil tindakan yang dirasa perlu untuk melindungi masyarakat.

Sementara pemerintah abai dan buta atas dampak tidak terlihat yang jelas nyata dari kebijakan yang tidak bijak dan tidak peka tersebut, terutama terhadap kebebasan ekonomi masyarakat untuk bertahan hidup, maupun kenyataan akan keberagaman agama dan kepercayaan di tanah air. Kita juga menyaksikan betap rentannya konflik sosial akibat kebijakan yang salah kaprah. Sekali lagi, intervensi pemerintah yang terlalu berlebihan terutama ke ranah privat seperti agama dan kepercayaan jelas membawa dampak yang destruktif.

Ketergantungan terhadap campur tangan pemerintah atau ormas agama tertentu membuat kita lupa bahwa Indonesia bukan negara agama dan bahwa kita menjunjung tinggi semboyan tentang ke-Bhinnekaan kita. Di sini lah Suara Kebebasan mengajak kita semua bersama-sama untuk sadar, peka, dan tidak tinggal diam ketika kebebasan kita terancam, termasuk lewat kebijakan publik dengan jargon yang menyesatkan dan salah kaprah.