“Kapitalisme merupakan biang kerok dari segala permasalahan yang dialami manusia! Mulai dari kemiskinan, eksploitasi, kerusakan lingkungan, dan lain-lain! Kita harus menghancurkan sistem kapitalisme!”
Bagi Anda yang gemar melakukan diskusi, atau membaca berbagai literatur politik kiri, kata-kata di atas kemungkinan besar adalah hal yang tidak asing lagi terdengar di telinga Anda. Bagi mereka yang memiliki pandangan politik berhaluan kiri, kapitalisme memang dilihat sebagai sumber dari semua persoalan yang melanda penduduk bumi.
Untuk itu, mereka menganggap bahwa sistem ini harus dihancurkan. Kapitalisme merupakan sistem yang tidak bisa lagi terus diterapkan oleh umat manusia, dan harus diganti dengan sistem lain yang menjadi lawan abadi kapitalisme, yakni sosialisme.
Ketika manusia menerapkan sosialisme, mereka yang memiliki haluan politik kiri yakin bahwa segala permasalahan manusia akan terselesaikan. Tidak akan ada lagi kemiskinan, dan semua kebutuhan dasar terpenuhi. Eksploitasi juga akan hilang dan kerusakan lingkungan dapat segera dihentikan. Atau, meminjam istilah dari judul buku karya aktivis dan penulis asal Kanada, David McNally, another world is possible.
Janji-janji surga sosialisme bukanlah sesuatu yang baru dalam diskursus ilmu politik. Karl Marx misalnya, dalam bukunya, The German Ideology, menggambarkan dunia utopia pasca kapitalisme ditumbangkan. Ia menulis bahwa, setiap orang dapat berburu di pagi hari, memancing di siang hari, dan berternak di malam hari, tanpa diharuskan untuk menjadi pemburu, nelayan, atau peternak.
Namun, apakah hal ini merupakah sesuatu yang tepat? Apakah kita dapat membangun surga di dunia di atas abu sisa-sisa kehancuran kapitalisme?
*****
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, izinkan saya mengajukan pertanyaan sederhana. Apakah kapitalisme merupakan sistem yang sempurna?
Bagi saya pribadi, tentu jawabannya tidak. Dan sepengetahuan saya, tidak ada satupun pemikir atau tokoh-tokoh yang mengadvokasi kapitalisme yang menyatakan kapitalisme adalah sistem yang sempurna dan dapat membangun surga di dunia.
Ekonom ternama peraih Nobel Ekonomi tahun 1976 asal Amerika Serikat, Milton Friedman misalnya, dalam salah satu program televisi Free to Choose yang ia bawakan, mengatakan bahwa, dalam kapitalisme, akan tetap ada orang-orang yang miskin. Akan tetap ada mereka yang harus bekerja keras setiap hari di tempat kerja yang kurang nyaman. Namun, sistem kapitalisme yang berfondasi pada pasar bebas telah terbukti merupakan sistem terbaik untuk mengangkat taraf hidup orang-orang tersebut (Free to Choose, 1980).
Tidak ada sistem yang sempurna. Karena, semua sistem sosial, termasuk sistem ekonomi tentunya, adalah hasil karya manusia. Dan tidak ada manusia yang bisa terlepas dari kesalahan dan kekeliruan.
Ketidaksempurnaan kapitalisme merupakan sesuatu yang harus kita akui, termasuk oleh mereka yang menjadi advokat kapitalisme yang paling keras. Di berbagai negara yang menerapkan sistem kapitalisme, seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan negara-negara Eropa Barat, tetap ada orang-orang miskin dan tak berpunya.
Di negara-negara tersebut, tetap ada mereka yang harus bekerja keras membanting tulang setiap hari demi memenuhi kebutuhan dasarnya. Selain itu, kerusakan lingkungan juga merupakan sesuatu yang tidak absen di negara-negara tersebut.
