Artikel Dasar Libertarianisme kali ini akan mengangkat tentang sistem harga dan keadilan distributif. Suara Kebebasan mengambil pembahasan mengenai hal ini dari artikel “The Price System and Distributive Justice” oleh Steven Horwitz di Libertarianism.org*, yang membahas mengenai sistem harga di dalam ekonomi pasar.
Horwitz mengawali artikelnya dengan memaparkan bahwa, salah satu kritik yang paling umum terhadap pasar adalah pada aspek alokasi barang terhadap harga yang dianggap sebagai sesuatu yang tidak adil. Mengapa alokasi suatu barang diberikan kepada seseorang yang bersedia atau memiliki kemampuan untuk membayar harga dari barang tersebut? Bukankah akan lebih baik bila kita merancang sistem di mana alokasi suatu barang ditentukan berdasarkan kebutuhan seseorang atas barang tersebut?
Horwitz mengatakan bahwa, alokasi barang berdasarkan harga di dalam sistem pasar adalah sesuatu yang tidak sempurna. Memang ada banyak kekurangan dari sistem pasar untuk mengalokasikan barang dan jasa. Meskipun demikian, sistem pasar memiliki keuntungan yang tidak dimiliki oleh berbagai sistem lainnya.
Alokasi barang dan jasa berdasarkan kebutuhan misalnya, mungkin merupakan sesuatu yang terdengar baik dan superior dibandingkan dengan alokasi barang dan jasa dengan menggunakan mekanisme pasar.
Namun, bagaimana cara kita menentukan “kebutuhan” dari seseorang? Berapa banyak birokrasi dan “experts” yang dibutuhkan untuk menentukan apa yang “dibutuhkan” oleh seseorang, dan bagaimana dengan resiko nepotisme di mana “experts” tersebut hanya memberikan barang yang dianggap “dibutuhkan” oleh masyarakat kepada orang-orang terdeat mereka?
Persoalan diatas merupakan permasalahan yang nyata, dan telah terjadi di berbagai negara yang menerapkan sistem alokasi yang tidak menggunakan mekanisme pasar, seperti di negara-negara sosialis. Akibatnya, hanya segelintir orang-orang saja yang dapat menikmati barang-barang tertentu, terutama mereka yang dekat dengan kekuasaan.
Horwitz memaparkan bahwa, sistem lain yang mengalokasikan barang selain dengan menggunakan mekanisme pasar, hanya berfokus pada bagaimana cara mengalokasikan barang tersebut. Mereka seakan mengabaikan persoalan lain yang jauh lebih penting, yakni bagaimana barang tersebut dapat muncul dan dibuat untuk pertama kalinya?
Seluruh sistem alokasi barang yang tidak menggunakan mekanisme pasar menganggap bahwa hasil produksi dalam bantuk berbagai barang adalah sesuatu yang terberi. Oleh karena itu, mereka yang menolak alokasi barang melalui mekanisme pasar akan selalu memfokuskan argumen mereka pada bagaimana cara untuk mengalokasikan hasil produksi tersebut dengan cara yang menurut mereka “adil”, dan tidak memikirkan bagaimana cara barang yang ingin dialokasikan tersebut dapat diproduksi.
Keuntungan dari alokasi barang berdasarkan harga oleh mekanisme pasar adalah, melalui perubahan naik-turunnya harga, fenomena tersebut memberi sinyal dan insentif kepada produsen mengenai barang apa yang harus mereka produksi. Hal ini dikarenakan, dalam sistem alokasi barang berdasarkan harga oleh mekanisme pasar adalah, ada insentif bagi seorang produsen untuk memproduksi suatu barang, di mana ia bisa mendapatkan harga yang ia anggap sesuai dengan usaha yang produsen tersebut lakukan dari barang yang ia produksi.
Kegiatan produksi ini, agar dapat efisien, tidak bisa terjadi begitu saja. Produsen yang memproduksi barang tersebut memutuhkan informasi tentang barang apa yang diinginkan oleh konsumen, dan bagaimana cara terbaik untuk memproduksi barang tersebut.
Bila harga suatu barang di suatu wilayah meningkat, maka fenomena ini merupakan sinyal bagi para produsen untuk semakin banyak memproduksi barang tersebut, karena semakin banyak konsumen yang membutuhkan dan menginginkan barang yang dimaksud. Dengan demikian, akan semakin banyak barang yang tersedia di pasar, dan harga akan kembali menurun.
Sebaliknya, bila harga suatu barang mengalami penurunan, maka hal tersebut adalah sinyal bagi para produsen untuk mengurangi atau berhenti memproduksi barang tersebut karena peminatnya semakin menurun,. Dengan demikian, produsen tersebut dapat menggunakan sumber daya dan modal yang ia miliki untuk memproduksi barang lain yang lebih dibutuhkan dan diinginkan oleh konsumen.
Sinyal dari harga yang memberikan informasi kepada produsen inilah dalam yang tidak didapatkan dari berbagai sistem yang mengalokasikan barang tidak dengan melalui mekanisme pasar. Dalam sistem yang tidak menggunakan mekanisme pasar untuk mengalokasikan hasil produksi, maka produsen tidak akan mendapatkan informasi yang tepat mengenai barang apa yang dibutuhkan dan diinginkan oleh konsumen, dan apakah saat ini ada lebih banyak atau lebih sedikit konsumen yang menginginkan barang tersebut. Dengan demikian, kegiatan produksi secara efisien akan sangat sulit, bila tidak mustahil, untuk dilakukan.
Sebagai penutup, Horwitz mengatakan, meskipun kita mengakui dan sudah terbukti mekanisme pasar adalah cara yang terbaik untuk mengalokasikan hasil produksi, kita harus mengakui bahwa mekanisme tersebut adalah sesuatu yang tidak sempurna. Memang benar, bahwa alokasi barang dengan menggunakan mekanisme pasar akan memberikan kesempatan yang lebih besar bagi mereka yang memiliki banyak uang untuk mendapatkan akses terhadap barang tersebut.
Namun, ketidaksempurnaan tersebut juga harus dibandingkan dengan berbagai keuntugan dan kelebihan yang dimiliki oleh sistem alokasi barang berdasarkan mekanisme pasar dengan sistem lainnya. Sistem alokasi barang berdasarkan mekanisme pasar, dengan segala ketidaksempurnaannya, sudah terbukti merupakan sistem yang paling efisien dan telah mampu memberi insentif bagi banyak produsen untuk berinovasi dan membuat produk-produk dengan kualitas terbaik, yang tentunya akan memberi manfaat bagi banyak orang.
*Artikel ini diambil dari tulisan Steve Horwitz yang berjudul “The Price System and Distributive Justice.” Link artikel: https://www.libertarianism.org/articles/price-system-and-distributive-justice Diakses pada 7 Februari 2021, pukul 21.10 WIB.

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.