
Masyarakat kita belakangan ini kembali dihebohkan dengan ucapan Menteri Agama (Menag), Yaqut Cholil Qoumas, yang berbicara mengenai regulasi baru yang mengatur soal pengeras suara atau toa yang terdapat dalam tiap rumah ibadah, khususnya masjid. Pengeras suara perlu diatur bertujuan membuat masyarakat semakin harmonis.
Yaqut juga mengatakan bahwa jika toa di sebuah rumah ibadah terlalu kencang, maka akan mengganggu masyarakat sekitar. Ia kemudian menganalogikan dengan gonggongan anjing yang jika terlalu bising maka tentu akan menganggu masyarakat sekitarnya.
Komentar Menag ini mengundang beberapa pro dan kontra. Salah satu yang tidak setuju dengan pendapat Menag adalah politisi Partai Demokrat, Roy Suryo yang tidak terima jika toa masjid disamakan dengan suara anjing. Roy Suryo bahkan akan melaporkan Menag dengan dugaan penistaan agama (pedomantangerang.com, 24/02/2022).
Argumentasi Menag Yaqut tentu memiliki maksud positif, ia juga tak memiliki mens rea (motif jahat) yang bertujuan untuk menistakan agama yang dianut olehnya. Namun, berkat komentar tersebut, argument Menag menjadi heboh hanya karena perkara toa di rumah ibadah.
Sebenarnya ada apa dengan toa sehingga sekelas Menag repot-repot mengurusinya hingga masyarakat dan netizen geger? Tidak ada yang aneh dengan toa, apalagi fungsinya hanya sebagai alat pengeras suara biasa. Namun, lain halnya jika sudah menjadi problem sosial yang dapat menimbulkan konflik.
Jika kita melihat beberapa tahun kebelakang, ada kasus pembakaran 10 rumah ibadah di Tanjung Balai, Sumatera Selatan yang bermuara karena kerasnya suara toa atau pengeras masjid. Tepatnya pada 30 Juli 2016, seorang ibu rumah tangga bernama Meiliana yang mengeluhkan tingginya volume pengeras suara (toa) Masjid Al Maksum (Detik.com, 30/07/2016).
Protes perempuan tersebut menyebar dari mulut ke mulut dan dibumbui narasi provokatif sehingga protes si ibu disalahpahami sebagai sebuah bentuk kebencian terhadap Islam. Keluhan ini menjadi amarah warga hingga datang massa dari luar kota yang secara anarki melakukan pengrusakan rumah ibadah, yaitu Kelenteng dan Vihara di Tanjung Balai.
Protes massa yang berujung pada tindakan pembakaran ini kemudian menjadi berita nasional dan menimbulkan keprihatinan kita bersama. Para tokoh, baik para Ulama, Bikkhu, dan segenap tokoh masyarakat menganggap peristiwa tersebut tidak perlu terjadi jika pada awalnya dikomunikasikan dengan baik.
Kasus ini bukan hanya umat Buddha dan Konghucu di Tanjung Balai saja yang dirugikan, tetapi hubungan antar agama dan citra Indonesia yang terkenal sebagai masyarakat toleran mulai rusak.
Toleransi dan Menghormati Hak Orang Lain
Banyak para pakar yang meneliti peristiwa ini dari berbagai sudut pandang. Peristiwa bentrokan yang berujung pada pembakaran yang berawal dari toa atau pengeras suara hanyalah lapisan tipis di permukaan yang menutupi masalah-masalah besar dibawahnya seperti ketegangan antar etnis, kesenjangan ekonomi antara pribumi dan nonpribumi, tendensi beda agama, dan lain sebagainya.
Namun, kejadian di atas bisa terjadi karena rendahnya kesadaran masyarakat kita tentang nilai toleransi dan menghormati setiap perbedaan. Di sekolah atau di media, kita selalu mendengar selogan-slogan bahwa Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi toleransi, negara yang menghargai pluralitas, dan bangsa yang berlandaskan falsafah Bhinneka Tunggal Ika namun slogan tetaplah slogan.
Implementasi dan realitas di luar sangat jauh berbeda dengan apa yang menjadi slogan kita yang dikabarkan cinta damai dan perbedaan. Dalam situs Liputan6.com mengutip survei The 2015 Legatum Institute’s Prosperity Index, Indonesia masuk dalam urutan ke 123 dengan skor -1.69 dengan mempertimbangkan banyaknya kasus intoleran di Indonesia (Liputan6.com, 22/12/2016).
