Tentang Hak-Hak Atlet dalam Bidang Olahraga Nasional

    44
    Sumber gambar: https://usk.ac.id/menpora-tutup-pomnas-atlet-usk-persembahkan-11-medali-untuk-aceh/

    Penulis masih ingat ketika perhelatan Asian Games 2018 di Indonesia berlangsung sangat meriah. Mulai dari pembukaan lagu love scenario oleh grup K-pop, IKON (ya, dulu penulis sedang berada di masa fangirling IKON), penampilan 1.600 penari yang menyajikan tarian Ratoeh Jaroe, hadirnya sepuluh cabang olahraga baru, jumlah atlet yang juga meningkat, dan masih banyak lagi peristiwa menarik yang baru dijumpai di Asian Games 2018.

    Namun, setelah perhelatan Asian Games 2018 digelar, kabar mengenai nasib atlet-atlet yang bertanding di acara tersebut ramai diperbincangkan.  Lima pemain timnas sofbol putri Indonesia kabarnya ditelantarkan oleh induk organisasi mereka, selepas tampil di pesta olahraga antarnegara Asia tersebut. Kejadian bermula ketika para srikandi sofbol Indonesia menang 13-0 atas Hong Kong pada 23 Agustus 2018. Meskipun meraih kemenangan, mereka tetap gagal melaju ke babak selanjutnya karena Indonesia hanya berhasil menempati peringkat keenam pada klasemen akhir. Keesokan harinya, para pemain timnas sofbol putri harus meninggalkan Wisma Atlet. Namun, mereka kabarnya dilarang untuk langsung pulang ke daerah masing-masing, karena Pengurus Besar Perserikatan Bisbol dan Sofbol Amatir Seluruh Indonesia (PB Perbasasi) menjadwalkan pembubaran tim pada tanggal 4 September (bola.com, 2018).

    Kasus-kasus penelantaran atlet di Indonesia juga erat kaitannya dengan berbagai permasalahan utama dalam bidang olahraga nasional. Berdasarkan pemetaan oleh Menteri Pemuda dan Olahraga Indonesia, Zainadun Amali, dalam Rapat Kerja Komisi X DPR RI, hal yang menjadi isu utama dalam fokus olahraga nasional adalah bagaimana partisipasi dan kebugaran jasmani masyarakat berolahraga masih rendah, prasarana dan sarana olahraga yang masih terbatas dan belum memenuhi standar, sistem pembinaan olahraga yang belum dikembangkan secara berkelanjutan, hingga manajemen kompetisi yang belum berjenjang dengan variasi usia, serta karateristik yang tidak beragam (kompas.com, 24/03/2021). Belum lagi masalah anggaran pendukung prestasi olahraga dan profesi olahragawan yang belum sepenuhnya menjadi pilihan karena tidak ada jaminan masa depan purna prestasi menjadi isu olahraga nasional berikutnya yang berkaitan dengan nasib para atlet di Indonesia.

    Sekitar 10 tahun yang lalu, publik pernah dikejutkan dengan berita kematian Rachman Kilikili, petinju yang pernah menjuarai berbagai ajang internasional, yang ditemukan tewas gantung diri. Dari kabar yang beredar, Rachman diduga stress akibat tidak kunjung mendapatkan pekerjaan setelah dirinya pensiun dari dunia tinju. Peristiwa ini menyajikan fakta bahwa menjadi juara dunia hingga bertabur gelar nampaknya tidak selalu menjanjikan masa depan yang cerah bagi sebagian para mantan atlet Indonesia.

    Mirisnya beberapa dari mereka, justru harus membanting tulang demi bisa bertahan hidup, baik dengan bekerja serabutan hingga terpaksa menjual medali kebanggaan. Mantan binaragawan yang pernah memborong medali emas di Asian Games dari tahun 1989 sampai 1997 dan medali perak di tahun 2022, Wempi Wungau, hingga kini tidak memiliki pekerjaan tetap. Suharto, sebagai atlet balap sepeda yang meraih medali emas pada Sea Games 1979 di Malaysia, memutuskan untuk berhenti menjadi atlet pada tahun 1981 karena tidak mendapatkan uang maupun bantuan, hanya mendapat piagam penghargaan (idntimes.com, 08/11/2017).

