Dampak kebakaran lahan dan hutan kembali memakan korban jiwa! Di Palembang, tercatat tiga balita meninggal dunia akibat kabut asap tebal. Mereka adalah Latifah Ramadhani, Muhammad Husin Sahputra dan Arika Fatinah Ramadhani. Beberapa waktu lalu, tujuh siswi di Pontianak jatuh pingsan akibat sesak napas. Sekolah pun terpaksa harus meliburkan kegiatan belajar mengajar mengingat kondisi udara yang sangat berbahaya tersebut.
Kebakaran lahan dan hutan telah mengakibatkan parahnya kabut asap, kerusakan ekosistem dan lingkungan, juga kerugian materi yang mencapai triliunan rupiah karena terganggunya aktivitas ekonomi dan pemulihan lingkungan. Kasus ini lebih banyak disebabkan oleh faktor manusia, terutama terkait perubahan fungsi lahan yang menerapkan metode membakar karena dinilai lebih efisien dan mudah.
Berdasarkan data kepolisian per 12 Oktober 2015, 218 dari 244 laporan terkait tindak pidana pembakaran hutan dan lahan telah masuk dalam tahap penyidikan. Dari 218 penyidikan, terdapat 113 kasus yang melibatkan perorangan dan 48 kasus melibatkan korporasi. Dari 12 perusahaan tyang ditetapkan sebagai tersangka, beberapa diantaranya berasal dari Malaysia, Singapuran dan Cina. Di sisi lain, kondisi ini juga mendorong Komisi IV DPR RI untuk mendesak pemerintah menetapkan status musibah kebakaran hutan dan lahan sebagai bencana nasional. Namun, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menilai hal itu tak perlu dilakukan mengingat pelaku utama kebakaran lahan dan hutan adalah manusia, bukan faktor alam. Meskipun faktor lingkungan seperti musim kering yang berkepanjangan dan El Nino ikut memperparah kondisi tersebut.
Melihat kasus kebakaran lahan dan hutan serta faktor pelaku utamanya, serta mempertimbangkan bahwa hal ini bukanlah hal yang baru, seharusnya pemerintah dan segenap aparat terkait bisa lebih cermat dan sigap menyikapi hal ini. Kendala klasik seperti ego sektoral, kendala keterbatasan sumber daya manusia, keuangan, dilema desentralisasi dan pembagian wewenang, serta koordinasi dalam birokrasi seharusnya sudah lama dituntaskan agar pemerintah lebih responsif dalam menanggulangi permasalahan di berbagai level. Mengetahui tersangka utama kebakaran lahan dan hutan seharusnya mendesak pemerintah untuk memainkan perannya dengan tegas dalam hal penegakan hukum, tanpa pandang bulu. Ketika bukti-bukti yang kuat sudah ditemukan, maka wajib bagi pemerintah lewat aparat hukum memastikan bahwa para pelaku harus mendapatkan ganjaran yang setimpal atas nama keadilan.
Ini pula peran pemerintah yang digarisbawahi dalam perspektif liberalisme untuk memastikan bahwa hukum ditegakkan seadil-adilnya, selain kebebasan yang bertanggung jawab dari berbagai pihak. Dengan demikian, desakan Komisi IV untuk menjadikan kabut asap sebagai bencana nasional perlu dikritisi. Bukan dengan maksud membuat pemerintah lepas tangan atas masalah yang terjadi. Dengan pembagian urusan pemerintah pusat dan daerah, serta mencermati kondisi yang ada, serta bukti-bukti dari aparat hukum, sudah seharusnya pemerintah langsung sigap bergerak menanggulangi masalah kabut asap, selain dengan bekerja sama dengan masyarakat sekitar serta lewat bantuan dari luar negeri. Di sisi lain, harus dicatat, hukum harus ditegakkan, siapapun pelakunya!
Pun ditetapkan sebagai bencana nasional demi menyegerakan upaya penanggulangan kabut asap secara menyeluruh, tidak berarti proses hukum berhenti dan para pihak yang bertanggung jawab lepas tangan dari tindak hukum pidana yang telah dilakukan! Proses hukum harus terus berjalan karena tindakan mereka telah merugikan banyak pihak dalam berbagai aspek termasuk kerugian materi, bahkan menyebabkan korban jiwa dan kerusakan lingkungan, yang mengancam lingkungan hidup yang sehat bagi orang banyak. Aparat hukum harus yakin dengan bukti yang dimiliki dan tegas menindaklanjutinya lewat proses hukum yang transparan dan akuntabel. Dan para pelaku kabut asap baik perorangan maupun korporasi, dalam maupun luar negeri, harus bertanggung jawab penuh sesuai dengan tindakan pelanggaran yang telah mereka lakukan.
Jangan lagi ada korban lebih jauh akibat kebakaran lahan dan hutan! Tindakan preventif harus menjadi hal utama yang ditanamkan kepada seluruh pemangku kepentingan terkait pemanfaatan lahan dan hutan. Sosialisasi dan koordinasi yang sinergis mengenai hal ini, upaya bersama untuk merawat dan melestarikan lingkungan, serta sanksi tegas yang mengikuti pelanggaran terhadap pemanfaatan lahan dan hutan harus menjadi agenda pemerintah dan aparat hukum, serta para pemangku kepentingan terkait baik di level pusat maupun daerah. Harus ada kemauan bersama untuk belajar dari pengalaman sebelumnya untuk dapat mencegah masalah kebakaran lahan dan hutan kembali terjadi lagi. Kebijakan publik yang memperhatikan dampak lingkungan juga harus menjadi catatan utama dalam proses kebijakan.
Meskipun faktor manusia adalah faktor utama penyebab kebakaran lahan dan hutan bukan berarti kita jadi anti dan mengekang kebebasan ekonomi. Bagaimanapun kebebasan ekonomi mutlak dibutuhkan dalam pembangunan. Namun, catatan penting yang harus diingat adalah kebebasan ekonomi harus diikuti dan dijamin oleh penegakan hukum yang tegas, jelas, dan konsisten, serta tidak tebang pilih. Hal ini sangat penting untuk memastikan bahwa kebebasan ekonomi dan pembangunan dilakukan dengan bertanggung jawab dan memperhatikan berbagai dampak, termasuk dampak terhadap lingkungan.

Adinda Tenriangke Muchtar adalah Chief Editor Suara Kebebasan. Ia juga adalah Direktur Eksekutif The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII). Adinda menyelesaikan studi PhD Studi Pembangunan di Victoria University of Wellington, Selandia Baru (2018) dengan beasiswa NZAID. Adinda mendapatkan Master of Internatio-nal Studies dari The University of Sydney (2003) dengan beasiswa AusAID dan gelar Sarjana Sosial dari Departemen Hubungan Internasional FISIP UI (2001). Fokus kajiannya adalah pembangunan dan kebijakan publik, demokrasi dan tata kelola pemerintahan, pemberdayaan perempuan, dan bantuan pembangunan internasional. email: adinda.muchtar@suarakebebasan.org