Media The Economist yang ternama di Amerika merilis indeks negara-negara yang paling demokratis di dunia pada tahun 2017. Dari total 167 negara yang disurvei, Indonesia menempati posisi ke 68 dengan kategori negara dengan demokrasi yang cacat. Sedangkan negara tertinggi yang paling demokratis adalah Norwegia (Liputan6.com, 2/02/2018).
Tentu saja pencapaian ini tidaklah menggembirakan, dan membuat kita sebagai bangsa yang majemuk untuk mengoreksi diri dan terbuka atas segala perbedaan. Maraknya radikalisme dan munculnya kelompok-kelompok yang anti kemajemukan dan kebebasan beragama merupakan pekerjaan rumah bagi kita semua, sehingga kita bisa bertanya pada diri sendiri apakah layak kita disebut negara Pancasila yang menjunjung setiap perbedaan?
Kasus Meiliana yang merupakan masalah kerasnya volume toa telah membuktikan bahwa sebagian masyarakat kita lebih mengedepankan jalan kekerasan ketimbang musyawarah dan komunikasi sambung rasa.
Sebagai sebuah bangsa yang menganut sistem demokratis dan menjunjung nilai-nilai kebersamaan dan toleransi, protes atau keluhan seorang warga seharusnya ditanggapi dengan kekeluargaan. Masing-masing pihak harus menahan diri dan saling menghormati untuk menemukan solusi yang tepat dan saling memuaskan.
Apalagi masalahnya hanyalah soal toa Masjid yang terlalu keras, toh jika masing-masing pihak menggedepankan akal sehat dan mengingat nilai-nilai toleransi, maka masalah biasa ini tidak akan berujung pada pengerusakan. Akhirnya, toa juga yang disalahkan dan menjadi biang keributan dari suatu persoalan biasa yang sebenarnya tidak perlu masuk ke meja hijau.
Kembali kepada ucapan Menag Yaqut di atas, sebenarnya regulasi mengenai pengeras suara bukanlah hal baru. Peraturan Menteri agama ini sejalan dengan peraturan yang sudah ada sebelumnya tahun 1978 yang dikeluarkan oleh Dirjen Bimas Islam, Kementerian Agama, Nomor Kep/D/101/1978 tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Mushola.
Tentu persoalan utama bukanlah Menag Yaqut anti Adzan atau anti terhadap ajaran Islam. Namun, pemerintah telah menetapkan peraturan mengenai pengeras suara di Rumah Ibadah demi kemaslahatan dan kenyamanan bersama. Dalam Alquran Surah Al-Israa ayat 110, Allah-pun berfirman “Janganlah Kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu dan janganlah pula merendahkannya, dan carilah jalan tengah di antara kedua itu”. Di sini jelas bahwa Islam sendiri telah mengatur mengenai suara manusia, dan menghimbau agar suara tersebut tidak terlalu keras sehingga menganggu orang lain.
Permasalahan yang menyangkut soal toa sebagai alat pengeras adalah suatu persoalan biasa. Dalam bermasyarakat, apalagi dalam suatu masyarakat homogen, pergesekan antar kelompok lumrah saja terjadi, namun bukan berarti pertentangan dan masalah tersebut harus diselesaikan dengan kekerasan yang merugikan banyak pihak.
Sebaliknya, masyarakat harusnya lebih menghayati nilai-nilai toleransi dan menanamkan sikap toleran pada orang lain. Menumbuhkan sikap menghormati dan toleransi sangat penting sekali, apalagi di zaman sekarang, di mana sekat-sekat negara dan suku sudah tidak menjadi halangan untuk bertemu.
Referensi
https://www.liputan6.com/citizen6/read/2685341/indonesia-negara-paling-religius-di-dunia-tapi-kenapa-intoleran. Diakses pada 2 Maret 2022, pukul 02.35 WIB.
https://www.liputan6.com/global/read/3250698/peringkat-ri-di-indeks-demokrasi-dunia-2017-anjlok-ada-apa. Diakses pada 2 Maret 2022, pukul 02.38 WIB.
https://news.detik.com/berita/d-3264873/ini-data-10-rumah-ibadah-yang-dibakar-saat-bentrok-warga-di-tanjungbalai. Diakses pada 2 Maret 2022, pukul 02.29 WIB.
https://pedomantangerang.pikiran-rakyat.com/tangerang-raya/pr-073818889/bandingkan-suara-toa-masjid-dengan-gonggongan-anjing-menag-yaqut-akan-dilaporkan-politisi-demokrat. Diakses pada 2 Maret 2022, pukul 02.29 WIB.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com