Kalau kemarin cuitan di Twitter mengenai tindakan polisi yang menggeledah sembarangan viral, kali ini cuitan soal membagi tagihan makan pada kencan pertama alias split bill yang viral. Cuitan tersebut dibagikan oleh akun @tikotapicokin. Ia mengunggah beberapa screenshot yang menunjukkan jatah bayaran pesanan masing-masing yang dinikmati saat kencan pertama. Thread yang viral ini mengundang perhatian warganet. Banyak warganet yang setuju dengan sikap split bill saat kencan pertama dan seterusnya, selama statusnya masih sebagai pacar.
Hal ini sering terjadi karena beberapa laki-laki merasa punya tanggung jawab dan ego untuk tidak membiarkan perempuannya membayar. Alasannya adalah pemahaman tentang “laki-laki yang harus bayar” masih sangat mainstream di Indonesia. Mungkin kalimat ini sudah familiar di telinga perempuan Indonesia, “kalau makan sama pacar, jangan sampai kamu yang bayar ya!”
Dilansir dari Asumsi.co, psikiolog Personal Growth, Ratih Ibrahim, mengungkapkan tata krama kencan pertama secara tradisional, seluruhnya bergantung pada laki-laki. “Kalau bicara manner, pada dasarnya first date itu konsep yang patriarki. Konsep patriarki yang harus mulai duluan laki-lakinya. Perempuan enggak boleh mengajak duluan terus yang menentukan tempat makan atau dating di mana,” (asumsi.co, 22/10/2021).
Hal yang paling menarik untuk dibahas adalah, bagaimana prinsip split bill bisa menjelaskan kesetaraan gender dalam hubungan, sifat patriarki, konsep feminisme psikoanalisis, dan kekerasan verbal maupun nonverbal. Satu kata penting yang akan sering kita bahas di sini adalah gender, suatu konsep atau nilai yang mengacu pada sistem hubungan sosial yang membedakan fungsi serta peran perempuan dan laki-laki yang disebabkan oleh perbedaan biologis.
Lama-kelamaan, masyarakat membakukan konsep gender menjadi satu kesaturan ‘budaya’ dan seakan tidak bisa lagi ditawar apalagi diubah. Membahas masalah gender bukan sekedar perihal masalah perempuan yang menghadapi laki-laki saja, melainkan permasalahan universal untuk memahami pembagian peran dan kedudukan, serta hak dan kewajiban masing-masing gender.
Ada beberapa aspek yang mempertegas konstruksi masyarakat terhadap masalah gender ini. Pertama, peran orang tua atau keluarga. Kebanyakan para orang tua masih menggambarkan anak laki-laki harus tangguh, macho, dan tahan banting. Di satu sisi, ajaran seperti ini membuat seorang laki-laki menjadi lebih siap menjalani kehidupan yang matang. Namun, di sisi lain, hal ini tak jarang membuat seorang laki-laki merasa lebih mempunyai ‘kuasa’ atas perempuan, hingga mempunyai hasrat otoritas terhadap perempuan baik secara fisik maupun psikis. Hasrat otoritas terhadap perempuan terpatri dan dibawa pada saat berumah tangga.
Kedua, paradigma masyarakat itu sendiri dalam bentuk tradisi atau larangan. Masyarakat pada umumnya berpandangan bahwa laki-laki harus menanggung kehidupan perempuan. “Masa gaji suami lebih rendah daripada istri, malu lah!”, kata seorang ibu yang tidak terima anak laki-lakinya memiliki gaji yang lebih rendah dibanding menantunya sendiri. Pernyataan ini didukung karena suami dituntut untuk menangung beban hidup istrinya. Perempuan tidak boleh lebih tinggi dari laki-laki yang berkewajiban menanggung hidupnya. Konstruksi sosial tersebut memunculkan perasaan atau pola pikir bahwa laki-laki berhak mengatur perempuan dalam berbagai aspek. Karena laki-laki merasa ditekan oleh konstruksi masyarakat, jadi seakan dirinya yang berkewajiban mengarahkan perempuan (kumparan.com, 17/01/2015).
