Judul Acara: Squid Game
Sutradara: Hwang Dong-hyuk
Tahun: 2021
Studio: Siren Pictures Inc.
Pukul 1 dini hari sabtu lalu, saya menyandarkan punggung di tembok kamar tidur sambil berpikir ke mana kedua ibu jari gabut ini harus diarahkan. Akhirnya, pilihan jatuh kepada menonton sebuah series dari Korea Selatan yang berjudul Squid Game. Ya, setelah melihat banyak cuplikan dan meme tentang series ini semakin menjamur di linimasa media sosial, penulis pun penasaran untuk menelusuri satu per satu episode Squid Game ini.
Selang 24 jam setelah selesai menonton, penulis cukup terpukau dengan pengemasan alur cerita dalam series ini, terutama sorotan konflik kelas sosialnya. Squid Game bercerita tentang ratusan orang di Korea Selatan dengan beragam masalah finansial yang mereka harus hadapi setiap harinya, entah itu dikejar rentenir atau konflik dengan keluarga mereka. Mereka kemudian diundang oleh kelompok misterius untuk mengikuti serangkaian permainan kompetitif yang mengancam nyawa. Pada dasarnya, Squid Game adalah film tentang survival game film yang mengangkat permainan anak-anak Korsel sebagai unsur dalam plotnya (cnnindonesia.com, 17/9/2021).
Plot utama Squid Game berfokus pada karakter bernama Seong Gi-hun, diperankan Lee Jung-jae. Gi-hun adalah laki-laki dewasa Korea Selatan yang gagal membangun kehidupan layak di negaranya. Ia dipecat dari pabrik mobil tempatnya bekerja, kehilangan teman dalam aksi mogok, ditinggal istri yang menikahi pria lebih mapan, serta kehilangan hak asuh atas anak semata wayangnya.
Gi-hun juga terkucilkan di lingkungan sosialnya. Tanpa privilege. Ia bahkan hidup menumpang dengan sang ibu yang bekerja sebagai pedagang. Segala kondisi itu menyeret Gi-hun ke lingkaran setan, utang dan perjudian. Segala situasi yang cukup jadi alasan Gi-hun ikut serta dalam rangkaian permainan kelompok misterius, meski Gi-hun tahu ia harus mempertaruhkan nyawanya. Kelompok itu menjanjikan total hadiah 45,6 miliar won untuk peserta yang mampu memenangi pertandingan hingga tahap akhir.
Sorotan konflik kelas sosial dalam film menyentuh capaian penting ketika Parasite memenangi Best Picture Oscar 2020. Ini tak kalah penting bagi sang sutradara, Bong Joon Ho, yang konsisten mengangkat isu ini dalam karya lainnya, seperti Snowpiercer (2013) hingga Okja (2017). Rupanya, sutradara Squid Game, Hwang Dong Hyuk, turut menganggap penting isu ini sehingga mengangkat keresahan sama dalam Squid Game. Hal ini kemudian diperkuat dengan pernyataan pengamat budaya lokal, Kim Seong Su, yang melihat Squid Game sebagai ilustrasi realitas kehidupan banyak manusia hari ini: konflik kelas sosial dan kontribusi kapitalisme dalam lapisan sosial (voi.id, 25/9/2021).
Kapitalisme Sebagai Bagian “Hidup” dari Kehidupan Sosial
Meskipun dikemas dalam bentuk permainan anak, peserta Squid Game berpotensi untuk dapat terbunuh kapan saja. Berbagai macam adegan pembunuhan terangkum dalam rangkaian permainan di sembilan episode Squid Game. Hampir semua peserta di dalamnya merasakan ketakutan luar biasa yang ditunjukkan dengan tangisan, isakan, dan tubuh yang gemetar. Dengan ketakutan mereka dan keinginan yang besar untuk mendapatkan hadiah akhir, masing-masing peserta berusaha sekeras mungkin untuk menang. Bahkan, rela mengorbankan teman mereka demi isi ‘piggy bank’ yang digantung di atas kasur mereka.
