“Democracy is two wolves and a lamb voting on what to have for lunch.”
Itulah seloroh Benjamin Franklin, salah satu pendiri Amerika Serikat. Salah satu karakterisktik dasar dari demokrasi itu sendiri adalah adanya majority rule. Di negara-negara demokratis proses legislasi dilakukan oleh sekelompok orang yang dipilih melalui suara terbanyak dari masyarakat. Setiap individu menawarkan gagasannya dalam pasar ide dan kepada individu lain dan apabila gagasan tersebut mendapat suara mayoritas dari populasi, maka ia bisa dilegislasikan dalam bentuk perundang-undangan dan diimplementasikan dalam berbagai bentuk kebijakan.
Fenomena seperti ini terlihat sebagai situasi yang ideal, bahwa setiap warga negara dapat berpartisipasi secara setara dalam proses politik dan legislasi. Adanya kebijakan yang disetujui oleh mayoritas tentu merupakan salah satu elemen penting untuk menjaga stabilitas politik. Kebijakan yang bertentangan dengan keinginan sebagian besar masyarakat tentu akan berhadapan dengan pertentangan dan protes secara besar-besaran dan tentunya tidak mustahil akan berujung pada instabilitas dan konflik berkepanjangan.
Namun situasi seperti ini tidaklah seideal dalam angan-angan teori. Pada praktiknya demokrasi kerap dijadikan alasan untuk menjustifikasi wewenang mayoritas yang tidak terbatas. Legitimasi oleh 51% dari populasi dianggap sebagai satu-satunya syarat mutlak untuk meloloskan suatu peraturan maupun mengimplementasi suatu kebijakan, tanpa dikaji kembali apakah kebijakan tersebut mengakibatkan ketidakadilan bagi individu maupun kelompok lain. Hak individu dan kelompok minoritas menjadi diabaikan dan mayoritas dianggap sebagai otoritas tertinggi. Demokrasi sendiri dipandang sebagai sebuah sistem yang tidak ada bedanya dengan oklokrasi.
Mendewakan Kehendak Mayoritas
Fenomena kehendak rakyat dijadikan kambing hitam untuk melegalisasi intimidasi terhadap kelompok minoritas bukanlah sesuatu yang sulit ditemui. Di Indonesia sendiri, berbagai produk hukum dilegislasi demi memuaskan kelompok yang dianggap mewakili suara terbanyak. Umat Islam sebagai kelompok mayoritas kerap memaksakan nilai-nilai yang mereka yakini di ruang-ruang publik dengan bersembunyi di balik jubah kehendak rakyat. Atas nama kehendak rakyat berbagai kebijkan yang sangat diskriminatif seperti perda anti Ahmadiyah dan agama minoritas lain di berbagai daerah berhasil diloloskan. Atas nama majority rule, kelompok mayoritas bisa mengambil hak dasar individu dan kelompok lainnya seperti hak kebebasan beragama, mengutarakan pendapat, berkumpul dan berserikat, dan bahkan hak untuk hidup.
Atas nama kemaslahatan mayoritas bisa mengambil hak individu untuk menentukan pilihan dan mengatur hidup mereka sendiri, yang beberapa contoh sederhananya dengan membatasi pakaian apa yang boleh digunakan, makanan / minuman apa yang boleh dikonsumsi, serta karya apa yang boleh dinikmati. Semangat demokrasi yang bergelora setidaknya pasca reformasi telah digantikan dengan sesuatu yang sudah diperingatkan oleh filsuf liberal Inggris John Stuart Mill mengenai bahaya majoritarian yang tidak terbatas. Mill dalam karya klasiknya “On Liberty” berargumen bahwa setiap individu berhak untuk memiliki pandangan mengenai moral dan kebaikannya masing-masing, serta mempunyai kebebasan yang setara untuk mengatur hidupnya dan mengejar kebahagian selama tidak bertabrakan dengan hak dan kebebasan orang lain.
Demokrasi pada dasarnya adalah sebuah ruang dimana setiap warga negara diberikan hak untuk berdiskusi, dialog, dan mengutarakan ide dan pikiran mereka. Salah satu karakteristik terpenting lain dari demokrasi sendiri adalah adanya perbedaan ide, pemikiran, opini, gaya hidup, maupun cara pandang pada setiap individu yang mampu didiskusikan dan diperdebatkan. Tanpa adanya keanekaragaman dalam masyarakat tentu diskusi dan dialog tidak akan bisa dilakukan. Majoritarian yang tidak terbatas tidak jarang menimbulkan eksklusi terhadap kelompok lain yang tidak diterima dan mematikan pendapat tertentu. Hal ini mengancam keberlangsungan demokrasi.
Demokrasi menuntut adanya jaminan konstitusional terhadap hak dasar warga negara yang tidak bisa diganggu gugat. Tirani mayoritas hampir dipastikan akan berujung pada penyeragaman paksa oleh mayoritas terhadap individu dan kelompok minoritas baik dari sisi pandangan, pendapat, keyakinan, maupun gaya hidup. Mereka yang berani menentang akan mengalami penindasan baik berupa pengusiran, kekerasan fisik, intimidasi, atau berakhir di balik jeruji besi maupun tiang gantungan. Individu dan kelompok minoritas tidak lain hanyalah menjadi budak mayoritas karena ia tidak lagi memiliki otonomi untuk mengatur dan membuat keputusan bagi dirinya sendiri.
Indonesia sendiri pada dasarnya sudah memiliki jaminan konstitusional untuk menjaga hak dasar warga negara. Dalam Undang Undang Dasar 1945 Pasal 28 I Ayat (1) sudah dinyatakan secara eksplisit bahwa
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”
Hak hidup, kebebasan berfikir dan berbicara adalah beberapa hak mutlak yang melekat pada diri setiap individu dan tidak dapat diambil, dikurangi, dan dibatasi oleh siapapun dan kelompok manapun, termasuk pemerintah dan mayoritas. Mengutip filsuf Rusia-Amerika Ayn Rand dalam esai-nya “Collectivized Rights” bahwa hak individual bukan subyek dari popular vote dan fungsi utama keputusan politik adalah bagaimana menjaga hak dasar kelompok minoritas dari ancaman mayoritas (dan individu merupakan minoritas terkecil dalam populasi).
Gerakan demokratisasi di dunia merupakan sesuatu yang tidak terbendung, bahkan di negara-negara yang totalitarian. Demokrasi sudah terbukti merupakan sistem pemerintahan yang paling ideal dan mampu diterapkan dan beradaptasi di hampir semua bangsa dan negara, tidak terkecuali di Indonesia. Bagi penulis, bukan demokrasi itu sendiri yang patut dipertanyakan apakah cocok untuk diterapkan, namun kesiapan masyarakat untuk menerima dan menyerap nilai – nilai demokrasi. Apakah masyarakat kita siap untuk tinggal di alam yang demokrastis yang penuh kebebasan? Apakah para anak bangsa ini sudah bersedia menerima keberagaman, menghormati pilihan hidup individu lain, dan mengedepankan dialog dan diskusi untuk menyelesaikan permasalahan?

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.