Tak Adakah Hukuman Selain Penjara?

    1313
    Petugas membuka jendela di Lapas Wanita Anak Tangerang, Banten, 2 Februari 2019. Wisnu Agung Prasetyo/Beritagar.id

    Salah satu slogan yang sering kita dengar adalah, bahwa negara kita adalah negara yang berlandaskan hukum. Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi hukum, sehingga setiap hubungan dan juga interaksi sosial harus memperhatikan tatanan hukum yang berlaku.

    Namun faktanya, implementasi negara hukum bukanlah penegakan hukum seadil-adilnya, tapi segala sesuatu serba “dihukum”. Semakin banyak undang-undang yang semakin rinci mengatur kehidupan individu, sehingga semakin banyak orang dipenjara karena dianggap melanggar hukum serius, meskipun ada juga kasus seperti perbuatan sepele, seperti meledek di media sosial.

    Tempo hari yang lalu, orang-orang di media sosial ramai-ramai menghujat Ferdian Paleka, seorang Youtuber yang videonya prank-nya membuat geram dunia maya. Paleka memuat konten lawakan yang menghina para transpuan. Ferdian Paleka memberi mereka batu dan sampah alih-alih memberi bantuan kepada mereka.

    Munculnya kemarahan warga dunia maya, membuat polisi bergerak cepat. Mereka menetapkan Ferdian Paleka dan juga kedua orang temannya sebagai tersangka dan menahan mereka di penjara. Beragam orang bersorak-sorak ketika Paleka ditangkap, ada yang menghujat ada yang bergembira karena Youtuber tersebut di penjara. Tapi banyak juga pegiat HAM yang menyesalkan proses hukum yang menimpa Paleka dan kawan-kawannya, sebab secara undang-undang, Paleka tidak melakukan tindak kekerasan ataupun menimbulkan kerugian material pada korban.

    Ya, saya awalnya juga turut “khilaf” dengan bergembira ria dengan ditangkapnya Paleka. Namun, setelah saya pikir secara mendalam, saya berpikir, “Masa hanya karena membuat konten prank lantas masuk penjara”. Dan juga, beberapa hari yang lalu, beredar video bahwa Paleka dan teman-temannya juga dianiaya di dalam penjara dan menjadi bulan-bulanan di dalam rutan.

    Lebih anehnya lagi, hanya karena konten “sembako prank”, polisi menjerat mereka dengan pasal berlapis, yakni Pasal 45 Ayat (3) huruf e, Pasal 36, dan Pasal 51 ayat (2) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dengan ancaman hukuman 12 tahun penjara (Kompas, 08/04/2020).

    Saya akui, bahwa perbuatan yang dilakukan Paleka jelas tidak berperikemanusiaan, tidak pantas, serta patut dikecam. Namun, apakah hanya karena hanya membuat tipuan lantas, membuat Paleka mendekam di penjara selama belasan tahun? Apakah hanya karena kenakalan yang dilakukan Paleka, negara dan aparat hukum sampai mengambil tindakan tegas dengan merampas kebebasannya dan membuatnya tak berdaya di dalam kamar tahanan? Sementara, belum tentu aparat penegak hukum sebegitu sigap dan tegas terhadap pelaku kejahatan kriminal serius lainnya, seperti koruptor, yang beberapa kasusnya juga terjadi tebang pilih, baik dalam hal hukuman maupun sel tahanannya.

    Tujuan hukum yang ideal, menurut filsuf dan ekonom Prancis Frederic Bastiat, adalah menjamin kebebasan, keamanan, dan memberi perlindungan, serta memberi jaminan kemerdekaan seluruh masyarakat (Bastiat, 2012). Kasus Paleka harus ditelaah apakah perbuatannya mengancam jiwa seseorang? Membuat kerugian material? Atau melakukan penganiayaan? Jika termasuk dalam kategori tersebut, seharusnya pihak aparat coba menerapkan hukuman lain atas Paleka atau orang-orang seperti Paleka, bukan dengan menahannya dalam sel hanya karena melakukan hal-hal sepele meskipun tidak pantas dan tidak patut menjadi contoh yang baik.

    Selain Paleka, banyak juga kasus penahanan hanya karena masalah sepele. Contohnya, seperti Ibu Meiliana di Tanjung Balai, yang dipenjara hanya karena mengeluh soal suara toa masjid. Contoh lainnya adalah kakek Samirin di Sumatera Utara di vonis penjara 2 bulan 4 hari karena mencuri getah seharga Rp17.000, atau remaja Lutfi Alfiandi yang divonis penjara selama empat bulan karena membawa Bedera Merah Putih saat demonstrasi Tolak RUU KPK pada tahun 2019 lalu.

    Alih-alih memberi efek jera, justru kasus kejahatan semakin meningkat. Menurut Erasmus Napitupulu, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) beberapa waktu lalu dalam presentasinya pada Forum Kebebasan Webinar yang diselenggarakan oleh Suara Kebebasan tanggal 16 April lalu, menjelaskan bahwa kapasitas rutan kita yang sudah melewati batas alias overcrowding bahkan sudah mendekati extreme overcrowding, di mana beban Rutan Lapas mencapai 204%. (Adi Surya, 2020)

    Penuhnya rutan kita juga tidak semuanya diisi oleh para penjahat kelas berat, tetapi juga oleh orang-orang seperti Paleka (kasus ITE), kasus narkoba, kasus pencurian ringan, dan kasus-kasus yang menurut saya tidak perlu berujung penjara.

    Saya terpaku dengan ucapan Prof. Ernst Utrech dalam buku Pengantar Dalam Hukum Indonesia, penyesalan dan efek jera tidak akan bisa dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan. Tidak boleh si terpidana disiksa, kecuali hanya kehilangan kemerdekaannya sementara, dan negara yang mengambil kemerdekaan seseorang pada waktunya wajib mengembalikan dan membantu si terpidana kembali kemasyarakat (E. Utrecht, 1995).

