Kalau kita membuka media sosial seperti Facebook dan Twitter, dengan mudah kita menemukan banyak grup debat antar agama, berita-video yang isinya caci maki golongan tertentu. Belum lagi postingan-postingan yang bernada kebencian sembari membawa dalil-dalil kitab suci agamanya.
Nampaknya agama saat ini sedang menjadi pembahasan yang mengasyikan di media sosial, setiap orang yang mempunyai akun medsos bisa secara bebas berkomentar tentang apapun. Seperti diantaranya berkomentar bijak agar menampilkan citra yang agamis, atau membuat komentar pedas yang isinya menghujat agama lain.
Saya pribadi sudah kenyang mengikuti debat kusir di medsos yang tak ada habisnya. Sayang sekali, media sosial yang bertujuan untuk merekatkan yang jauh dan menghangatkan yang sudah dekat justru menjadi tempat untuk ajang caci maki.
Ya, di Indonesia nampaknya membicarakan masalah agama, takkan ada habisnya. Dewasa ini muncul berbagai isu yang menyinggung agama atau membawa-bawa masalah agama, sebut saja pilpres bulan April kemarin yang dipenuhi isu SARA dan menyinggung ranah agama.
Masyarakat kita nampaknya seolah tidak bisa dilepaskan dari apa yang dinamakan agama. Segala sesuatu pasti dihubungkan dan dikaitkan oleh agama. politik dikaitkan oleh agama, sains dikaitkan oleh agama, fenomena alam dikaitkan oleh agama, bahkan hingga selebritis yang tak berhijab atau punya agama lain pun dinyinyiri.
Kultur agama memang masih sangat kental di Indonesia. Kemodernan dan gerak zaman ternyata tidak membuat agama menjadi usang dan tumpul. Sebaliknya, di abad 21 ini isu agama mencuat kembali dan banyak orang yang berbondong-bondong mengatributkan dirinya dengan citra agama, seperti fenomena hijrah yang populer belakangan ini.
Sayangnya semangat beragama yang sedang tumbuh di tengah-tengah masyarakat kita, tidak diimbangi dengan penanaman nilai-nilai toleransi dan nilai kebersamaan. Dalam suatu kelompok rasa toleransi untuk menjaga kerukunan dangat dibutuhkan demi menjaga eksistensi agama-agama yang ada di masyarakat.
Namun, sekarang ini kesadaran akan pluralisme dan tolernsi antar agama mulai merenggang. Cerita-cerita nenek moyang kita, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang menjunjung aspek gotong royong, menjunjung semangat holopis kuntul baris, dan menjunjung tinggi tiap agama, nyatanya nilai-nilai itu saat ini tidak terlihat. Caci maki dan hinaan antar pemeluk agama di media sosial seolah menunjukan kultur toleran kita hilang.
Misalnya, jika suatu agama (khususnya agama mayoritas) diusik dengan ada aliran lain yang berbeda dengannya, pasti masyarakat yang memeluk agama tersebut bersifat protektif bahkan menghakimi orang tersebut dengan mencap sebagai sesat atau melakukan tindakan persekusi.
Agama saat ini bukan hanya dianggap sebagai ajaran ritual yang bertujuan untuk menyembah Tuhan. Lebih dari itu agama sudah menjadi bagian dari identitas diri dan kepribadian. Ludwig Feuerbach mengatakan bahwa bertuhan atau konsepsi manusia tentang Tuhan, pada dasarnya adalah proyeksi psikologinya sendiri yang membayangkan tentang adanya wujud agung yang sempurna sebagaimana bayangan ideal yang disukai oleh dirinya.
Karena agama pada dasarnya adalah proyeksi psikis manusia, entah apakah orang itu saleh atau tidak, jika agama diusik maka orang tersebut akan marah karena bagian dari identitasnya di usik oleh orang lain. Ya, agama sama sensitifnya dengan ras atau suku, jadi wajar saja jika kebanyakan orang bersikap kasar jika agamanya diusik.
Dari sini maka muncul gejala-gejala sikap tidak toleran terhadap kelompok atau agama yang mempunyai ajaran atau perspektif tentang Tuhan yang berbeda. Seorang yang beragama maka ia didorong secara totalitas untuk beriman dan hanya dengan iman terhadap agama tersebut yang bisa membawa kepada keselamatan.
Menurut Alfred Whitehead, agama adalah generalisasi terhadap kebenaran umum. Konsepsi tentang kebenaran diringkas secara sederhana dalam bentuk agama. karena itu banyak orang-orang yang terpapar ideologi islamis radikal, menganggap bahwa ajaran agamanya yang benar dan yang lain salah.
*****
Kita hingga saat ini masih mengklaim bahwa bangsa kita adalah bangsa yang toleran, ramah dan juga setiap orang bisa memeluk agama secara damai. Namun klaim tersebut justru terbantah oleh fakta di lapangan. Banyaknya pengrusakan rumah ibadah, intimidasi terhadap kelompok lain telah membantah klaim tersebut. Bisa dikatakan bahwa klim toleransi adalah mitos belaka.
LIPI tahun 2018 lalu menyebut bahwa intoleransi di Indonesia meningkat. 57,88 persen responden menyatakan hanya ingin memilh pemimpin seagama dan menolak pemimpin dari agama lain, baik untuk tingkat RT hingga Presiden. Tentu penelitian ini membuktikan bahwa toleransi dan kearifan bangsa hampir menjadi mitos.