Akan tetapi, disinilah kritik para kaum sosialis, Marxis, komunis, dan mereka yang berhaluan kiri terhadap kapitalisme merupakan sesuatu yang tidak jujur. Mereka mengkontraskan kenyataan kapitalisme yang diterapkan di dunia nyata, dengan sosialisme utopis yang hanya ada di pikiran mereka.
Para pengkritik kapitalisme, mengadili kapitalisme berdasarkan segala bentuk ketidaksempurnaannya, seraya mengadvokasi sosialisme sebagai sistem yang sempurna yang nyatanya tak lebih hanya hadir di dalam utopia. Membandingkan kenyataan dengan sesuatu yang utopis tentu merupakan bentuk ketidakjujuran intelektual yang sangat besar.
Analoginya, perbandingan tersebut adalah seperti membandingkan antara kemampuan berkelahi antara serdadu Rusia dengan serdadu Amerika Serikat. Namun, yang dibandingkan adalah antara tentara Rusia asli dengan tokoh fiksi John Rambo, yang diperankan oleh Sylvester Stallone. Berdasarkan perbandingan tersebut, kemampuan berkelahi tentara Amerika di klaim jauh lebih hebat daripada tentara Rusia.
Buktinya, John Rambo di dalam film bisa mengalahkan puluhan tentara Rusia seorang diri, seperti dalam film Rambo III. Sebaliknya, di dunia nyata, tidak ada satupun tentara Rusia yang mampu menang berkelahi dan bertempur sendirian melawan puluhan tentara Amerika, sebagaimana John Rambo.
Bila seseorang ingin membandingkan kapitalisme di dunia nyata dengan sosialisme, tentu yang diperbandingkan haruslah sosialisme yang diterapkan di bumi tempat kita tinggal, bukan sosialisme khayalan yang hanya berada di kepala orang-orang kiri. Lantas, apakah apa rekam jejak sosialisme yang diterapkan di dunia nyata?
Kita bisa mengetahui rekam jejak sosialisme dengan sangat jelas melalui sejarah dunia di abad lalu. Abad ke-20 menjadi saksi bisu pertempuran antara dua gagasan, yakni blok kapitalisme yang dipimpin oleh Amerika Serikat, dan blok sosialisme yang dipimpin oleh Uni Soviet.
Sejarah secara gamblang menunjukkan, sosialisme yang diterapkan di Uni Soviet telah melahirkan genosida dan pembunuhan massal. Lebih dari 7 Juta rakyat Ukraina misalnya, tewas dalam kelaparan buatan yang diprakarsai oleh pemimpin Soviet, Joseph Stalin, pada kurun waktu 1932-1933, ketika Stalin melakukan kolektivisasi lahan pertanian dan mengambil paksa bahan-bahan pangan dari rakyat Ukraina. Genosida tersebut dikenal dengan nama Holodomor.
Korban genosida Holodomor yang sangat besar tentu bukan satu-satunya korban jiwa dari sosialisme. Sekitar 1,600.000 warga Soviet misalnya, meninggal di berbagai kamp-kamp kerja paksa yang tersebar di berbagai wilayah negara tersebut, yang dikenal dengan nama Gulag, karena kelelahan, kelaparan, serta sanitasi yang buruk. Sejarawan Prancis ternama, Stéphane Courtois, dalam bukunya, The Black Book of Communism, memberi estimasi total korban jiwa yang meninggal karena pembunuhan massal, genosida, dan represi politik di Uni Soviet dalam kurun waktu 1917 sampai 1989 adalah 20 – 60 juta orang (Courtois, 1999).
Sejarah Uni Soviet tentu bukan merupakan satu-satunya catatan hitam sosialisme. China pada masa Mao Zedong misalnya, mengalami kelaparan besar pada periode 1959 – 1961, ketika Mao memerintahkan kolektivisasi lahan-lahan pertanian untuk kebutuhan industralisasi. Korban jiwa dari kelaparan tersebut berjumlah hingga 45 juta orang, dan merupakan bencana kelaparan terbesar di abad ke-20.
