Kris Wu, mantan personel boyband EXO, dituding telah memperkosa 30 perempuan yang diantaranya masih di bawah umur. Tudingan itu diutarakan oleh seorang perempuan Tiongkok bernama Du Meizhu yang mengklaim sebagai mantan kekasih Kris (allkpop.com, 23/7/2021).
Tuduhan muncul ketika seorang remaja China berusia 18 tahun bernama Du Meizhu menuduh Wu memperkosanya dan wanita muda lainnya. Du memposting hal tersebut dan melakukan wawancara dengan Netease. Portal itu menceritakan bagaimana Du Meizhu mengatakan pertama kali bertemu dengan Wu ketika dia berusia 17 tahun, diundang ke rumah Wu oleh agensinya dengan iming-iming karir akting yang cemerlang (allkpop.com, 23/7/2021).
Kris Wu menolak semua tuduhan itu. Ia mengaku tidak pernah melakukan hal-hal seperti memikat seseorang dan melakukan pemerkosaan. “Hal yang sama berlaku untuk gadis di bawah umur. Jika saya melakukan hal seperti ini, saya akan menyerahkan diri ke penjara. Saya akan bertanggung jawab secara hukum atas kata-kata saya di sini,” kata Kris (allkpop.com, 23/7/2021).
Sisi Gelap Industri Hiburan
Dikutip dari Bloomberg, Park Hye-young dari Seoul Sunflower Center, sebuah lembaga yang memberikan advokasi pada korban pelecehan seksual, menyebutkan bahwa perempuan di Korea Selatan memang rentan terhadap serangan dan pelecehan seksual. Bentuknya bisa bermacam ragam, mulai dari pemerkosaan hingga kamera mata-mata yang dalam bahasa lokal dikenal sebagai molka (bloomberg.com, 6/11/2019).
Hal ini bisa dilakukan atau menimpa siapa saja. Baik itu warga biasa atau pesohor. Sayangnya, perempuan yang kebanyakan jadi korban tak memiliki banyak ruang untuk berbicara, mengadukan kejadian tak mengenakkan yang menimpanya. “Wanita yang membuat tuduhan publik sering dituntut karena pencemaran nama baik,” kata Park (bloomberg.com, 6/11/2019).
Selain itu, alkohol kadang-kadang disebut sebagai faktor yang meringankan di pengadilan. Bahkan, beberapa terdakwa berhasil memperdebatkan pengurangan hukuman karena mereka mabuk pada saat penyerangan seksual dilakukan.
”Sementara untuk korban, mereka seolah menjadi pihak yang bersalah. Mereka ditanya ‘Mengapa kamu berpakaian seperti itu?’ atau ‘Mengapa kamu tidak melarikan diri?’ masih merupakan hambatan besar bagi perempuan untuk mengambil tindakan,” ucap Park (bloomberg.com, 6/11/2019).
Pertanyaan-pertanyaan seperti, “Kenapa baru ngomong sekarang?” atau “Kok barengan sama korban lain?” ini sering saya dengar. Pertama, berbicara tentang pengalaman traumatis butuh waktu yang lama untuk benar-benar siap. Kedua, speak up tentang pelecehan itu memberikan efek domino, satu korban yang berani akan memberdayakan korban-korban lainnya, seperti gerakan #MeToo.
Bukan hanya di Korea, kasus ‘gelap’ industri hiburan ini juga marak terjadi di negara lain. Gwyneth Paltrow menjadi salah satu nama selebriti yang mencuat sehubungan isu ini. Paltrow yang sempat meraih Oscar atas perannya di film “Shakespeare in Love” (1999), memberikan testimoni atas pelecehan yang diterimanya dari Harvey Weinstein, produser yang memakai jasanya untuk film “Emma” (1996) (nytimes.com, 10/10/2017).
Di Indonesia sendiri, menurut Catatan Tahunan (CATAHU) 2020 Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, tercatat 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan, yang terdiri dari 421.752 kasus bersumber dari data kasus yang ditangani Pengadilan Agama, 14.719 kasus yang melibatkan lembaga mitra pengadaan layanan yang tersebar di provinsi di Indonesia, dan 1419 kasus dari Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR), unit yang yang sengaja diangkat oleh Komnas Perempuan untuk menerima pengaduan korban yang datang langsung juga dipanggil ke Komnas Perempuan. Dari 1419 pengaduan tersebut, 1.277 merupakan kasus berbasis gender dan tidak berdasarkan jenis kelamin 142 kasus (news.unair.ac.id).
