Main tebak-tebakan, yuk! Berapa jumlah mata pelajaran yang ada saat bangku SMA? Atau, mungkin satu lagi pertanyaan reflektif. Seberapa sering jam kosong yang dipakai Anda untuk tidur selama seminggu? Ya, masa sekolah, terutama bangku SMA, akan menjadi momen yang tidak terlupakan (termasuk bagi penulis sendiri). Penulis meromantisasi masa-masa sekolah, baik itu SD, SMP, maupun SMA, sebagai wadah untuk belajar, bermain, sekaligus berproses. Di sekolah, siswa tidak hanya akan bertemu teman-teman yang rumahnya cuma berjarak satu gang dengan rumah siswa lainnya, atau yang memiliki kesamaan hobi tertentu, atau tidak hanya bertemu teman yang orang tuanya sudah sedari lama menjalin bisnis bersama, tetapi juga bertemu dengan latar keluarga yang berbeda-beda.
Hal tersebut dibuktikan dengan lingkungan pendidikan yang mencakup (dan seharusnya inklusif) bagi seluruh kalangan siswa dari latar ekonomi, sosial, budaya, agama, dan etnis. Akan tetapi, statement inklusif tersebut tampaknya tidak sejalan dengan kejadian viral sepekan kemarin. Baru-baru ini, linimasa twitter dihebohkan dengan sebuah foto yang menampakkan murid-murid SMAN 2 Depok yang dilarang menggunakan ruang kelas untuk kegiatan Rohani Kristen. Namun, berita tersebut dibantah oleh Kepala Sekolah SMAN 2 Depok, yang menjelaskan bahwa ruangan Multi Guna (yang seharusnya menjadi tempat kegiatan) sementara menjadi tempat penyimpanan seragam siswa kelas X. Namun, setelah ruangan terbuka, murid masuk dan melakukan kegiatan keagamaan sebagaimana mestinya (asumsi.co/07/10/22).
Bukan hanya sekali-dua kali terdengar kasus diskriminasi bernada SARA di pendidikan, misalnya ada kasus bullying siswa SD di Jakarta Timur karena dianggap bukan berasal dari pribumi (megapolitan.kompas.com/31/10/2017), ujaran SARA dalam pemilihan calon ketua OSIS di SMAN 58 (jakarta.tribunnews.com/08/11/2020), dan masih banyak lagi. Kasus-kasus di atas menunjukkan bahwa akar dari persoalan diskriminasi belum sepenuhnya dituntaskan, terutama dalam tubuh pendidikan di Indonesia.
*****
Lemahnya konsep tentang keragaman budaya, ras, agama, dan bahasa dapat menjadi titik terjadinya konflik SARA yang terjadi di Indonesia. Padahal, secara historis, pengakuan terhadap kenyataan keragaman ini, terutama keragaman agama, secara yuridis-formal telah ditunjukkan oleh para founding fathers dengan memasukkan nilai-nilai pluralis keagamaan ke dalam rumusan Pancasila (sila pertama) dan Undang-Undang Dasar 1945, yang merupakan landasan berbangsa dan bernegara bagi bangsa Indonesia. Begitu juga berbagai macam kebudayaan yang dalam semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Semua ini telaha menunjukkan tentang pemahaman multikulturalisme di kalangan para pendiri bangsa ini. Bahkan, secara sosio-kultural, Indonesia pernah menjadi prototype sebuah kehidupan masyarakat pluralistik yang ideal (Asmuri, 2016).
Pendidikan, menjadi salah satu wahana untuk melanjutkan keharmonisan dari keragaman budaya yang ada di Indonesia. Konsep keberagaman yang ada di Indonesia dapat dikenalkan melalui pendidikan multikulturalisme. Urgensi pendidikan multikulturalisme sendiri bertujuan untuk membangun mindset siswa agar lebih terbuka wawasannya tentang keberagaman suku, agama, ras, dan budaya di Indonesia (Nastiti, 2020). Namun, implementasi pendidikan kulturalisme di Indonesia bukan sepenuhnya tanpa tantangan. Dilihat dari aspek kuantitatif, pendidikan multikultural masih belum tersosialisasi dengan baik dan belum berpengaruh luas terhadap masyarakat. Seperti di tingkat sekolah (menengah), khususnya yang berada di daerah sekolah umum, madrasah maupun pesantren, spirit dan nilai-nilai multikulturalisme belum tersosialisasi secara menyeluruh. Begitu pula dengan pemahaman masyarakat mengenai multikulturalisme itu sendiri masih sangat terbatas (Maab, 2015).