Sosialisme juga justru melahirkan eksploitasi yang sangat masif terhadap para pekerja. Di negara-negara sosialis seperti Uni Soviet dan China era Mao, para pekerja tidak lebih menjadi budak para petinggi partai. Mereka tidak memiliki hak untuk protes dan dipaksa untuk bekerja di lembaga milik negara. Mereka tidak bisa memilih pekerjaan apa yang mereka inginkan, atau memutuskan untuk keluar dan memulai usaha mereka sendiri, karena seluruh sumber daya ekonomi di monopoli oleh penguasa.
Lantas bagaimana dengan kemajuan ekonomi? Bukankah sistem kapitalisme telah melahirkan berbagai krisis, seperti krisis global yang terjadi di tahun 2008 lalu?
Krisis ekonomi tidak bisa dibantah merupakan hal yang memang terjadi di dalam negara-negara kapitalis. Namun, bukan berarti lantas sosialisme menjadi solusi mutakhir untuk mengatasi hal tersebut.
Sosialisme telah menciptakan resesi besar yang tidak bisa dibayangkan terjadi di negara yang menerapkan sistem ekonomi pasar. Uni Soviet misalnya, saat ini hanya hadir di dalam catatan sejarah. Negara adidaya tersebut hancur berkeping-keping, pecah menjadi 15 bagian di tahun 1991 karena dampak resesi ekonomi.
Sedahsyat-dahsyatnya resesi dan krisis ekonomi yang terjadi di dalam kapitalisme, tidak pernah ada yang sampai menghancurkan satu negara, apalagi negara superpower seperti Uni Soviet. Krisis Depresi Besar tahun 1929 dan krisis finansial tahun 2008 yang terjadi di Amerika Serikat misalnya, tidak sampai menghancurkan negeri Paman Sam tersebut.
Amerika Serikat sampai detik ini tetap eksis, hadir, dan masih menjadi satu-satunya negara superpower di dunia. Bila Anda tidak percaya, silahkan Anda buka situs agen perjalanan, pesan tiket pesawat ke Amerika Serikat, dan saksikan sendiri dengan mata kepala Anda bahwa Amerika Serikat tetap berdiri tegak, meskipun telah dilanda resesi dan krisis ekonomi berkali-kali. Jangan lupa, sebelum Anda melakukan itu, apply dulu visa kunjungan di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta.
Sebaliknya, resesi dan krisis ekonomi yang disebabkan oleh sosialisme di awal dekade 1990-an, setidaknya telah memecah belah 3 negara. Negara-negara tersebut yakni Uni Soviet yang menjadi 15 bagian, Yugoslavia yang pecah menjadi 6 negara, dan Cekoslovakia yang terbagi menjadi 2 negara, yaitu Republik Ceko dan Slovakia.
Menghujat kapitalisme sebagai biang kerok resesi ekonomi seraya menutup mata terhadap resesi dan krisis ekonomi yang disebabkan oleh sosialisme ialah ibarat ada 2 mahasiswa yang sedang melakukan tugas kelompok untuk membuat makalah. Mahasiswa pertama memberi kritik keras kepada mahasiswa kedua, karena bagian makalah yang dikerjakan oleh mahasiswa kedua ada beberapa kesalahan, seperti typo dan sumber data yang kurang lengkap. Akan tetapi, mahasiswa pertama sendiri justru belum mengerjakan bagiannya sama sekali. Seperti kata peribahasa terkenal, gajah di pelupuk mata tak tampak, tetapi semut di seberang lautan tampak.
Dan juga, saya belum membahas krisis dan resesi ekonomi di Venezuela yang terjadi saat ini lho, yang lahir karena kebijakan ekonomi sosialis pemerintah. Silahkan Anda cari di internet infomasi mengenai hal tersebut, agar artikel saya tidak terlalu panjang.
