Solusi Pasar Untuk Krisis Vaksin?

682

Beberapawaktulalu, media massa dibanjiri pemberitaan mengenai beredarnya vaksin palsu.Padaawalnya, pihak kepolisian menerima laporan dari masyarakat yang mengaku balita mereka kerap sakit meski sudah mendapatkan vaksinasi. Berangkat dari laporan tersebut, pihak kepolisian melakukan penyelidikan. Informasi dari pelapor mengantarkan penyidik pada Apotek AM yang terletak di Bekasi, Jawa Barat di mana J (salah satu distributor) ditahan pada 16 Mei 2016 lalu. Penyelidikan berlanjut hingga belasan orang ikut ditahan, termasuk produsen, distributor, dokter, perawat, dan pengelola fasilitas kesehatan yang terlibat dalam peredaran vaksin palsu.

Sejak penangkapan tersebut, pemberitaan mengenai peredaran vaksin palsu terus merebak. Banyak pihak yang turut memberikan tanggapan. Nursuhud, anggota Komisi IX DPR RI, mendesak agar Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes Maura Linda Sitanggang mundur dari jabatannya. Nursuhud menganggap Maura telah melakukan pembiaran terhadap kasus ini. Beberapa NGO pun bersuara, antara lain KontraS dan YLBHI. Sebagaimana dirilis di laman kontras.org, mereka mengatakan bahwa kejahatan ini merupakan bentuk kejahatan yang melanggar hak yang dijamin dalamPasal 28 H ayat (1) UUD 1945 dan oleh karenanya mendesak pemerintah untuk menindak tegas masalah ini.

Vaksin Palsu Tidak Berbahaya

Pihak Kementerian Kesehatan RI menyampaikan bahwa vaksin palsu ini mengandung campuran cairan infuse dan gentacimin (obatantibiotik) yang mana dosisnya hanya mencapai 0,5 cc per imunisasi sehingga relatif tidak membahayakan. Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aman Bhakti Pulungan turut menegaskan bahwa temuan vaksin palsu tidak berbahaya, demikian pula halnya dengan vaksinasi ulang. Lebih jauh lagi menyoal kulit memerah atau terjadi pembengkakan, Soedjatmiko (Pengurus IDAI) menyampaikan bahwa hal serupa dapat terjadi ketika menggunakan vaksin asli. Hal itu wajar terjadi, termasuk apabila muncul bisul hingga keluar nanah.

Namun, Direktur Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) Marius Widjajarta mengklaim vaksin palsu berbahaya bagi tubuh.Menurut Marius, apabila industri vaksin palsu ini sudah beroperasi selama 13 tahun, maka korbannya tentu sudah mencapai puluhan juta jiwa. Apabila pembuatannya tidak steril yang paling ringan dapat menimbulkan demam. Dalam kondisi lainnya tidak menutup kemungkinan dapat menimbulkan kematian.Padahal, sampai saat ini belum ditemukan tanda-tanda adanya bahaya apalagi kematian yang timbul akibat terpapar vaksin palsu.

Palsu Politis vs Palsu Medis

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 42 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Imunisasi, sarana kesehatan hanya bisa mengambil vaksin dari jalur resmi. Maksudnya, dari produsen dan distributor vaksin yang sudah terdaftar, yakni Sanofi dan Bio Farma. Sanofi sendiri adalah salah satu perusahaan farmasi terbesar dunia yang berasal dari Perancis, sementara Bio Farma merupakan perusahaan milik negara (BUMN). Berdasarkan peraturan tersebut, seluruh penyedia vaksin tidak resmi(di luar Sanofi dan Bio Farma) dapat ‘dianggap’ sebagai penyedia vaksin palsu.

Setelah diadakan penyelidikan terhadap peredaran vaksin palsu, Menkes Nila Djuwita Anfasa Moeloek dan tim dari Kemenkes mencatat terdapat 37 fasilitas kesehatan yang membeli vaksin dari distributor tidak resmi. Dari 39 sampel vaksin yang didapat dari distributor tidak resmi tersebut, 35 diantaranya memiliki kandungan yang sama dengan vaksin dari distributor resmi. Sampel inilah yang masuk dalam kategori palsu politis, yakni palsu karena tidak datang dari perusahaan yang diistimewakan negara. Sementara 4 lainnya, yang memang tergolong palsu medis, dinyatakan memiliki kandungan berbeda dari vaksin asli, namun tetap tidak berbahaya.

Keterbatasan Distributor Resmi Menjadi Masalah

Produsen dan distributor vaksin palsu mencari peluang di saat rumah sakit dan klinik kekurangan stok vaksin dari distributor resmi. Dokter dari RS Karya Media, salah satunya, mengaku memilih untuk mengambil vaksin dari distributor tidak resmi ketika stok dari distributor resmi habis. Dokter dari RS Harapan Bunda juga menyampaikan hal yang sama. Ketika ia memilih membeli vaksind ari S (penjual), kondisinya terdapat anak yang ingin melakukan vaksinasi. Namun, stok dari distributor resmi sedang kosong. Ia mengatakan bahwa dirinya tidak tahu vaksin tersebut palsu, bahkan ia juga memberikanvaksin yang sama kepada anggota keluarganya. Hal ini diketahui juga oleh pihak RS.

Hal ini tentu tidak terhindarkan mengingat negara hanya mengistimewakan dua distributor untuk dapat memenuhi demand yang ada. Sementara jumlah balita di Indonesia tidaksedikit. Dalam hal ini, tampak bahwa pemerintah melakukan monopoli pasar dengan mengistimewakan perusahaan negara dan perusahaan swasta tertentu. Sementara, permasalahan kelangkaan tidak dapat ditangani dengan baik. Akhirnya, tidak heran jika yang muncul kemudian adalah vaksin oplosan. Seharusnya pemerintah memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh perusahaan farmasi untuk berupaya menyediakan supply terbaik dalam iklim kompetisi yang sehat. Negara tetap dapat campur tangan dengan memberikan lisensi dan pengujian mutu berkala.

Liberalisasi Produksi dan Distribusi Vaksin Perlu Dilakukan

Dari fakta-fakta di atas, akar masalah sengkarut vaksin ini adalah duopoli (monopoli yang hanya boleh dilakukan oleh dua perusahaan) dalam distribusi vaksin resmi dan akibatnya menciptakan krisis vaksin di banyak rumah sakit di Indonesia.

Oleh beberapa kalangan, pemerintah perlu mempertimbangkan untuk membuka kesempatan bagi perusahaan-perusahaan lain yang mampu memproduksi vaksin agar bisa memenuhi permintaan rumah sakit. Fakta yang diungkapkan oleh IDI dan Kementerian Kesehatan bahwa vaksin palsu yang selama ini beredar di masyarakat tidak berbahaya menggambarkan  bahwa terdapat perusahaan-perusahaan lain yang mampu memproduksi vaksin tetapi terhalang peraturan. Apabila sistem duopoli ini tidak dibuka, maka dikhawatirkan krisis vaksin akan selalu terjadi di banyak rumah sakit dan memaksa pengelola mengabil vaksin yang tidak resmi. Risiko ini bisa dicegah dengan membuka produksi dan penjualan vaksin dari perusahaan-perusahaan lain, tentunya, dengan menetapkan lisensi dan pengawasan produksi layaknya industri dan bisnis obat-obatan lain di Indonesia.