Hal ini yang kemudian disebut patriarki, di mana adanya distribusi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan sehingga laki-laki dipandang mempunyai keunggulan dalam satu aspek atau bahkan lebih dibandingkan seorang perempuan. Kultur patriarki ini secara turun-temurun membentuk perbedaan perilaku, status, dan otoritas antara laki-laki dan perempuan di masyarakat, yang kemudian menjadi hirarki gender. Misalnya, hak anak sulung, otonomi pribadi dalam hubungan sosial, partisipasi dalam status publik, atau agama dari berbagai pekerjaan laki-laki dan perempuan ditentukan oleh pembagian kerja secara seksual (media.neliti.com).
Selanjutnya, konsep patriarki memengaruhi proses pengukuhan norma-norma yang membatasi gerak perempuan. Citra, peran, dan status sebagai perempuan telah diciptakan oleh budaya, sehingga akhirnya perempuan menganggap bahwa label itu memang bagian dari takdir. Menurut beberapa teori feminisme psikoanalisis, hal ini dipengaruhi oleh penggunaan bahasa dalam media serta konteks budaya yang melatarbelakanginya. Ironisnya, konstruksi yang selama ini ingin dihilangkan dari perempuan ingin dihilangkan oleh perempuan justru semakin dikukuhkan oleh media (Muashomah, 2010).
Pengukuhan stereotip perempuan seringkali menjadi tema-tema yang menarik dalam media umum atau media yang dikhususkan untuk perempuan. Beberapa media perempuan mengukuhkan stereotip-stereotip itu dengan menentukan rubrik-rubrik yang ditampilkan, menggunakan sebutan-sebutan perempuan yang sudah ada dalam masyarakat, menampilkan cara-cara yang dapat ditempuh untuk melakukan tugas perempuan yang sudah dikonstruksikan masyarakat, baik dalam hubungan sesama perempuan maupun relasi gender dengan laki-laki. Hal ini menyebabkan masyarakat sangat sulit mengubah persepsi tentang perempuan karena peran-peran perempuan terus menerus disosialisasikan melalui media disertai contoh-contoh menarik (Muashomah, 2010).
Berbicara mengenai dampak patriarki dan stereotip terhadap perempuan pada suatu hubungan sangatlah jelas, yakni perampasan kebebasan seorang perempuan. Jika pada awalnya seorang perempuan sebelum menjalin hubungan tidak mendapatkan kedaulatan untuk mengambil setiap keputusan dalam hidupnya, kekerasan bisa jadi salah satu bentuk dampak signifikan yang ditimbulkan.
Prinsip split bill yang sudah saya singgung di atas sebenarnya menunjukkan adanya kesadaran remaja akan pemahaman masalah gender sebelumnya. Saat ini, konstruksi-konstruksi tradisional sudah banyak ditinggalkan, banyak pasangan muda menjalani prinsip dalam hubungan yang mereka inginkan sendiri atas dasar keputusan bersama. Perubahan signifikan ini bukan menandakan adanya degradasi moral, tindakan membangkang, dan sebagainya. Justru, hal ini mengindikasikan adanya kebebasan yang diutamakan dalam sebuah hubungan.
Referensi
Jurnal
Muashomah. 2010. Analisis Labelling Perempuan Dengan Teori Feminisme Psikoanalisis: Studi Kasus Majalah Remaja Olga! (2), hal. 143-155. Diakses melalui https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/komunitas/article/view/2284/2336 Diakses pada 24 Oktober 2021, pukul 21.30 WIB.
Internet
https://asumsi.co/post/7505/viral-cuitan-soal-split-bill-ini-tata-krama-saat-kencan-pertama Diakses pada 23 Oktober 2021, pukul 21.00 WIB.
https://kumparan.com/muhammad-rofiqi/telaah-problematika-patriarki-dalam-relasi-suami-istri-1tf2nNaWJNp/full Diakses pada 24 Oktober 2021, pukul 10.00 WIB.
https://media.neliti.com/media/publications/107368-ID-relasi-gender-dalam-hubungan-pacaran.pdf Diakses pada 24 Oktober 2021 pukul 23.00 WIB.

Samuella Christy adalah mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia yang aktif menulis mengenai isu-isu politik, sosial, dan budaya. Dapat dihubungi di samuellachristy3005@gmail.com.