Sosialisme juga bukan sistem yang menjadi sahabat lingkungan. Bencana nuklir Chernobyl di Ukraina tahun 1986 misalnya, ketika negara tersebut masih menjadi bagian Uni Soviet, merupakan bencana nuklir terbesar sepanjang sejarah. Hal tersebut disebabkan struktur reaktor nuklir yang tidak memadai yang dibangun oleh pemerintah Soviet. Berbagai disinformasi yang dilakukan oleh pemerintah Soviet untuk menutupi bencana Chernobyl juga kian memperparah dampak dari musibah tersebut.
Lantas, bila demikian, bagaimana dengan rekam jejak dari ketidaksempuraan kapitalisme? Apakah sistem yang kerap dihujat oleh mereka yang memiliki haluan politik kiri tersebut, telah berhasil membawa kemakmuran dan kesejahteraan?
Lembaga think thank asal Amerika Serikat, The Heritage Foundation misalnya, mengeluarkan laporan indeks tahunan kebebasan ekonomi di berbagai negara. Semakin negara tersebut terbuka pada perdagangan bebas, mempermudah investasi, tidak mempersulit para pelaku usaha untuk melakukan kegiatan ekonomi, memperkecil beban pajak yang dikenakan kepada masyarakat, serta melindungi hak kepemilikan, maka semakin tinggi pula skor kebebasan ekonomi yang diperoleh negara tersebut.
Setelah itu, indeks tersebut diurutkan dari skor tertinggi ke paling rendah, dan dibagi menjadi 5 kategori: bebas (free), sebagian besar bebas (mostly free), cukup bebas (moderately free), sebagian besar tidak bebas (mostly unfree), serta ditindas (repressed).
Dari indeks tersebut, kita bisa membandingkan antara kebebasan ekonomi dengan rata-rata tingkat pendapatan per kapita di negara-negara yang dikelompokkan. Hasilnya, ternyata kebebasan ekonomi berbanding lurus dengan kesejahteraan. Kelompok negara yang berada di peringkat teratas misalnya, atau negara yang ekonominya bebas, memiliki pendapatan per kapita rata-rata USD63.000 per tahun.
Selanjutnya, negara-negara yang kebebasan ekonominya masuk ke kelompok peringkat kedua (mostly free), memiliki rata-rata pendapatan per kapita USD47.000 per tahun. Untuk negara-negara yang cukup bebas USD22.000, dan yang sebagian besar tidak bebas USD7.800. Sementara itu, negara-negara yang berada di tingkat terbawah, yang masuk dalam kategori kebebasan ekonominya ditindas oleh pemerintah, rata-rata pendapatan per kapitanya hanya USD7.700 per tahun (The Heritage Foundation, 2020).
Sudah terbukti secara empiris bahwa ada hubungan linier antara kebebasan ekonomi dengan kesejahteraan. Kapitalisme, dengan segala ketidaksempurnannya, telah membuktikan dirinya sebagai sistem ekonomi yang terbaik yang pernah diciptakan oleh umat manusia.
Sebaliknya, sosialisme, kenyataannya di dunia nyata dan bukan di dalam utopia, tak lebih dari hanya melahirkan kemiskinan, kemelaratan, resesi ekonomi, totalitarianisme, pembunuhan massal, represi kebebasan politik, serta genosida. Maka dari itu, sudah selayaknya kita bersikap skeptis dan waspada terhadap siapapun yang ingin membangkitkan kembali sosialisme dari liang kuburnya.
Referensi
Buku
Courtois, Stéphane; Nicolas Werth, Jean-Louis Panné, Andrzej Paczkowski, Karel Bartošek, and Jean-Louis Margolin. 1999. The Black Book of Communism: Crimes, Terror, & Repression. Translated by Jonathan Murphy, edited by Mark Kramer. Harvard University Press: Cambridge.
Internet
https://www.youtube.com/watch?v=D3N2sNnGwa4 Diakses pada 10 April 2020, pukul 22.25 WIB.
https://www.heritage.org/index/book/chapter-4 Diakses pada 11 April 2020, pukul 18.30 WIB.

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.