Hal ini menggambarkan peran kapitalisme dalam kehidupan sehari-hari, baik untuk yang miskin maupun yang kaya. Mereka yang kekurangan finansial pun bisa menjadi kompetitif apabila dihadapkan pada situasi mendesak. Selain itu, series ini menunjukkan di mana pun kita berada, akal dan kemampuan kognitif kita dibutuhkan. Penulis tidak ingin memberi spoiler dalam tulisan ini, tapi bayangkan (re: bagi yang sudah menonton), bagaimana rasanya tidak punya kemampuan apapun yang bisa dijanjikan dalam permainan maut ini. Setiap orang tidak ada yang ingin sekelompok atau bekerja sama dengan Anda. Sama dengan realitanya, Anda tidak punya modal diri yang mumpuni, perusahaan mana pun juga tidak tertarik merekrut Anda.
Sistem kapitalisme merupakan sebuah sistem ekonomi yang dicirikan oleh pengakuan atas hak milik pribadi dan pemanfaatan alat produksi untuk menghasilkan laba dengan kompetisi pasar unggul serta bebas (Hasan dan Mahyudi, 2020). Dalam kapitalisme, swasta mendapat peran untuk ikut serta dalam penanaman modal dan pemerintah hanya selaku pengawas dalam jalannya sistem perekonomian. Hal ini dapat kita lihat dalam series Squid Game, di mana setiap peserta berlomba untuk mendapatkan uang hadiah dengan ide dan kekuatan mereka masing-masing. Sementara itu, permainan dibebaskan sesuai kapasitas masing-masing pemain dan master game hanya mengawasi jalannya permainan.
Stratifikasi Sosial yang Tidak Akan Hilang
Sejak kita lahir, tidak ada satu pun dari kita yang dilahirkan sama ‘persis’. Salah satu contohnya adalah bentuk fisik, seperti mata dan hidung, yang pasti berbeda dengan orang lain. Contoh lain adalah sosialisasi primer dalam keluarga. Setiap keluarga memiliki tradisi turun-temurun yang berbeda dan budaya ajar-mengajar yang unik satu sama lain. Hal ini yang menyebabkan output-nya pun akan berbeda. Semua contoh tersebut dikatakan sebagai stratifikasi sosial. Stratifikasi sosial adalah pembedaan atau pengelompokan para anggota masyarakat secara vertikal (bertingkat).
Selain terkait dengan konsep kekuasaan, stratifikasi sosial juga memiliki keterkaitan dengan konsep status sosial , sebuah konsep yang dikemukakan oleh antropolog Amerika Serikat, Ralph Linton. Dengan adanya status sosial, baik itu status utama (master status), status yang diraih (achieved status), dan status yang diperoleh (ascribed status). Adanya perbedaan-perbedaan status sosial itu juga turut mempengaruhi pembentukan stratifikasi sosial (Grusky, 2014).
Dalam permainan yang digambarkan series Squid Game ini, adanya stratifikasi sosial dijelaskan dalam hubungan Gi-Hun dengan istri dan anak semata wayangnya. Istri Gi-Hun diceritakan menikah dengan laki-laki lain yang lebih mapan dan memilih untuk mengambil hak asuh atas anaknya. Gi-Hun bersikeras untuk mendapatkan kembali hak asuh anaknya dengan berencana mendapatkan banyak uang (agar bisa menang dalam pengadilan karena kondisi finansial yang mumpuni). Namun, cara yang diambil Gi-Hun salah dan membawanya semakin terpuruk dalam utang. Alhasil, Gi-Hun tidak bisa tinggal bersama anaknya dan harus mengalah dengan suami baru dari istrinya.
Selama dalam masyarakat ada sesuatu yang dihargai dan setiap masyarakat mempunyai sesuatu yang dihargai, maka sesuatu yang dihargai itu akan menjadi bibit yang dapat menumbuhkan adanya sistem yang berlapis-lapis dalam masyarakat itu. Sesuatu yang dihargai itu mungkin berupa uang atau benda-benda yang bernilai ekonomis, mungkin berupa tanah, kekuasaan, ilmu pengetahuan atau mungkin keturunan dari orang terhormat. Dalam series Squid Game contohnya, ada sejumlah uang dengan nilai fantastis yang menjadi tujuan semua peserta.
