
Tahun Baru Imlek tahun 2023 ini rasanya sudah agak berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Pembatasan sosial dan larangan berkumpul sudah dicabut. Pandemi yang menakutkan perlahan sudah berlalu dan kehangatan berkumpul untuk merayakan Imlek sudah mulai terasa kembali, meskipun keadaan ekonomi agak sulit. Banyak orang Tionghoa berharap agar tahun baru sekarang bisa lebih baik dari tahun yang sudah lampau.
Salah seorang kawan saya dari kalangan Tionghoa mengirim pesan kepada saya dan mengutarakan harapannya agar Indonesia selalu damai dan mampu menyatukan seluruh warga negaranya. Imlek mungkin diberi stereotip sebagai perayaan etnis Tionghoa, namun belakangan momentum Imlek nampaknya sudah mendarah daging di tengah masyarakat kita.
Contoh kecilnya adalah antusiasme masyarakat menonton pawai saat Imlek dan penantian hari libur. Memang tak sedikit orang yang sadar dan memulai “pribumisasi” orang-orang Tionghoa. Maksud pribumisasi itu adalah, menggandeng saudara kita dari etnik Tionghoa untuk berbaur dengan masyarakat dan menjadi elemen tak terpisahkan dalam bangsa ini. Namun, hingga saat ini sebagian orang lainnya masih ada yang memandang miring etnik Tionghoa. Mereka menyebut dengan kasar “Cina” dan menghubungkannya dengan politik di China daratan yang tengah memanas. Seolah China di daratan besar dan di tanah air sama-sama berbahaya dan harus dimusuhi. Kecurigaan dan ketakutan pada etnis Tionghoa ini membuat gesekan antara warga kerap terjadi.
***
Tujuh tahun lalu, tepatnya bulan Juli 2016 terjadi sebuah peristiwa memilukan. Beberapa kelenteng dan vihara terbakar. Massa mengamuk dan menyerang seluruh simbol-simbol yang terkait etnik Tionghoa di sana. Kerusuhan ini dipicu kesalahpahaman mengenai aturan pengeras suara masjid yang menyebabkan umat Muslim di sana tersinggung.
Tahun 2017 di Jakarta tendensi “anti Cina” dan slogan “gue pribumi” muncul dan bergema di ibu kota negara. Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang beretnis Tionghoa, dipersoalkan partisipasinya dalam pemilihan gubernur karena dianggap menista agama dan bukan pribumi.
Narasi anti non pribumi dan anti Tionghoa bagi saya adalah narasi usang yang tak layak untuk dilestarikan. Tetapi, ketika kontestasi politik memanas, maka isu anti Tionghoa diprediksi muncul kembali untuk memecah suara masyarakat sekaligus agar politisi mendapat perhatian utama.
Jika dirunut dari sejarah Indonesia, sosok awal yang paling tegas dalam melarang budaya Tionghoa adalah pemerintah Orde Baru. Meskipun tak sedikit mahasiswa beretnis Tionghoa yang pro Orde Baru pada tahun 1966, namun Soeharto sendiri memilih untuk menjaga jarak dan mewaspadai setiap etnis Tionghoa di Indonesia.
Pengamat kebudayaan Universitas Pelita Harapan, Johanes Herlijanto, berkata ruang-ruang politik dan kebudayaan etnis Tionghoa dihilangkan. Posisi Etnis Tionghoa di Indonesia menjadi terpojok. Johanes menyebut di era Orde Baru etnis Tionghoa mendapat diskriminasi secara sistematis (CNN, 12/02/2021).
Pertama, mengganti istilah Tionghoa menjadi Cina dengan tujuan menyudutkan etnis Tionghoa. Kedua, melarang budaya Tionghoa dipraktikkan di tengah masyarakat, ketiga ekspresi keagamaan mereka dibatasi. Dan keempat, mereka dianjurkan menggunakan nama pribumi dengan alasan untuk mempermudah asimilasi dengan penduduk pribumi (Tirto,24/01/2020).
Diskriminasi itu disebabkan karena rezim Orde Baru menganggap bahwa etnis Tionghoa adalah bagian dari Partai Komunis China (PKC) dan itu berarti membahayakan NKRI.
Hal ini yang membuat etnis Tionghoa sulit mendapatkan pekerjaan. Karena mustahil menjadi ASN dan bekerja besar, kebanyakan etnis Tionghoa menyambung hidup dengan cara berbisnis dan berdagang sebisanya, dan akhirnya di bidang ekonomi, mereka mencapai sukses besar.