    Padahal, selama ini atlet dilihat secara universal sebagai sosok yang bertanggung jawab untuk bertindak menjadi model peran dan duta, yang dituntut berusaha keras untuk unggul dan mematuhi peraturan-peraturan organisasi yang menaunginya. Adapun, hak-hak atlet mencakup kesempatan untuk mendapat keadilan dan proses yang semestinya, mendapat pelatih yang memadai, aturan yang jelas, kompetisi yang adil, jaminan kesehatan, privasi, keselamatan, pendidikan, dan jaminan kesejahteraan (Nurjaya, 2008).

    Namun, hak-hak sipil yang seharusnya didapat seringkali tidak digubris. Banyak atlet merasa bahwa mereka kurang terwakili dalam proses pengambilan keputusan dan tidak memunyai hak yang memadai dalam keputusan yang mempengaruhi status mereka. Ditambah lagi, banyak atlet juga merasa bahwa mereka tidak diberi status yang semestinya mereka terima (Nurjaya, 2008).

    Bukti lain mengenai hak-hak atlet yang seringkali tidak terpenuhi didapat dari hasil penelitian Studi Kasus Pekan Olahraga DIY Tahun 2019 yang menyatakan bahwa terdapat faktor yang mempengaruhi terhambatnya pemenuhan hak atas jaminan sosial bagi atlet, yaitu kebijakan pemerintah daerah yang belum sepenuhnya mengatur mengenai pemberian jaminan sosial bagi atlet. Hal ini juga dinilai bertentangan dengan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Selain itu, terlaksananya PORDA DIY 2019 juga masih jauh dari standar perlindungan hukum yang ‘cukup’ bagi para atletnya sehingga juga bertentangan dengan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (Dewi & Fauziah, 2020).

    Namun, nasib atlet di Indonesia yang kerap terlupakan kesejahteraannya, kini mulai digubris oleh pemerintah. Hal itu dengan adanya respons pemerintah yang menerbitkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2022. Isi UU yang lebih fokus pada penguatan kegiatan keolahragaan yang turut memperhatikan jaminan profesi atlet dan aspek industri olahraga ini diharapkan bisa menjadi payung hukum yang jelas bagi para atlet di Indonesia ke depannya.

    Pada akhirnya, walaupun dengan beban kompetisi di level elit, para atlet berhak untuk suara individu yang lebih kuat, kontrol yang lebih banyak atas hidup mereka sendiri, serta kesejahteraan hidup yang lebih layak. Mengutip ucapan ayah saya sendiri ketika sedang menonton atlet bulu tangkis favoritnya, Taufik Hidayat, yang membeberkan rahasia miris dari teman-teman atlet pensiunan, penulis berharap, “Jangan sampai ada lagi berita viral yang heboh soal mantan atlet berprestasi yang hidupnya sengsara!”

     

    Referensi

    Dewi, M & Fauziah, A. (2020). Perlindungan Hukum Atas Jaminan Sosial Bagi Atlet Saat Pertandingan Di Wilayah Yogyakarta (Studi Kasus Pekan Olahraga Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2019). http://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/187993. Diakses pada 15 Februari 2023, pukul 12.41 WIB.

    https://www.bola.com/asian-games/read/3639067/5-pemain-timnas-sofbol-putri-indonesia-ditelantarkan-setelah-tampil-di-asian-games. Diakses pada 13 Februari 2023, pukul 21.42 WIB.

    https://www.idntimes.com/sport/arena/sista-noor-elvina/miris-9-atlet-berprestasi-ini-justru-hidup-susah-setelah-pensiun-c1c2?page=all. Diakses pada 15 Februari 2023, pukul 11.54 WIB.

    https://www.kompas.com/sports/read/2021/03/24/14124088/menpora-ungkap-13-masalah-utama-olahraga-nasional?page=all. Diakses pada 15 Februari 2023, pukul 11.30 WIB.

    Nurjaya, D. (2008, 21 Desember). Sistem Pembinaan Atlet Berprestasi. http://file.upi.edu/Direktori/FPOK/JUR._PEND._KEPELATIHAN/196312091988031-DEDE_ROHMAT_NURJAYA/SISTEM_PEM.pdf.  Diakses pada 15 Februari 2023, pukul 13.00 WIB.