Sewaktu masa putih abu-abu, saya sempat tergila-gila dengan karakter Joker dari DC Comics. Karakternya yang nyentrik dengan make up ala badut sukses membuat saya tertarik pada film garapan Todd Philips ini. Bermula dari kecintaan terhadap Joker inilah yang membuat saya ikut melirik film-film lain dari DC Comics, seperti Superman dan Batman. Terhitung sudah dua tahun lamanya saya mengikuti perkembangan film dan komik DC Comics ini. Sehingga, info terbaru DC Comics pun enggan saya lewatkan.
Baru-baru ini, kabar mengenai anak Superman, Jon Kent, dalam seri terbaru Superman of Earth: Son of Kal-El digambarkan sebagai seorang biseksual. Jon Kent merupakan putra dari Clark Kent dan Lois Lane yang memiliki kekuatan super sama seperti ayahnya. Ia dikisahkan jatuh cinta pada seorang reporter dan sahabatnya, Jay Nakamura.
Seketika saja, group line, di mana saya adalah salah satu anggotanya, langsung ricuh. Sama dengan masalah-masalah populer lainnya, ada yang pro dan juga ada yang kontra terhadap keputusan DC Comics ini. Jelas, penggambaran karakter tersebut merupakan cerita baru dari perjalanan tokoh fiksi superhero yang kerap digambarkan sebagai laki-laki maskulin dengan kecenderungan orientasi seksual heteronormatif.
Tom Taylor, selaku penulis naskah, mengatakan bahwa Superman merupakan satu simbolisasi yang dimaknai sebagai harapan, kebenaran, dan keadilan. Tom sendiri meyakini simbol-simbol yang disandarkan pada tokoh fiksi tersebut mewakili sesuatu yang lebih dari itu. “Hari ini, lebih banyak orang dapat melihat diri mereka sendiri sebagai pahlawan super paling kuat dalam komik,” ucapnya (dcccomics.com, 11/10/2021).
Sayangnya, gagasan penulis tidak terlalu diperhatikan. Mayoritas masyarakat langsung menyerang hanya karena bias karakter, biseksual. Seorang politikus dan partainya mengungkapkan kekhawatiran mereka terhadap pengaruh negatif atas kehadiran Jon Kent yang akan digambarkan sebagai biseksual. Landasan penolakan terhadap produk DC Comics tersebut karena “Sebagai partai yang berasaskan Islam, PPP yang dengan jelas menghukumi biseksual sebagai perbuatan buruk dan keji (fahisyah), tentu tidak ingin penggambaran Superman sebagai tokoh biseksual ini menjadi konsumsi anak-anak Indonesia” (suara.com, 13/10/2021). Tak hanya itu, Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas, meminta agar Pemerintah Indonesia juga melarang komik Superman ini beredar bebas di Indonesia karena alasan yang serupa (cnnindonesia.com, 13/10/2021).
Lantas, apa yang dapat disimpulkan dari fenomena ini? Penulis rasa aman bahwa di sini dikatakan pandangan masyarakat belum sepenuhnya lepas dari stigma dan bias negatif terhadap kaum LGBT. Kritik kebanyakan datang dari para anti-Barat. Argumen paling umum berkaitan dengan nilai yang dikandung dalam populasi kaum LGBT dapat membawa degradasi moral bagi anak, bangsa, dan status quo. Maka dari itu, konsep awal mengenai manusia hanya laki-laki dan perempuan yang disatukan dalam nama Tuhan tidak seharusnya ditambah-tambahkan.
Kita harus dapat membedakan antara legality dan moral permissibility. Sesuatu yang menurut standar moral kita tidak diperbolehkan, bukan berarti harus dilarang secara hukum. Mari kita lihat implementasinya dalam keadaan masyarakat saat ini. Tak dipungkiri bahwa beberapa orang di luar sana takut untuk mengaku dan tampil sebagaimana diri mereka diri sendiri di depan masyarakat. Apabila mereka tampil, worst case paling umum yang mereka alami berupa ejekan atau hinaan . “Jadi orang yang gay itu kan ga normal tau,” atau “Masa dia katanya bisek… ihhhh sakit jiwa deh!”