Pelecehan seksual, di mana pun kejadiannya, membawa pengaruh negatif dalam kehidupan yang dijalani seseorang setelah ia menerimanya. Namun, pelecehan seksual yang terjadi di tempat kerja bisa jadi membawa kepelikan lebih karena adanya relasi kuasa antara pelaku dan korban yang tak melulu dapat diputus seketika. Khususnya di dunia kerja, dampak pelecehan seksual bisa dirasakan baik oleh korban maupun perusahaan. Korban dapat merasa terhina, malu, bersalah, dan terintimidasi.
Hal ini dapat terjadi karena mau tidak mau bertemu dengan karyawan lain atau atasan yang melecehkannya. Efek berikutnya, korban pun mengalami penurunan motivasi kerja. Sering absen ke kantor dan menemukan gangguan dalam kehidupan keluarga juga merupakan dampak-dampak negatif lain yang terjadi pada korban.
Sementara dari sisi perusahaan, pelecehan seksual berimbas pada berkurangnya produktivitas korban, yang pada akhirnya menimbulkan efek domino terhadap profit perusahaan. Karyawan yang menjadi korban pelecehan seksual juga berkemungkinan mengundurkan diri.
Dari beragam kasus di atas, jelas terlihat bahwa siapapun bisa menjadi korban, termasuk ‘perempuan malam’. Setiap orang yang datang ke klub misalnya, mereka datang bukan untuk dilecehkan. Namun, bila terjadi pemaksaan, jelas itu namanya pelecehan.
Menilik dari kasus kekerasan atau pelecehan seksual yang terus naik, hal ini menjadi satu dari banyak alasan untuk segera mengesahkan RUU PKS. Alasan lain yang juga amat penting: KUHP tak bisa mencakup semua jenis kekerasan seksual. Di KUHP, kekerasan seksual hanya terbagi jadi dua jenis: perkosaan dan pencabulan. Itupun belum sepenuhnya menjamin hak dan perlindungan pada korban. Di KUHP juga tidak ada pasal yang mengatur tentang unsur ancaman atau relasi kuasa.
RUU PKS lebih detail dalam menjabarkan tindakan kekerasan seksual, dengan menguraikan secara jelas definisi 9 kekerasan seksual. Selain itu, RUU PKS juga punya aspek yang memihak korban, serta mengatur tindak hukuman pidana yang lebih luas dan berat bagi pelaku. Contohnya, akan ada pemidanaan terhadap korporasi, pidana tambahan berupa restitusi, pidana tambahan berupa pencabutan hak politik, dan juga pencabutan hak asuh. Semuanya itu tak ada dalam KUHP. Hingga saat ini, belum ada perubahan signifikan pada kerawanan kekerasan seksual, termasuk di industri hiburan.
Sebagai penutup, perilaku selebriti pria dan citra perempuan yang dipromosikan industri hiburan masih memiliki potensi untuk berulangnya kejadian serupa. Ditambah lagi, kurangnya kesadaran akan seksisme, ketidakjelasan prosedur melaporkan perilaku buruk seperti kata-kata kasar, perilaku dan gestur merendahkan gender, sentuhan tidak diinginkan, dan menunjukkan visual porno, ketiadaan saksi saat kejadian, serta konsekuensi besar yang harus dihadapi, yang membuat pelecehan seksual di tempat kerja pun menjadi kasus pelik yang masih harus menempuh perjalanan panjang untuk dituntaskan.
Referensi
https://www.allkpop.com/article/2021/07/beijing-police-reveal-initial-findings-in-kris-wus-rape-investigation-confirm-that-women-were-invited-to-wus-home-under-pretense-of-mv-casting Diakses pada, 26 Juli 2021, pukul 19.00 WIB.
https://www.bloomberg.com/news/features/2019-11-06/k-pop-s-dark-side-assault-prostitution-suicide-and-spycams Diakses pada 26 Juli 2021, pukul 19.00 WIB.
https://www.nytimes.com/2017/10/10/us/gwyneth-paltrow-angelina-jolie-harvey-weinstein.html Diakses pada 27 Juli 2021, pukul 23.00 WIB.
http://news.unair.ac.id/2020/08/05/sudah-darurat-pelecehan-seksual-harus-dibasmi/ Diakses pada 27 Juli 2021, pukul 23.00 WIB.

Samuella Christy adalah mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia yang aktif menulis mengenai isu-isu politik, sosial, dan budaya. Dapat dihubungi di samuellachristy3005@gmail.com.