“General Secretary Gorbachev, if you seek peace, if you seek prosperity for the Soviet Union and Eastern Europe, if you seek liberalization, come here to this gate. Mr. Gorbachev, open this gate. Mr. Gorbachev, tear down this wall!” – Ronald Reagan.
Pidato monumental tersebut disampaikan oleh Presiden Amerika Serikat, Ronald Reagan, di depan gerbang Brandenburg di Berlin Barat, pada 12 Juni 1987. Dalam pidatonya, Reagan mendorong pemimpin Uni Soviet, Mikhail Gorbachev, untuk membuka Tembok Berlin yang sudah memisahkan Berlin Barat dan Berlin Timur selama lebih dari 25 tahun.
Tembok Berlin merupakan salah satu warisan kejam rezim sosialis yang paling dikenal dunia. Selesai dibangun oleh pemerintah Jerman Timur atas komando Uni Soviet pada tahun 1961, tembok tersebut sudah memisahkan jutaan warga Berlin dengan keluarga dan sahabat-sahabat mereka. Ratusan penduduk Berlin tewas ditembak dalam upaya mereka melarikan diri dengan menerobos tembok tersebut untuk mencari kebebasan.
30 tahun lalu, tepatnya 9 November 1989, Tembok Berlin akhirnya diruntuhkan secara paksa oleh warga Berlin. Peristiwa tersebut menjadi salah satu simbol terpenting dari keruntuhan sosialisme. Cengkraman Uni Soviet di Eropa Timur dan Eropa Tengah akhirnya berakhir, dan negara yang menjadi lawan Amerika Serikat dalam Perang Dingin tersebut akhirnya runtuh dan terpecah belah pada tahun 1991.
Akan tetapi, 3 dekade pasca runtuhnya Uni Soviet dan Tembok Berlin, sosialisme nampaknya perlahan-lahan kembali naik ke permukaan melalui generasi muda, khususnya millenial. Majalah The Economist misalnya, dalam edisi bulan Februari tahun 2019 lalu, mengangkat fenomena ini.
Dalam artikel The Economist yang berjudul “Millenial Socialism”, majalah tersebut mengangkat fenomena naiknya politisi-politisi sosialis di negara-negara Barat, seperti Bernie Sanders dan Alexandria Ocasio-Cortez di Amerika Serikat dan Jeremy Corbyn di Inggris yang mendapat dukungan besar dari kalangan muda. Menurut survei Gallup tahun 2018 yang dikutip oleh The Economist, 51% generasi muda Amerika Serikat usia 18 – 29 tahun memiliki pandangan yang positif terhadap sosialisme.
Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan. Sejarah mencatat secara lengkap jejak berdarah ideologi sosialisme yang telah menyebabkan kematian puluhan juta manusia dan membuat milyaran manusia lainnya hidup dalam kemiskinan dan cengkraman rezim totalitarian.
Sayangnya, banyak generasi muda yang melupakan catatan hitam tersebut. Mereka menganggap, seakan-akan sosialisme merupakan gagasan mulia yang akan membawa kita semua pada surga di dunia.
Catatan Hitam Sosialisme
Karl Marx dalam karyanya yang berjudul “The German Ideology” memaparkan impiannya mengenai masyarakat yang ideal bila kapitalisme dihancurkan. Filsuf Jerman tersebut menulis bahwa manusia niscaya akan terbebas dari berbagai aktivitas dan pekerjaan yang dipaksakan kepada dirinya. Ia akan memiliki kebebasan yang sejati untuk melakukan hal apapun yang ia inginkan.
“Setiap orang tidak akan ada yang hanya memiliki satu aktivitas saja, namun ia dapat melakukan hal-hal apapun yang ia inginkan. Dalam situasi tersebut, masyarakat meregulasi dan menjalankan kegiatan produksi dan memungkinkan seseorang untuk melakukan hal tertentu di hari ini, dan hal lain pada keesokan harinya. Untuk berburu di pagi hari, memancing di siang hari, dan berternak di malam hari, tanpa diharuskan untuk menjadi pemburu, nelayan, atau peternak.” tulis Karl Marx.
Akan tetapi, melalui catatan sejarah, kita mengetahui bahwa impian Marx tersebut hanyalah angan-angan belaka. Negara-negara yang menerapkan sistem sosialisme pada kenyataannya, justru menjadi negara yang paling mengekang aktivitas rakyatnya, dan mengatur seluruh kehidupan mereka dari lahir hingga masuk ke peti mati. Mereka yang menentang keputusan yang diambil oleh pemerintah akan ditangkap, disiksa, dibunuh, dimasukkan ke kamp kerja paksa, atau dipindahkan ke wilayah terpencil.