Kendatinya moral seseorang tidak dapat dilabelkan “baik” atau “buruk” hanya karena landasan orientasi seksual. Jika begitu, orang lain pun juga akan sangat mudah memberi label bahwa heteroseksual itu “tidak bermoral” atau label lain yang mengarah pada label negatif. Setiap individu memiliki imajinasi kreasi dan tindakan seksual yang secara kondisional dapat dikonstruksi berdasarkan pada pengalaman seksualnya sejak dan saat anak-anak (Rahman, 2015).
Penolakan terhadap keberadaan kaum LGBT Indonesia sendiri terus digaungkan oleh media massa. Mulai dari kalangan menteri, akademisi, hingga tukang siomay, dan tukang bakso di pinggir jalan turut menyatakan sikap penolakan terhadap keberadaan kaum LGBT ini. Melalui media sosial, ada banyak berita provokator yang membawa insan dunia maya terperangkap dalam kebencian. Dalam hal ini pun, Foucault (1988) menyikapi bahwa sebuah normalisme merupakan suatu produk dari industrialisasi (Sennet, 2002).
Hal penting yang perlu digarisbawahi dari pemikiran Foucault adalah sebuah kenormalan merupakan bagian dari proses industrialisasi itu sendiri. Oleh karena itu, normal merupakan sebuah konstruksi masyarakat industrial dengan segala kepentingan yang menempel di dalamnya, terutama dalam hal kebutuhan ekonomi yang sudah distandarisasi pada masa itu. Jadi, “normal” dan “tidak normal” dalam bingkai orientasi seksual, sama sekali tidak ada hubungannya. Indonesia, sebagai negara heteronormatif, di mana konsep ‘normalitas seksual’ didasarkan pada pernikahan heteroseksual antara laki-laki dan seorang perempuan, dan anak-anak yang dihasilkan dari pernikahan tersebut (Anjani, et al., 2015).
Konsep normalitas seksual itulah yang menjadi pendukung kuat adanya dikotomi nilai dan norma antara maskulin dan feminin. Misalnya, kemerdekaan tubuh yang dikekang oleh stigma publik terhadap HIV dan AIDS harus dikembalikan menjadi “normal” kembali. Namun, di balik standarisasi stigma yang dilakukan media massa tersebut, saat ini mulai banyak media alternatif yang memberitakan isu LGBT dengan perspektif yang baik. Hal ini tentu dapat berjalan baik ke depannya apabila ada koordinasi dan kerja sama positif dari masyarakat dan media.
Kontroversi menarik tentang karakter Jon Kent dalam komik terbaru Superman bukan mengenai apakah karakter tersebut pantas atau tidak, melainkan apa masyarakat sudah siap menerima kenyataan bahwa kaum LGBT juga seharusnya punya ‘tempat’ yang layak. Jika kita berbicara mengenai dalih moralitas, setiap individu mempunyai batasan moralnya masing-masing yang tidak bisa disamaratakan. Terakhir, kita sering melupakan fakta bahwa kaum LGBT juga bagian dari kita. Mereka sama-sama mempunyai untuk hidup, berekspresi, dan bebas dari kekangan manapun.
Referensi
Buku
Rahman, A. 2015. Seksualitas dan Kearifan dalam Budaya Bugis. Makassar: FIS Universitas Negeri Makassar.
Sennet, R. 2002. Flesh and Stone: The Body and The City in Western Civilazation. London: Penguin Book.
Jurnal
Anjani, S, dkk. 2015. Razia Terhadap LGBT Sebagai Agenda Moralitas Palsu: Kajian Pemberitaan Media di Indonesia. Jurnal Perempuan. Vol. 20, No. 4, November. h. 97-107.
Artikel
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20211013094948-20-707051/mui-dorong-pemerintah-larang-komik-superman-biseksual Diakses pada 13 Oktober 2021, pukul 22.00 WIB.
https://www.dccomics.com/blog/2021/10/11/jon-kent-finds-his-identity-in-superman-son-of-kal-el-5 Diakses pada 13 Oktober 2021, pukul 21.30 WIB.
https://www.suara.com/news/2021/10/13/160040/politikus-dan-partainya-ketakutan-dengan-komik-superman-yang-digambarkan-jadi-biseksual Diakses pada 13 Oktober 2021, pukul 21.30 WIB.

Samuella Christy adalah mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia yang aktif menulis mengenai isu-isu politik, sosial, dan budaya. Dapat dihubungi di samuellachristy3005@gmail.com.