
Pengadilan Tinggi Bandung menjatuhkan hukuman mati Herry Wirawan. Pemerkosa 13 santriwati ini tersandung tiga hal yang menjadi pertimbangan bagi pemberatan hukumannya tersebut. Ketiga hal tersebut adalah anak korban kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang seperti seharusnya, timbulnya trauma terhadap korban dan keluarganya, serta penggunaan simbol agama untuk melakukan perbuatan cabul (nasional.tempo.co/04/04/2022).
Namun, vonis hukuman mati ini dikritik oleh Maidina Rahmawati, Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), yang mengatakan bahwa hukuman tersebut bukanlah solusi yang tepat bagi korban. Menurutnya, justru hal esensial yang seharusnya diperhatikan oleh negara adalah korban itu sendiri. Maidina juga menyebutkan bahwa tidak ada satu pun bukti ilmiah yang menyatakan fakta pidana mati dapat menyebabkan efek jera, termasuk dalam kasus perkosaan. Lebih lanjut, dalam putusan ini, hakim menyatakan restitusi dijatuhkan sebagai upaya memberikan efek jera kepada pelaku kekerasan seksual. Padahal, restitusi semestinya diposisikan dalam diskursus hak korban, bukan penghukuman terhadap pelaku (asumsi.co/05/04/2022).
Selain itu, Direktur ICJR, Erasmus Napitupulu, juga memberikan pernyataan yang menyatakan hal tersebut akan menjadi preseden buruk bagi proses pencarian keadilan korban kekerasan seksual (cnnindonesia.com/05/04/2022). Hal ini dikarenakan fokus negara yang seharusnya diberikan pada proses pencarian keadilan korban kekerasan seksual, justru diberikan terhadap pembalasan kepada pelaku, alih-alih pemulihan kepada korban.
Tinjauan HAM dalam Hukuman Mati
Pro dan kontra mengenai hukuman mati seolah-olah tidak menemukan titik akhir dalam perdebatan. Hal ini mengundang berbagai macam reaksi dan pendapat dari para ahli hukum dan pengiat hak asasi manusia hingga masyarakat. Oleh karena itu, konsistensi penerapan pidana mati di dunia selalu saja menjadi suatu hal yang kontroversial, baik di kalangan pemerintah, praktisi hukum, agamawan maupun masyarakat sendiri. Hal ini karena hukuman mati merupakan pidana yang melanggar hak paling mendasar bagi manusia, yaitu hak hidup.
Di Indonesia sendiri, sudah ada gerakan anti hukuman mati yang sempat panas tahun 1958 di bawah komando Roeslan Saleh, pelopor gerakan penghapusan pidana mati (abolisionis). Gerakan ini juga didukung penuh oleh Wakil Presiden Indonesia saat itu, Adam Malik, pada tahun 1978 (Rukman, 2016). Kalangan internasional telah banyak melakukan tindakan untuk penghapusan hukuman mati di dunia. Salah satunya lewat Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), yang secara tegas menyatakan bahwa hukuman mati telah melanggar dua ketentuan hak dasar manusia; tidak ada satupun yang berhak mencabut hak hidup setiap orang dan tidak ada satu orang pun yang berhak melakukan hukuman yang dapat merendahkan martabat dan menimbulkan penyiksaan (Arief, 2019). Pelarangan DUHAM terhadap hukuman mati ini kemudian dipertegas dalam Kovenan di Bidang Hak-Hak Sipil dan Politik, yaitu Pasal 6 ayat 1 dan Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights- lCCPR). Selanjutnya, hal ini dikuatkan lagi oleh Protokol Opsional Kedua (Second Optional Protocol) atas Perjanjian Internasional Mengenai Hak-hak Sipil dan Politik Tahun 1989 tentang Penghapusan Hukuman Mati (Arief, 2019).
Kecenderungan pendukung narasi pidana mati umumnya didasarkan pada alasan konvensional, yaitu kebutuhan pidana mati untuk menghilangkan orang-orang yang dianggap membahayakan kepentingan umum dan dirasa tidak dapat diperbaiki lagi. Biasanya, individu yang cocok dengan kriteria ini adalah individu yang sudah melakukan kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Kesimpulannya, para pendukung pidana mati di zaman modern ini menjadikan hukuman mati sebagai instrumen pelindung negara, baik secara preventif maupun represif (Hutapea, 2016).