Sebenarnya, jika dirunut lebih jauh lagi, masalah diskriminasi etnik Tionghoa bukan cuma dimulai saat era Orde Baru, tetapi juga sejak zaman kolonial. Ong Hok Ham mengatakan bahwa justru kolonialis Belanda lah yang mencoba mendisreditkan dan menggandeng orang lokal untuk mendiskriminasi etnis Tionghoa. Kesuksesan bisnis orang Tionghoa lah yang membuat Belanda tidak suka dan sepanjang sejarah, Belanda melakukan diskriminasi baik dengan kekerasan atau aturan yang merugikan etnis Tionghoa (Ong Hok Ham, 2008).
Setelah Indonesia merdeka, upaya untuk menghilangkan diskriminasi terhadap orang Tionghoa dilakukan oleh pemerintah Soekarno dengan mengizinkan orang Tionghoa menetap dan mendapat tanda kewarganegaraan atau mendirikan partai politik. Pasca Orde Baru pula, Presiden Baharuddin Jusuf Habibie mengeluarkan Perpres yang menghapus istilah “pribumi” dan “non pribumi” agar konflik antar ras tidak terjadi. Aturan soal sebutan Tionghoa dan yang mengekang kebudayaannya pun diubah. Presiden Abdurrahman Wahid pada 17 Januari 2000, lewat Keputusan Presiden (Keppres) No. 6/2000, mencabut Inpres No.14/1967.
Di era kepresidenan Megawati Soekarnoputri, Imlek menjadi hari libur nasional. Lalu di zaman Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No. 06/1967 dicabut melalui Keppres No. 12/2014.
***
Hubungan antara etnis Tionghoa dan etnis lain di Indonesia, tidak selalu dalam lanskap konflik. Sebaliknya, catatan sejarah menulis bahwa antara orang Tionghoa dan penduduk lainnya kerap menjalin kerja sama yang erat.
Zaenuddin AM, jurnalis senior sekaligus pemerhati sejarah Jakarta, menyebut bahwa sejarah etnis tionghoa di Indonesia yang penuh konflik antara “pribumi versus pendatang”. Image konflik tersebut justru sengaja dimunculkan sebagai sebuah propaganda demi menguntungkan pihak-pihak tertentu. Tidak seperti saat gambaran yang tercipta dalam benak kita, di Batavia dahulu, orang-orang Tionghoa punya ikatan yang kuat dengan masyarakat Betawi bahkan terjadi pertukaran kebudayaan. Misalnya, istilah “lu” dan “gua” sering diucapkan oleh masyarakat Betawi, ternyata itu adalah kata serapan yang diambil dari dialek Hokkien. Jika bukan hubungan yang erat, mustahil masyarakat Betawi menggunakan dialek tersebut dalam percakapan sehari-hari.
Zaenuddin juga menyebut bahwa ketika perayaan Pehcun, masyarakat Batavia (baik dari etnis Tionghoa atau Betawi) turut mengadakan keramaian. Acara ngibing (dansa), gambang kromong, dan cokek menjadi ajang pesta bagi masyarakat berbagai lapisan tanpa melihat etnis (Zaenuddin, 2016).
Konflik antara etnis Tionghoa dan etnis lainnya, disebabkan karena adanya kecemburuan ekonomi dan juga kambing hitam politik. Dalam sejarah, kaum Tionghoa justru mau berasimilasi dan bergotong-royong dengan etnis lainnya. Alih-alih dianggap eksklusif, banyak orang Tionghoa yang menikahkan keluarga mereka dengan etnis lainnya, seperti Jawa, Pariaman atau Sunda.
Saat ini kesadaran untuk menghapus segala bentuk diskriminasi rasial sangat diperlukan. Pada faktanya, ketakutan orang terhadap etnis Tionghoa terlalu dilebih-lebihkan bahkan delusional. Propaganda anti Tionghoa hanya menyebabkan kerugian untuk masyarakat dan menghambat kemajuan. Tak ada satu ras dan suku yang dapat hidup secara mandiri. Interaksi antar suku dan ras itulah yang bakal menciptakan keharmonisan dan kemajuan.
Jelang Pilpres 2024, tendensi politik masing-masing orang pasti kembali memanas. Kita hanya berharap semoga saja saudara-saudara kita dari etnis Tionghoa tidak lagi menjadi korban. Korban dari propaganda, korban dari narasi kebencian yang pada ujungnya hanya menyusahkan kita semua.
Referensi
Ham, Ong Hok. 2008. Anti Cina, Kapitalisme Cina, dan Gerakan Cina: Sejarah Etnis Cina di Indonesia. Depok: Komunitas Bambu.
Zaenudin, HM. 2016. Kisah-Kisah Edan Seputar Djakarta Tempo Doeloe. Jakarta: Change.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210210145438-20-604775/melacak-sejarah-prasangka-pada-etnis-tionghoa-di-indonesia/amp. Diakses pada 23 Januari 2023, pukul 02.00 WIB.
https://tirto.id/mengapa-orde-baru-lebih-suka-cina-daripada-tionghoa-et62?page=all#secondpage. Diakses pada 23 Januari 2023, pukul 02.15 WIB.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com