Surga Pekerja Hanyalah Khayalan Belaka

    1095

    Bila kamu tinggal di pemakaman, kamu tidak akan mampu menitiskan air mata untuk semua orang”, tulis filsuf, sejarawan, dan tahanan politik asal Soviet, Aleksandr Solzhenitsyn, dalam bukunya, “The Gulag Archipelago.” Solzhenitsyn, yang dikurung selama 8 tahun di kamp kerja paksa dari tahun 1945–1953, menceritakan pengalamannya dalam bukunya tersebut. Ia juga yang memberi kamp kerja paksa Soviet nama Gulag.

    Solzhenitsyn tentu bukan satu-satunya warga Soviet yang menjadi korban kekejaman rezim komunis. Setidaknya ada hamir 20.000.000 warga Soviet yang dipekerjakan paksa di berbagai kamp-kamp kerja paksa. Mereka diharuskan bekerja untuk memenuhi kuota yang sangat tinggi, dengan bahan pangan yang sedikit, kondisi sanitasi yang buruk dan fasilitas kesehatan yang tidak memadai. Akibatnya, setidaknya ada 1.600.000 warga Soviet yang meninggal di dalam Gulag, yang tersebar di berbagai wilayah negara komunis pertama di dunia tersebut.

    Gulang merupakan salah satu dari berbagai catatan kelam yang tercantum dalam sejarah hitam Uni Soviet. Pada tahun 1932-1933 misalnya, pemimpin Soviet masa itu, Joseph Stalin, memberlakukan kebijakan untuk mengambil paksa seluruh bahan pangan di wilayah Ukraina. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya kelaparan besar yang merenggut lebih dari 7 juta jiwa.

    Belum lagi, berbagai pembunuhan dan pemenjaraan terhadap para oposisi yang berani menentang penguasa, merupakan sesuatu yang umum terjadi di Uni Soviet. Para petinggi partai Komunis seakan memiliki kekuasaan yang absolut untuk mengatur segala urusan kehidupan yang dijalankan oleh warga mereka.

    Hal ini merupakan sesuatu yang sangat bertentangan dengan janji-janji para revolusioner komunis ketika Uni Soviet didirikan. Mereka mengatakan bahwa, negara Soviet yang baru akan menjadi surga bagi para pekerja. Kaum proletarian akan terbebas dari eksploitasi yang dilakukan oleh para kaum bangsawan dan kelas borjuasi. Bahkan, motto nasional dari Uni Soviet adalah “Para pekerja di seluruh dunia, bersatulah!”

    Membangun surga para pekerja merupakan sesuatu yang sangat dominan dalam diskursus gerakan politik kiri. Motto dari Uni Soviet tersebut misalnya, merupakan kata-kata yang diambil dari Manifesto Komunis yang ditulis oleh pendiri Marxisme, Karl Marx dan Friedrich Engels.

    Marx dan Engels membayangkan dunia tanpa kapitalisme. Mereka menganggap bahwa kapitalisme merupakan sumber dari segala bentuk ekspolitasi dan permasalahan yang dialami oleh para pekerja. Kapitalisme menjadikan pekerja hanya sebagai “sekrup” dan menghisap tenaga yang mereka miliki.

    Akan ada masa, Marx dan Engels membayangkan, bahwa kelompok pekerja akan bersatu untuk menumbangkan sistem kapitalisme dan menciptakan masyarakat komunis dibawah kediktatoran kelas proletariat. Pada masa tersebut, kelas pekerja akan menjadi penguasa dan bisa menentukan nasib mereka sendiri. Mereka bisa berburu di pagi hari, memancing di siang hari, dan berternak di malam hari, tanpa diharuskan untuk menjadi pemburu, nelayan, atau peternak (Marx dan Engels, 1846).

    Pada tahun 1917 di Rusia, Vladimir Lenin menjadi tokoh pertama yang mengimplementasikan gagasan Marx dan Engels tersebut menjadi kenyataan. Setelah monarki absolut Romanov dijatuhkan di Rusia oleh kelompok pro demokrasi, Lenin melakukan kudeta terhadap kelompok pro demokrasi tersebut untuk mengambil alih kekuasaan dan mendirikan negara komunis pertama di dunia.

    Lenin memberlakukan gagasan kediktatoran proletariat dengan menjadikan Partai Komunis sebagai satu-satunya kekuatan politik yang diklaim sebagai representasi dari kelas pekerja. Seluruh partai politik lain dan organisasi massa yang dianggap memiliki visi yang bertentangan dengan tujuan komunisme dibubarkan dan dilarang beraktivitas. Orang-orang yang terlibat aktif didalamnya dibunuh, dipenjarakan, diasingkan, dan dibuang ke kamp kerja paksa.