Berlainan dengan pandangan di atas, seperti yang telah disampaikan oleh para ahli yang kontra terhadap hukuman mati Herry Wirawan, pidana mati sejatinya sama dengan kasus di mana negara memperpanjang rantai kekerasan dan bersifat pembalasan. Dengan demikian, implementasi hukumnya menunjukkan suatu kemunduran. Selain itu, efek jera yang sangat diharapkan tidak termanifestasi dengan menjatuhkan hukuman mati. Mirip dengan pro kontra hukuman mati pada kasus narkoba, di mana tindak pidana mati sudah terbukti tidak efisien dalam mengurangi jumlah kasus pengguna narkoba, bahkan justru bertambah tiap tahunnya. Dilansir dari data penelitian Amnesty Indonesia, sepanjang tahun 2020, mereka mencatat ada 117 orang yang divonis dengan hukuman mati, 101 di antaranya terkait kasus narkotika. Jumlah 117 vonis ini mengalami kenaikan signifikan, 80 vonis mati yang dijatuhkan pada tahun 2019, meningkat dari 48 vonis pada tahun 2018 (amnesty.id/08/04/2021). Penolakan terhadap hukuman mati dalam kasus kejahatan apapun bukan berarti memihak pada pelaku, melainkan mendukung bentuk eksekusi hukuman yang lebih manusiawi dan tidak melanggar hak asasi manusia dalam bentuk apapun.
Hukuman Mati bukan Solusi Tepat bagi Kejahatan Apapun
Ambil contoh pada kasus Herry Wirawan, hukuman mati pada pelaku dapat menghambat fokus pada pemulihan korban untuk ke depannya. Alih-alih memperoleh perlindungan, korban kekerasan seksual yang memiliki keterkaitan dengan Herry Wirawan akan menuai atensi publik, khususnya dari orang-orang yang berada di sekitar mereka. Tentu, trauma yang dialami akan berdampak lebih dalam lagi. Terlebih lagi, jika salah satu korban merasa bertanggung jawab atas kematian pelaku yang lantas menyalahkan diri sendiri.
Sekali lagi, menghilangkan nyawa seseorang pelaku kejahatan (terutama kasus kekerasan seksual) tidak berarti memulihkan luka dan trauma yang diderita oleh korban. Alternatif pidana lainnya pada kasus kekerasan seksual adalah pendekatan hukum restoratif (restorative justice). Konsep pendekatan restorative justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri. Mekanisme tata acara dan peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku (pn-sabang.go.id). Dalam hal ini, sudah seharusnya Indonesia memegang prinsip restorative justice di mana aparat penegak hukum seharusnya berorientasi pada penyelesaian konflik di dalam masyarakat, memulihkan keseimbangan, serta mendatangkan rasa aman bagi para korban di luar sana.
Referensi
Artikel
https://www.amnesty.id/tidak-memberi-efek-jera-indonesia-harus-tinggalkan-hukuman-mati/ Diakses pada 5 April 2022, pukul 21.05 WIB.
https://asumsi.co/post/10909/hukuman-mati-herry-wirawan-dikritik-dinilai-bukan-solusi Diakses pada 5 April 2022, pukul 12.48 WIB.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220404184408-12-780170/icjr-protes-hukuman-mati-herry-wirawan-negara-gagal-lindungi-korban Diakses pada 5 April 2022, pukul 12.56 WIB.
https://nasional.tempo.co/read/1578340/pengadilan-tinggi-bandung-vonis-mati-herry-wirawan-si-pemerkosa-12-santriwati Diakses pada 5 April 2022, pukul 12.17 WIB.
https://www.pn-sabang.go.id/?p=5457 Diakses pada 5 April 2022, pukul 21.29 WIB.
Jurnal
Rukman, A. (2016). “Pidana Mati Ditinjau dari Perspektif Sosiologis dan Penegakan HAM”. Jurnal Equilibrium Pendidikan Sosiologi, Volume IV (1), Mei 2016. Diakses pada 5 April 2022, pukul 20.17 WIB, melalui https://media.neliti.com/media/publications/61161-ID-pidana-mati-ditinjau-dari-prespektif-sos.pdf.
Arief, A. (2019). “Problematika Penjatuhan Hukuman Pidana Mati dalam Perspektif HAM dan Hukum Pidana”. Jurnal Kosmik Hukum, Vol. 19 (1), Januari 2019.
Buku
Hutapea, B. (2016). Kontroversi Penjatuhan Hukuman Mati terhadap Tindak Pidana Narkotika dalam Perspektif Hukum dan Hak Asasi Manusia. Jakarta: Tim Pohon Cahaya.

Samuella Christy adalah mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia yang aktif menulis mengenai isu-isu politik, sosial, dan budaya. Dapat dihubungi di samuellachristy3005@gmail.com.