Sosialisme dan Disinformasi

812

Pada 26 April 1986, dunia menyaksikan terjadinya salah satu bencana nuklir paling buruk dalam sejarah. Reaktor nuklir no. 4 di Pembangkit Listrik Nuklir Chernobyl, yang berada di wilayah Pripyat, Ukraina, tiba-tiba meledak. Hal tersebut terjadi ketika para teknisi di pembangkit listrik tersebut sedang melakukan tes keamanan.

Tes tersebut dilakukan untuk menguji sistem pendingin cadangan yang berada di reaktor no. 4. Namun, karena struktur reaktor yang tidak memadai, pengujian tersebut berakibat fatal. Sistem pendingin cadangan tidak bekerja, dan reaktor justru semakin memanas dan menimbulkan efek fisi nuklir yang tidak terkendali sehingga menimbulkan ledakan. Ledakan tersebut mengeluarkan setidaknya 8 ton radiasi nuklir yang menyebar hingga ribuan kilometer ke berbagai wilayah di Eropa.

Setidaknya, 31 teknisi dan pemadam kebakaran meninggal karena dampak langsung dari ledakan tersebut (PBS, 2019). Sebagian besar dari mereka kehilangan nyawa terkena radiasi nuklir dalam jumlah yang sangat tinggi, dan sebagian lainnya langsung meninggal di tempat kejadian ketika ledakan terjadi.

Akan tetapi, langkah selanjutnya yang diambil oleh Pemerintah Soviet, bukan langsung memberi informasi penting tersebut kepada publik. Para petinggi Partai Komunis justru memutuskan untuk menutup informasi mengenai bencana dan dampak dari radiasi nuklir tersebut, demi menjaga nama baik Uni Soviet sebagai kekuatan adidaya dan negara terdepan dalam kemajuan teknologi.

Sebagaimana negara-negara sosialis lain, seluruh sumber daya di Uni Soviet dikuasai oleh negara, termasuk media massa. Dengan demikian, para petinggi partai bisa dengan mudah mengendalikan informasi yang dapat keluar dan diketahui oleh publik.

Pemerintah Soviet misalnya, tidak memberi peringatan terhadap warga Ukraina akan bahaya radiasi nuklir Chernobyl yang terkandung di dalam udara yang mereka hirup, yang dibawa oleh angin. Perayaan Hari Buruh Internasional pada 1 Mei 1986 di ibukota Ukraina, Kiev, misalnya, tetap dilaksanakan. Ilmuwan asal Kanada, Ian Fairlie, yang pada tahun 2006 ditugaskan oleh Parlemen Uni Eropa untuk meneliti dampak dari bencana Chernobyl, memberi estimasi korban tidak langsung dari radiasi Chernobyl yang meninggal berkisar antara 30.000 – 60.000 yang tersebar di seluruh Benua Eropa (Nature, 2006).

Lebih dari 3 dekade setelah bencana Chernobyl, tepatnya di akhir bulan Desember tahun 2019, dunia kembali terkena dampak mematikan dari kebijakan disinformasi yang dilakukan oleh rezim sosialis yang otoritarian. Suatu varian baru dari virus Corona muncul di pasar tradisional di kota Wuhan, China. Hanya dalam waktu empat bulan, virus tersebut langsung tersebar ke lebih dari 200 negara dan teritori, menginfeksi lebih dari 3 juta orang, dan mematikan aktivitas sehari-hari miliaran penduduk dunia.

Sebagaimana Uni Soviet, China merupakan negara sosialis yang otoritarian dan dikuasai oleh 1 partai, yakni Partai Komunis China (PKC). Seluruh jaringan informasi, baik media massa maupun media sosial, dikontrol ketat oleh pemerintah. Tidak ada satupun informasi yang dapat tersebar ke publik tanpa izin dari petinggi partai komunis. Mereka yang melanggar hal tersebut harus siap menerima hukuman yang sangat keras.

Seperti Pemerintah Soviet yang awalnya tidak mengakui dan bahkan menutup-nutupi bencana Chernobyl, China sendiri awalnya juga tidak mengakui munculnya varian baru dari virus Corona yang dapat bertransmisi antar manusia hingga 20 Januari 2020. Tidak hanya itu saja, Pemerintah China juga menangkap berbagai ilmuwan dan tenaga medis yang berupaya memberi informasi kepada publik.

Salah satu tenaga medis tersebut adalah dokter muda bernama Li Wenliang, yang bekerja di Rumah Sakit Wuhan. Pada bulan Desember 2019, Dr. Li memberi peringatan kepada koleganya tentang munculnya penyakit baru yang menyerupai SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome), yang saat ini dinamai Covid-19, melalui media sosial China, Weibo.

