Dalam seminggu terakhir ini kita menyaksikan serangkaian peristiwa serangan bom yang terjadi atas fasilitas-fasilitas publik di negeri ini. Reaksi terkejut sangatlah wajar, tetapi bukan berarti ini harus menjadi alasan untuk menjadi paranoid terhadap situasi keamanan pada umumnya.
Terlepas dari segala rasa waswas yang sering beredar di media sosial belakangan ini, data WHO pada tahun 2012 menunjukkan bahwa 10 penyebab kematian teratas di Indonesia didominasi oleh penyakit dan bukan kekerasan. Teratas diantaranya stroke dengan 328 ribu kasus kematian, disusul oleh penyakit jantung kardiovaskular dengan 138 ribu kasus.
Bagaimana dengan korban dari terorisme di tahun yang sama? Enam orang. Bahkan saking sulitnya mencari data-data korban teror di Indonesia, saya terpaksa harus mengandalkan data dari Wikipedia yang biasanya bukan menjadi sumber data acuan utama oleh para peneliti.
Dari enam orang ini, satu orang tewas di Papua ketika pesawatnya ditembaki, 2 orang polisi gugur di Poso ketika menyelidiki sebuah tempat yang dicurigai sebagai tempat pelatihan teroris, dan 3 anggota polisi lainnya gugur di Papua di pegunungan Jayawijaya, dicurigai didalangi oleh anggota separatis Papua.
Sekali lagi, data di atas adalah data dari tahun 2012. Bagaimana dengan tahun 2017 lalu? 3 orang, yaitu ketika bom meledak di terminal Kampung Melayu, Jakarta yang menewaskan 3 anggota Polri.
Angka-angka ini bahkan jauh lebih kecil dari jumlah korban pembunuhan pada tahun 2016 yang menurut publikasi Statistik Kriminal 2017 dari Biro Pusat Statistik (BPS) tercatat sebesar 1.292 orang di seantero negeri ini, atau bila dipukul rata sebanyak 3,54 orang setiap hari. Patut dicatat bahwa kasus pembunuhan ini juga seringkali tidak dapat dicegah karena kemampuan polisi untuk mencegah seluruh kasus kejahatan pun ada batasnya.
Sebagai reaksi atas serangkaian serangan teror ini, banyak dari anggota masyarakat kemudian menyerukan untuk membungkam pihak-pihak oposisi, salah satunya yang beraliran Islam konservatif yang oleh mereka dianggap menyemai bibit-bibit intoleransi yang berujung pada aksi teror ini.
Persoalannya adalah, membatasi hak-hak orang yang pendapatnya berseberangan acapkali menumbuhkan rasa penzoliman/represi dari antara kelompok masyarakat yang melihat hak sipilnya dikebiri.
Dalam skenario terburuk, tindakan ini dapat berujung pada rasa ketidakadilan yang bisa saja berujung pada penjungkalan pemerintahan atau yang dikenal dengan nama kudeta. Kudeta model ini pada masa-masa sekarang ini terutama dapat dilihat beberapa tahun silam di puncak Musim Semi Arab (Arab Spring), yang akibatnya masih berentet hingga saat ini di antaranya di Suriah, Irak, Yaman, dan Libya yang masih dirundung perang, di mana pemimpin atau mantan pemimpinnya dikenal memberangus hak-hak sipil warganya.
UU Terorisme yang belum lama ini digolkan oleh DPR mungkin saja memberikan rasa aman bagi warga seakan negara sudah melakukan sesuatu untuk melindungi keamanan. Namun bukankah perbuatan-perbuatan yang oleh UU ini dijadikan tindak pidana memang sudah dilarang oleh hukum yang berlaku? Apakah tindakan lone wolf seperti yang dilakukan oleh pelaku bom gereja di Surabaya dapat dicegah dengan UU ini bila saat itu sudah diterapkan?
Wajar saja apabila orang-orang yang dilaporkan ataupun disinyalir akan melakukan tindak terorisme diawasi gerak-geriknya. Namun, apabila UU ini juga membatasi kebebasan suatu kelompok masyarakat yang notabene tidak bersalah, maka tidak mustahil kelompok ini dapat merasa kebebasannya dirampas yang dapat saja berujung pada skenario yang saya jabarkan di atas.
Sudah tentu, kita harus terus waspada tentang tindakan terorisme dimanapun kita berada, tetapi bukan berarti kita harus diam di rumah karena takut terkena serangan, sebab ketakutan inilah yang teroris mau dari aksi-aksi keji mereka. Secara harafiah, kata terorisme berarti “penakutan”. Dampak dari aksi semacam ini adalah penghilangan nyawa dimana kehadiran negara diharapkan dan dibutuhkan untuk melindungi nyawa dan kebebasan warganya.
Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud untuk mengecilkan kejadian terorisme tersebut. Sangat manusiawi bagi kita semua untuk merasa terkejut dan takut, apalagi melihat detail kejadian dan postingan-postingan yang lalu lalang di media sosial dalam beberapa hari pasca kejadian. Namun, alangkah bijaknya apabila kita melihat kejadian ini dalam konteks yang lebih luas dan tidak melihat kejadian ini sebagai problem terbesar yang negeri ini hadapi

Ricky Tansari adalah alumnus Swiss German University di Tangerang Selatan. Pertama kali mengenal ide kebebasan ketika Ron Paul, tokoh libertarian terkemuka di Amerika Serikat, mencoba untuk meraih jatah calon presiden dari Partai Republik pada tahun 2012. Ia juga merupakan pencetus salah satu petisi di Change.org untuk melegalkan peredaran ganja di Indonesia. Email ricky_tansari@hotmail.com