Lihat saja apa yang terjadi di Uni Soviet dibawah kepemimpinan Stalin misalnya. Pada masa kekuasaan diktator kelahiran Georgia tersebut, lebih dari 50 kamp-kamp kerja paksa, yang dikenal dengan nama gulag, dibangun dan mengurung lebih dari 18 juta warga Soviet. Mereka yang ditahan di dalam gulag sebagian besar adalah kalangan intelektual, para pemilik tanah dan usaha, serta tahanan politik yang berani menyuarakan sikap oposisi atau menentang kekuasaan Stalin.
Di dalam gulag, jutaan warga Soviet dipaksa untuk bekerja dalam kondisi yang sangat memprihatikan. Mereka dipaksa membangun jalan, bendungan, kanal, dan berbagai infrastruktur lainnya. Fasilitas sanitasi yang buruk, makanan yang sedikit, serta waktu kerja yang terlalu panjang membuat jutaan warga Soviet tidak bisa keluar dari kamp tersebut dalam keadaan bernyawa. Setidaknya 1,6 juta warga Soviet kehilangan nyawanya di dalam kamp-kamp kerja paksa tersebut.
Bukannya kebebasan yang didapatkan oleh warga Soviet, namun justru represi dan totalitarianisme yang diluar bayangan terliar kita.
Kamp-kamp kerja paksa bukan hanya satu-satunya catatan hitam sosialisme. Kelaparan dan genosida dalam skala yang sangat mengerikan juga merupakan salah satu warisan keji dari sosialisme.
Kelaparan yang terjadi di Ukrania pada tahun 1932 – 1933 misalnya, ketika Ukraina masih menjadi bagian dari Uni Soviet di bawah kekuasaan Stalin. Kejadian tersebut menyebabkan lebih dari 7 jiwa melayang. Tanah-tanah pertanian di wilayah Ukraina pada masa itu diambil paksa oleh pemerintahan Soviet dan hasil taninya ditimbun untuk dikirim ke luar negeri, demi meningkatkan produksi ekspor Soviet. Siapapun warga Ukraina yang diketahui menyembunyikan bahan pangan di rumah mereka, atau mencoba untuk mengambil makanan dari gudang penyimpanan Soviet akan langsung ditembak di tempat.
Begitu pula yang terjadi di China pada masa Mao Zedong pada periode 1959 – 1961. Pemerintah China pada masa itu mengambil kebijakan untuk merampas tanah-tanah pertanian yang dimiliki oleh masyarakat dan dialihkan menjadi pabrik-pabrik untuk meningkatkan kapasitas industri China. Akibatnya, bahan pangan menjadi langka dan lebih dari 40 juta warga China mati kelaparan.
Lantas, apakah “hanya” itu saja catatan hitam sosialisme? Bagaimana dengan prestasi negara-negara sosialis dari sisi pencapaian ekonomi? Apakah negara-negara tersebut berhasil mengalahkan lawan mereka yang menganut sistem ekonomi pasar?
Untuk melakukan mencari tahu tersebut, tentu kita harus mencari perbandingan yang setara dan apple to apple. Kita tidak bisa membandingkan negara yang laju perekonomiannya sudah tumbuh lebih awal dengan negara yang baru merdeka puluhan tahun setelahnya.
Perbandingan tersebut bisa kita lihat dari perbedaan laju pertumbuhan antara Jerman Barat dan Jerman Timur. Jerman pada tahun 1945 hancur lebur karena kalah dalam Perang Dunia II dan dibagi menjadi dua bagian. Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya menguasai Jerman bagian Barat yang menerapkan sistem ekonomi pasar, sementara Uni Soviet menguasai Jerman bagian timur yang menerapkan sistem ekonomi sosialis.
Hasilnya ternayat sangat signifikan. Selain perbedaan kontras antara masyarakat Jerman Barat yang memiliki kebebasan politik yang tidak dimiliki saudara-saudara mereka di wilayah Timur, kesejahteraan warga Jerman Barat juga berbeda drastis dari Jerman Timur.
Berdasarkan data dari Organisasi untuk Kooperasi dan Pembangunan Ekonomi (Organisation for Economic Co-operation and Development / OECD), Jerman Barat mengalami peningkatan pendapatan per kapita yang sangat pesat. Pada tahun 1950, pendapatan per kapita kedua negara tersebut relatif sama sebesar US$ 2.000 per tahun. Pasca keruntuhan Tembok Berlin di tahun 1989, pendapatan per kapita Jerman Barat meningkat pesat sampai di atas US$ 18.000, sementara Jerman Timur tidak sampai US$ 9.000.[1]
Bagitu pula dengan perbandingan antara Korea Utara yang menerapkan sosialisme, dan Korea Selatan yang mengadopsi sistem ekonomi pasar. Pada tahun 1953, kedua negara tersebut hancur lebur karena perang, dan semenanjung Korea merupakan salah satu wilayah termiskin di dunia.