    Tujuan dari pidana penjara menurut Prof. Utrecht, adalah pemasyarakatan dan pengayoman. Ketika negara memenjarakan warganya, tindakan tersebut jangan diartikan negara membalas dendam atau membuat si tersangka menderita (E. Utrecht, 1995). Tapi saat ini penegakan hukum kita justru malah terbalik, karena orang di dalam penjara akan mendapat siksaan batin dan fisik, serta pelayanan kesehatan yang tidak memadai.

    Filosofi dari hukum pidana kita sebenarnya sudah sangat baik. Kita sudah tidak menggunakan paradigma bahwa pidana penjara sebagai show of power dari negara agar rakyatnya menjadi takut dan tidak membangkang. Namun, saat ini alih-alih memanusiakan manusia, banyak orang yang disiksa dalam selnya, banyak juga orang yang tidak kapok untuk berbuat ulah ketika mereka telah selesai menjalani masa hukuman.

    Masih adanya aksi kejahatan yang dilakukan oleh napi asimilasi pasca dibebaskan beberapa waktu lalu (CNN Indonesia, 13/05/2020),  juga  menunjukkan bahwa bahwa hukuman penjara tidak serta-merta membuat mereka bertobat. Alih-alih bertobat, banyak napi yang melakukan tindakan yang lebih berani lagi, dari yang awalnya masuk bui karena mencopet, setelah keluar mereka malah melakukan aksi perampokan. Dengan begitu, berarti hukuman pidana penjara menurut hemat saya sudah tidak efektif lagi.

    *****

    Filsuf besar China, Laozi, pernah mengatakan, “Semakin banyak hukum dan pembatasan, orang-orang semakin menjadi miskin. Semakin banyak aturan dan hukuman, semakin banyak pencuri dan perampok.” Negara kita memang berlandaskan hukum, tetapi tidak berarti semua orang yang melakukan penyimpangan harus dipidana dan dipenjarakan. Contohnya adalah kasus ujaran kebencian, kasus pengkonsumsi narkoba, kasus perzinahan atau kasus pencurian ringan karena karena si pelaku terdesak kebutuhan. Semua ini tidak harus berakhir penjara, karena dalam hukum pun terdapat alternatif-altenatif untuk menyelesaikan kasus hukum tanpa melulu dimulai dan berakhir dengan memenjarakan orang tersebut.

    Pidana penjara memang memiliki tujuan untuk menghukum para pelaku kejahatan dengan harapan agar pelaku dapat bertobat dan mnyesali perbuatannya. Namun faktanya bahwa kapasitas penjara kita kian penuh hingga overcrowding dan juga terbukti bahwa sebagian orang yang keluar dari rumah tahanan, kembali melakukan aksi kejahatan.

    Pemenjaraan, selain merampas kebebasan dan kemerdekaan seseorang, juga membuat parara narapidana akan merasa terasing dari dunia luar dan kehilangan pelayanan manusiawi sebagaimana ketika ia berada di luar lapas, mengingat masih mirisnya kondisi lapas di Indonesia seperti yang dijelaskan di atas. Hilangnya rasa aman dan juga interaksi dengan mereka yang dicintai bisa mengubah psikologi si narapidana.

    Lalu apakah sistem penjara adalah efektif? Tentu tidak selalu. Buktinya, banyak kasus napi asimilasi yang kembali melakukan kejahatan, meskipun sudah lepas dari penjara. Apalagi, dengan memasukkan satu orang kedalam  bui, berarti beban negara bertambah, sebab selama orang itu mendekam dipenjara, semua fasilitas kesehatan, makanan, tempat bernaung ditanggung oleh negara, termasuk warga negara yang ikut membayar pajak untuk hal tersebut.

    Jadi, kita membutuhkan alternatif hukum selain mempidanakan dengan penjara, khususnya untuk kasus-kasus kecil, seperti yang dialami oleh Paleka dan ibu Meiliana. Misalnya, bagi orang seperti Paleka, sebaiknya diberikan hukuman kerja sosial atau membayar denda untuk mengganti kerugian orang-orang yang ia sakiti. Begitu juga dengan kasus pengguna narkotika. Bimbingan dan rehabilitasi misalnya bagi pemakai, lebih tepat ketimbang memenjarakannya di tempat yang justru akan menambah buruk psikisnya.

     

    Referensi

    Buku

    Ernst Utrecht, disadur oleh Moh. Saleh Djindang, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Sinar Harapan 1995.

    Bastiat, Frederic. 2012. Hukum: Rancangan Klasik Untuk Membangun Masyarakat Merdeka, Jakarta: Friedrich Naumann Foundation.

     

    Presentasi

    Erasmus Napitupulu, “Pentingnya Mengeluarkan Narapidana di tengah wabah Covid-19” dalam acara Webinar Forum Kebebasan, 2 Mei 2020.

     

    Internet

    http://regional.kompas.com/read/2020/05/08/20565121/jadi-tersangka-youtuber-ferdian-paleka-terancam-12-tahun-penjara Diakses pada 17 Mei 2020, pukul 04.19 WIB.

    https://m.cnnindonesia.com/nasional/20200512150324-12-502544/106-napi-asimilasi-kembali-berulah-mencuri-hingga-pencabulan Diakses pada  8 Mei 2020, pukul 18:48 WIB.

    https://suarakebebasan.id/pembebasan-napi-di-tengah-wabah-corona-cerita-diskusi-webinar-forum-kebebasan/ Diakses pada 18 Mei 2020, pukul 18:57 WIB.