Seorang sosiolog, Pitirin A. Sorokin (1957) mengatakan bahwa, sistem berlapis itu merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur. Barang siapa yang memiliki sesuatu yang berharga dalam jumlah yang sangat banyak, di mana tidak semua orang bisa demikian bahkan hanya sedikit orang yang bisa, akan dianggap oleh masyarakat berkedudukan tinggi atau ditempatkan pada lapisan atas masyarakat. Sementara, mereka yang hanya sedikit sekali atau sama sekali tidak memiliki sesuatu yang berharga tersebut, dalam pandangan masyarakat mempunyai kedudukan yang rendah. Atau ditempatkan pada lapisan bawah masyarakat. Perbedaan kedudukan manusia dalam masyarakatnya secara langsung menunjuk pada perbedaan pembagian hak-hak dan kewajiban-kewajiban, tanggung jawab nilai-nilai sosial, dan perbedaan pengaruh di antara anggota-anggota masyarakat (Moeis, 2008).
Manusia pada umumnya bercita-cita agar ada perbedaaan kedudukan dan peranan dalam masyarakat, tetapi cita-cita itu akan selalu terbentur dengan suatu kenyataan yang berlainan. Setiap masyarakat harus menempatkan individu-individu pada tempat-tempat tertentu dalam struktur sosial dan mendorong mereka untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai akibat penempatan tersebut. Dengan demikian, masyarakat menghadapi dua persoalan, yaitu masalah penempatan individu-individu dan mendorong mereka agar melaksanakan kewajibannya.
Apabila misalnya semua kewajiban tersebut selalu sesuai dengan keinginan-keinginan si individu-individu, sesuai dengan kemampuan-kemampuan individu-individu tersebut dan seterusnya, maka persoalannya tidak akan terlalu sulit untuk dilaksanakan. Tetapi kenyataannya tidaklah demikian, karena kedudukan-kedudukan dan peranan-peranan tertentu sering memerlukan kemampuannya dan latihan-latihan tertentu, dan pentingnya kedudukan-kedudukan dan peranan-peranan tersebut juga tidak selalu sama. Tidak akan dapat dihindarkan lagi bahwa masyarakat harus menyediakan beberapa macam sistem pembalasan jasa sebagai pendorong agar si individu ingin melaksanakan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat. Wujudnya dalam setiap masyarakat juga beragam karena hal itu tergantung pada bentuk dan kebutuhan masing-masing masyarakat. Jelas bahwa kedudukan dan peranan yang dianggap tinggi oleh setiap masyarakat adalah kedudukan dan peranan yang dianggap terpenting serta memerlukan kemampuan dan latihan-latihan yang maksimal.
Referensi
Artikel
https://voi.id/bernas/88015/membaca-simbol-squid-game-merenungi-struktur-sosial-dan-kapitalisme-tempat-kita-hidup Diakses pada 3 Oktober 2021, pukul 23.00 WIB.
https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20210917093248-220-695576/sinopsis- squid-game-harapan-di-tengah-teror-gim-masa-kecil Diakses pada 3 Oktober 2021, pukul 23.00 WIB.
Jurnal
Hasan, Z, Mahyudi. 2020. Analisis terhadap Pemikiran Ekonomi Kapitalisme Adam Smith, 4(1). Diakses melalui https://core.ac.uk/download/pdf/300042135.pdf pada 4 Oktober 2021, pukul 00.00 WIB.
Moeis, S. 2008. Struktur Sosial : Stratifikasi Sosial. Diakses melalui http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._SEJARAH/195903051989011-SYARIF_MOEIS/BAHAN__KULIAH__2.pdf pada 4 Oktober 2021, pukul 22.00 WIB.
Buku
Grusky, David B. (2014). Social Stratification: Class, Race, and Gender in Sociological Perspective (4th edition). Boulder: Westview Press.

Samuella Christy adalah mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia yang aktif menulis mengenai isu-isu politik, sosial, dan budaya. Dapat dihubungi di samuellachristy3005@gmail.com.