Akan tetapi, pada tahun 2019 lalu, pendapatan per kapita Korea Selatan meningkat pesat menjadi US$ 31.000 per tahun, sementara Korea Utara hanya US$ 1.300. Belum lagi, masyarakat Korea Utara dipaksa harus hidup di bawah kekuasaan totalitarianisme keluarga Kim dan ancaman kamp kerja paksa. Sementara, saudara-saudara mereka di Korea Selatan hidup di dalam alam demokrasi dan memiliki kebebasan politik.
Sosialisme dan Skandinavia
Bantahan yang sering diucapkan para pengusung sosialisme ketika dihadapkan dengan catatatan-catatan hitam tersebut adalah, itu bukan sosialisme yang mereka maksud. Mereka selalu mengatakan bahwa ketika mengatakan sosialisme, yang dijadikan acuan adalah negara-negara kesejahteraan seperti negara-negara Skandinavia, dan bukan Uni Soviet, China, Korea Utara, atau Jerman Timur.
Akan tetapi, sanggahan seperti ini jelas merupakan sesuatu yang tidak jujur dan mengada-ada. Sistem ekonomi yang diterapkan oleh negara-negara kesejahteraan di Eropa adalah sistem ekonomi pasar yang sangat terbuka dengan kewirausahawan dan kompetisi, yang mana hal tersebut merupakan antitesis dari sosialisme.
Memang harus diakui bahwa negara-negara Skandinavia memberikan pelayanan sosial yang besar bagi warganya, seperti fasilitas kesehatan dan pendidikan. Akan tetapi, yang penting untuk diingat adalah, semua fasilitas tersebut dapat berjalan karena ditopang oleh sistem ekonomi pasar yang bebas dan terbuka, dan bukan oleh sistem ekonomi terpusat dimana negara menguasai seluruh sumber daya ekonomi seperti di negara-negara sosialis.
Pada tahun 2015, mantan Perdana Menteri Denmark, Lars Lokke Rasmussen, mengatakan bahwa negaranya bukanlah negara sosialis, seperti yang sering digaungkan oleh politisi-politisi kiri di Amerika Serikat, salah satunya Bernie Sanders. Rasmussen mengatakan, Denmark merupakan negara kesejahteraan yang menganut sistem ekonomi pasar bebas yang terbuka.[2]
Lembaga think tank The Heritage Foundation misalnya, dalam laporan tahunannya mengenai kebebasan ekonomi selalu menempatkan negara-negara Skandinavia seperti Islandia, Denmark dan Swedia pada posisi atas atau kategori bebas. Begitu pula dengan negara-negara kesejahteraan Eropa lainnya seperti Irlandia, Belanda, dan Swiss.
Swedia misalnya, dicatat oleh The Heritage Foundation sebagai negara yang memiliki perlindungan hak milik yang sangat kuat. Regulasi yang diterapkan oleh Swedia juga sangat efisien untuk mendorong kewirausahawan. Selain itu, Swedia juga memberlakukan kebijakan perdagangan bebas yang sangat terbuka, di mana kegiatan impor dan ekspor dapat dilakukan dengan mudah. Catatan yang sama juga berlaku untuk Denmark, Belanda, dan negara-negara kesejahteraan Eropa lainnya. Hal ini tentu merupakan sesuatu yang sangat bertentangan dengan sosialisme.
Sosialisme terbukti merupakan sistem usang yang telah gagal membawa kebebasan dan kesejahteraan, sebagaimana yang diimpikan oleh Marx. Sistem tersebut tak lebih hanya membawa kemelaratan, kemiskinan, penderitaan, dan totalitarianisme. Sudah seharusnya para generasi muda di seluruh dunia mengambil pelajaran dari peristiwa tersebut, agar hal mengerikan di waktu lampau tidak kembali terulang di masa depan.
Sumber:
[1] https://fee.org/articles/comparing-the-economic-growth-of-east-germany-to-west-germany-a-history-lesson/ (Diakses pada 17/01/2020 pukul 18.00 WIB)
[2] https://www.thelocal.dk/20151101/danish-pm-in-us-denmark-is-not-socialist (Diakses pada 17/01/2020 pukul 21.00 WIB)

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.