Adapun, secara kualitatif, baik dari sisi konsep maupun implementasinya, pendidikan multikultural kurang tersistematisasi dengan baik, terutama untuk dijadikan dasar dalam pelaksanaannya di lapangan. Hal ini dapat dilihat dari minimnya referensi hasil pemikiran yang secara rinci menjelaskan bentuk-bentuk implementasi pendidikan multikultural. pendidikan multikultural kurang tersistematisasi dengan baik, terutama untuk dijadikan dasar dalam pelaksanaannya di lapangan. Hal ini dapat dilihat dari minimnya referensi hasil pemikiran yang secara rinci menjelaskan bentuk-bentuk implementasi pendidikan multikultural.
Beriringan dengan konsep pendidikan multikulturalisme, penanaman nilai-nilai toleransi dalam keseharian siswa juga tidak kalah penting. Dalam konteks demokrasi, toleransi dibutuhkan untuk membangun rasa pengertian dan perasaan menghargai di tengah keragaman suku, agama, ras dan bahasa (Zaini, 2010:20). Dengan demikian, toleransi mengajarkan individu pada suatu kerelaan untuk menerima kenyataan, bahwa sudah pasti terdapat perbedaan yang dimiliki antara dirinya dengan orang lain.
Kultur toleransi penting untuk dibangun karena toleransi adalah nilai turunan dari karakter peduli yang merupakan hasil dari olah rasa/karsa yang merupakan sikap yang dapat menunjukkan keberadaan seseorang, membangun kesepahaman dan saling pengertian sebagai bagian dari makhluk sosial. Sedangkan olah karsa/rasa berkenaan dengan kemauan, motivasi, dan kreativitas yang tercermin dalam kepedulian, citra dan penciptaan kebaruan (Muchlas Samani & Hariyanto, 2012: 24). Pentingnya pendidikan multikultural dan penanaman karakter toleransi yang dilaksanakan dalam pendidikan formal adalah untuk meningkatkan peran sekolah dalam menghadapi keberagaman siswa, membentuk membangun siswa dalam memberikan sikap yang positif terhadap keberagaman agama, ras, suku, budaya, dan bahasa. Selain itu pendidikan multikultural di sekolah juga berperan dalam membantu siswa dalam memberikan keberagaman positif untuk menghadapi perbedaan yang ada di masyarakat nantinya.
Kasus diskriminasi SARA dengan segala jatuh-bangunnya dan perihal sikap masyarakat, satu hal yang penulis tahu pasti, manusia adalah makhluk yang unik, satu sama lainnya bisa berbeda dalam berbagai hal. Demikian, semua manusia memiliki hak dasar yang sama dan semuanya pantas untuk menikmatinya, apapun yang terjadi.
“Aturan utama dalam berperilaku manusiawi adalah toleransi, mengingat kita tidak akan pernah berpikir dengan cara yang sama. Darinya kita akan bisa melihat kebenaran dari sudut pandang yang berbeda.” – Mahatma Gandhi
Referensi:
Artikel
https://asumsi.co/post/71451/geger-isu-diskriminasi-di-sman-2-depok-pihak-sekolah-buka-suara/. Diakses pada 10 Oktober 2022, pukul 12.30 WIB.
https://megapolitan.kompas.com/read/2017/10/31/17014901/anak-sd-jadi-korban-perundungan-sara-di-sdn-di-pekayon-pasar-rebo. Diakses pada 10 Oktober 2022, pukul 12.00 WIB.
https://jakarta.tribunnews.com/2020/11/08/kasus-ujaran-sara-oknum-guru-sman-kepala-sekolah-hingga-murid-diperiksa. Diakses pada 10 Oktober 2022, pukul 18.30 WIB.
Jurnal
Asmuri. (2016). Pendidikan Multikulturalisme (Telaah terhadap Sistem Pendidikan Nasional dan Pendidikan Agama Islam). POTENSIA: Jurnal Kependidikan Islam, Vol. 2, No (1). Diakses melalui https://media.neliti.com/media/publications/160023-ID-pendidikan-multikultural-telaah-terhadap.pdf.
Nastiti, D. (2020). Penanaman Karakter Toleransi dan Pendidikan Multikultural di Sekolah dalam Menghadapi Keragaman Budaya, Ras, dan Agama. Journal Fascho in Education Conference-Proceedings, 1(1). Diakses melalui https://journal.stkipm-bogor.ac.id/index.php/Proceedings/article/view/92
Maab, H. (2015). Pendidikan Multikultural sebagai Solusi Konflik SARA. Jurnal Al-Rahmah, Vol 1 (1). Diakses melalui http://ejournal.kopertais4.or.id/sasambo/index.php/arrahmahnw/article/view/1636
Zaini. (2010). Penguatan Pendidikan Toleransi Sejak Usia Dini. Jurnal Toleransi. 20 (1), 16-30.
Buku
Muchlas Samani,. & M. S Hariyanto. (2012). Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: Rosda

Samuella Christy adalah mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia yang aktif menulis mengenai isu-isu politik, sosial, dan budaya. Dapat dihubungi di samuellachristy3005@gmail.com.