    Abad ke-20 menjadi saksi bahwa revolusi yang dipimpin oleh Lenin bukan menjadi satu-satunya revolusi komunis di dunia. Bertahun-tahun setelahnya, terjadi berbagai revolusi komunis di berbagai negara, seperti di China tahun 1949, Kuba tahun 1959, dan Vietnam tahun 1975. Para revolusioner komunis yang mempimpin revolusi di negara-negara tersebut memiliki klaim janji yang serupa, yakni mendirikan surga bagi kelas pekerja di dunia.

    Namun, melalui berbagai catatan sejarah, kita mengetahui bahwa janji-janji tersebut tak ubahnya omong kosong belaka. Justru di negara-negara komunis, para petinggi partai yang menjadi penguasa sumber-sumber daya ekonomi. Mereka yang memberi komando barang apa yang boleh diproduksi dan dikonsumsi, kepada siapa didistribusikan, pekerjaan apa yang dapat dilakukan, serta di mana seseorang dapat tinggal.

    Para pekerja tak ubahnya menjadi budak para petinggi partai komunis. Mereka tidak punya suara untuk mengekspresikan keinginan mereka, atau menjadi independen dengan membangun usaha mereka sendiri. Mereka yang berani menentang keputusan yang dibuat oleh pemerintah, akan dieksekusi atau dijebloskan ke dalam hotel prodeo.

    Sebaliknya, situasi yang paling mendekati “surga pekerja” yang didamba-dambakan para Marxis dan kelompok komunis justru terjadi di negara-negara yang mengadopsi sistem ekonomi pasar dan memiliki tingkat kebebasan ekonomi yang tinggi. Di negara-negara maju yang memiliki pasar yang bebas dan terbuka, seperti Amerika Serikat, Australia, Kanada, Britania Raya, Selandia Baru, Jerman, dan negara-negara Skandinavia, justru para pekerja memiliki tingkat kesejahteraan yang tidak bisa dibayangkan terjadi di negara-negara komunis.

    Para pekerja di negara-negara tersebut memiliki berbagai fasilitas yang, untuk standar negara-negara berkembang seperti Indonesia, merupakan fasilitas mewah yang dimiliki kelas menengah, seperti mobil pribadi, televisi kabel, dan rumah dengan pendingin dan penghangat ruangan. Selain itu, di negara-negara tersebut, umumnya kebebasan berekspresi relatif dijamin oleh negara.

    Bila ada pekerja yang menganggap dirinya tidak diperlakukan adil, mereka dapat melakukan protes tanpa ketakutan akan dipenjara, disiksa, atau dibuang ke tempat terpencil oleh pemerintah. Ironisnya, tidak ada satupun dari negara-negara demokratis tersebut yang memiki motto revolusioner untuk mendirikan surga bagi kaum pekerja, seperti Uni Soviet.

    Beruntungnya, tidak ada negara-negara komunis yang hidup sampai satu abad. Uni Soviet, yang menjadi negara pemimpin blok komunis, runtuh berkeping-keping pada tahun 1991. Berbagai negara yang sebelumnya mengadopsi ekonomi komando mulai bergerak ke arah ekonomi pasar, seperti negara-negara Eropa Timur, Vietnam, dan sampai tingkat tertentu, China.

    Namun celakanya, kita seakan tidak pernah belajar dari sejarah. Di berbagai belahan dunia, khususnya di negara-negara Barat, politisi-politisi yang gemar mengumbar janji untuk menciptakan surga bagi pekerja perlahan mulai naik ke permukaan, diantaranya adalah Bernie Sanders di Amerika Serikat dan Jeremy Corbyn di Britania Raya.

    Mereka mengumbar janji bahwa, bila mereka duduk di puncak kekuasaan, mereka akan memberikan kehidupan yang lebih baik bagi para pekerja. Mereka mengatakan bila pemerintah diberikan wewenang yang besar untuk menjalankan perekonomian, maka kesejahteraan bagi pekerja akan meningkat, karena kapitalisme dianggap gagal dalam merealisasikan tujuan tersebut.

    Sebagai seseorang yang tidak buta akan masa lalu, tentu kita harus selalu bersikap skeptis. Sejarah sudah membuktikan apa yang akan terjadi bila kita percaya dan termakan oleh janji-janji tersebut. Surga pekerja tak lebih khayalan belaka, yang justru digunakan sebagai jargon oleh mereka yang memiliki ambisi untuk berkuasa secara absolut atas jutaan orang.

     

    Referensi

    https://www.marxists.org/archive/marx/works/download/Marx_The_German_Ideology.pdf Diakses pada 18 Mei 2020, pukul 00.45 WIB.