Kasus yang paling relevan untuk diangkat adalah kejadian yang menimpa komunitas Aliran Kepercayaan. Aliran Kepercayaan adalah sebutan untuk para penganut agama-agama lokal selain agama yang resmi diakui negara (dari segi aturan beragama saja kita sudah intoleran, sebab agama yang diakui sesuai penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 tentang penetapan agama, hanya 6 agama yang diakui negara).
Padahal agama-agama asli seperti Kapitayan, Sunda Buhun, Ugama Malin, Kaharingan kaum Saman dll sudah dari dahulu muncul di Indonesia dan berkembang sesuai kultur dan pola pikir masyarakat Indonesia. Namun karena hanya 6 agama yang diakui, maka agama-agama lokal yang disebut Aliran Kepercayaan dianggap sebagai aliran sesat, bahkan para agamawan dan ulama menyuruh mereka bertaubat.
Warga penganut Aliran Kepercayaan merasa hidupnya penuh diskriminasi. Sebab tanpa masuk kedalam 6 agama yang diakui, maka kehidupan mereka di republik ini akan sulit, atau malah dipersulit. Di era Orde Baru, pemerintah melakukan kompromi, penganut aliran kepercayaan tetap boleh melanjutkan aktivitas keyakinannya, namun di KTP, mereka harus mencantumkan agama yang diakui oleh negara jika tidak, mereka dicap sebagai PKI.
Tak jarang banyak orang-orang penganut Aliran Kepercayaan memeluk Islam atau Kristen hanya untuk kemudahan administrasi saja, tidak lebih. Fenomena ini yang disindir oleh Pramoedya Ananta Toer, bahwa Islam di Indonesia besar hanya dari segi statistik, sebab mereka memilih Islam bukan dari kesadaran tapi karena paksaan.
Hal serupa juga dialami oleh komunitas Baha’i yang terus berjuang mencari pengakuan. Komunitas Baha’i sendiri telah dicap sebagai aliran sesat dan wajib diwaspadai oleh MUI, justifikasi sesat dari kelompok mayoritas ini membuat ruang hidup Baha’i menjadi sempit, mereka tidak bisa leluasa beribadah bahkan tidak berani mendirikan rumah ibadah.
Walaupun penganut Aliran Kepercayaan dan Baha’i secara faktual ada, namun secara hukum mereka dinyatakan tidak ada. Ini yang membuat mereka sulit mengurus perizinan, administrasi kependudukan, dan tentu saja mereka terhalang untuk mendapatkan program-program bantuan dari pemerintah.
****
Dewasa ini, penganut Aliran Kepercayaan boleh bernafas lega karena melalui Putusan Mahkamah Konstitusi RI tertanggal 7 November 2017, eksistensi Aliran kepercayaan diakui secara sah oleh konstitusi dan mereka boleh mengisi di kolom KTP sebagai penganut kepercayaan.
Namun berita baik tersebut malah dirusak oleh oknum-oknum yang bermental intoleran. Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta meluncurkan aplikasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat yang dijuluki SMART PAKEM. Adanya aplikasi ini, seolah-olah para penganut Aliran Kepercayaan dan agama di DKI diawasi. Pengawasan yang berlebihan ini tentu adalah bentuk intimidasi terhadap aliran kepercayaan.
Memupuk Kembali Rasa Toleransi
Masyarakat kita saat ini memandang keberagamaan secara paranoid, antar pemeluk agama saling mencurigai bahkan hanya karena beda agama tidak ada lagi interaksi sosial. Tentu saja sikap seperti ini (yang belakangan terjadi) adalah bentuk intoleransi bersosial yang kemudian akan mendorong orang tersebut bertindak radikal.
Tidak ada dialog dan interaksi antar iman, memembuat masing-masing penganut agama meyakini bahwa agamanya paling benar. Dalam lingkungan sosial, interaksi dan komunikasi antar individu sangatlah penting, Tidak adanya komunikasi dan dialog antar agama dan komunitas, merupakan titik awal dari konflik keagamaan dan musibah terorisme yang jadi masalah di negeri kita.
Ada pernyataan menarik dari Johan Galtung dan Dietrich Fischer mengenai masalah ini. Dalam suatu artikel mereka menulis, untuk mengakhiri terorisme di suatu negara, maka kita harus menghentikan “terorisme negara”. Menurut Galtung dan Fischer, intoleransi dan radikalisme tidak akan muncul kecuali pemerintah yang menyebabkannya.
Mungkin kita bisa menangkap pesan dari Galtung dan Fischer, bahwa “terorisme negara” adalah kebijakan dan aturan pemerintah pusat maupun daerah yang justru intoleran.
Pemerintah yang seyogyanya melindungi setiap komunitas, justru malah berpihak pada komunitas agama mayoritas, banyak kebijakan pemerintah cenderung pilih kasih dan tidak toleran pada umat lain. Contohnya, penyegelan Gereja Yasmin di Bogor, Penyegelan Masjid Ahmadiyah, pengucilan komunitas Eden dan Gafatar bahkan membuat aturan “kampung Islam” dan menutup setiap warung di bulan puasa adalah contoh peraturan dan kebijakan yang intoleran.
Seruan dan pidato para pejabat baik presiden, gubernur, walikota, bupati, hingga lurah, mengenai penanggulangan terorisme, hanya menjadi retorika kosong belaka. Terorisme dan intoleransi takkan hilang selama aturan-aturan yang diskriminatif masih dipelihara dan dipaksakan pada komunitas agama lain.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com