Atas tindakannya tersebut, Dr. Li ditangkap oleh aparat keamanan China atas tuduhan menyebarkan informasi palsu melalui internet. Dr. Li sendiri akhirnya meninggal dunia pada 7 Februari 2020 karena terkena virus Corona pada usia 33 tahun.

Upaya Pemerintah China untuk menutupi penyebaran virus Corona tidak hanya melalui penangkapan terhadap ilmuwan dan tenaga medis. Laboratorium di Pusat Klinik Kesehatan Publik di kota Shanghai (Shanghai Public Health Clinical Center), yang merupakan laboratorium pertama di dunia yang mempublikasikan susunan genom dari virus Corona, ditutup paksa oleh Pemerintah China pada 12 Januari 2020 (Inkstonenews.com, 2020).

Dunia saat ini menjadi korban dari praktik disinformasi yang dilakukan oleh Partai Komunis China atas persebaran virus Corona, sebagaimana para penduduk Eropa menjadi korban disinformasi Pemerintah Soviet atas bencana Chernobyl di tahun 1986. Berbagai negara, seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, saat ini sedang berada di ambang jurang resesi karena aktivitas ekonomi menjadi terhambat. Jutaan pekerja terancam kehilangan mata pencaharian dan ribuan perusahaan terancam berhenti beraktivitas.

Itu baru bencana ekonomi, dan belum bencana kemanusiaan yang tentunya jauh lebih memprihatinkan. Setidaknya, sudah ada lebih dari 220.000 orang kehilangan nyawa akibat dari pandemik Covid-19. Mereka berasal dari berbagai latar belakang, baik usia mudah dan usia lanjut, kalangan pekerja dan menengah ke atas. Selain itu, tak sedikit pula tenaga medis yang meninggal karena mempertaruhkan nyawa mereka demi menyelamatkan jiwa orang lain.

Lantas, mengapa disinformasi merupakan hal yang tak sulit dilakukan di negara-negara sosialis, seperti China dan Uni Soviet? Mengapa para petinggi partai di negara-negara tersebut bisa dengan mudah memberi memberi informasi palsu kepada warganya?

Hal ini disebabkan oleh sesuatu yang inheren dari sistem sosialis itu sendiri, di mana seluruh sumber daya dikuasai oleh negara melalui kolektivisasi. Ketika negara menguasai seluruh sumber daya, salah satunya sumber informasi seperti media massa, maka pengetahuan apapun yang dapat diperoleh oleh masyarakat berada di bawah kontrol para petinggi partai.

Ketika negara menguasai seluruh sumber daya, maka tidak akan ada lagi elemen masyarakat yang independen, baik itu institusi media, organisasi masyarakat, atau lembaga ilmu pengetahuan. Tidak ada pihak yang dapat memberi pelayanan publik dalam bentuk kritik kepada pemerintah, atau membongkar kebohongan yang diucapkan oleh penguasa, karena seluruh elemen mayarakat hidup di bawah belas kasihan pemerintah.

Praktik disinformasi ini menjadi sangat berbahaya ketika muncul bencana yang dapat mengancam keselamatan jiwa ribuan hingga jutaan orang, seperti bencana nuklir atau pandemik penyakit. Ketika infomasi mengenai bencana tersebut ditutup-tutupi, atau publik diberikan informasi palsu, hanya demi menyelamatkan nama baik penguasa, maka kebijakan untuk memitigasi dampak negatif dari bencana tersebut musthil dapat dilakukan.

Selain itu, ketika masyarakat tidak mendapatkan informasi yang benar, tentu mereka tidak akan dapat melakukan tindakan pencegahan yang tepat untuk menyelamatkan nyawa mereka. Hal tersebut tentu akan kian memperparah korban jiwa yang jatuh akibat bencana tersebut.

Transparansi pemerintah hanya dimungkinkan bila ada elemen masyarakat yang independen, yang memberi kritik dan kontrol terhadap mereka yang memiliki wewenang untuk berkuasa. Dan elemen masyarakat yang independen hanya bisa hadir bila mereka memiliki sumber daya yang memadai, yang memungkinkan elemen masyarakat tersebut untuk melakukan kritik dan kontrol terhadap para pejabat negara.

Itulah mengapa, negara-negara sosialis di seluruh dunia selalu penuh dengan kerahasiaan dan tertutupnya informasi. Karena melalui hal tersebut, para penguasa dapat melakukan kontrol penuh terhadap masyarakat yang hidup di bawah cengkraman mereka.