Che Guevara merupakan salah satu figur yang paling dihormati oleh banyak kelompok kiri. Ia dianggap sebagai simbol perlawanan melawan ketidakadilan dan perjuangan untuk meraih kebebasan. Fotonya yang diambil oleh fotografer Alberto Korda, yang dinamai Guerrillero Heroico (pahlawan gerilya), merupakan salah satu foto paling ikonik di abad ke-20, dan ditampilkan di berbagai medium, seperti pakaian, poster, sampul album, dan lukisan.
Pasca kejatuhan Batista, Che, bersama Fidel Castro, mengimplementasikan kebijakan ekonomi sosialis, dengan mengambil alih sumber daya ekonomi, seperti tanah, perusahaan, dan properti menjadi milik negara. Bisnis swasta dilarang untuk beroperasi. Selain itu, sebagaimana negara-negara komunis lainnya, Partai Komunis Kuba menjadi satu-satunya partai politik yang dapat membentuk pemerintahan.
Keberhasilan Che menjatuhkan rezim otoritarian Batista di Kuba pada tahun 1959 telah mempopulerkan namanya ke seluruh dunia. Ia dianggap sebagai pahlawan yang berjuang untuk mereka yang hidup di dalam kemiskinan, dan melawan imperialisme negara-negara barat, khususnya Amerika Serikat. Che juga menjadi inspirasi bagi berbagai revolusioner kiri anti kolonialisme di seluruh dunia.
Namun, apakah anggapan tersebut merupakan sesuatu yang tepat? Apakah Che merupakan pahlawan bagi kebebasan dan kemanusiaan?
*****
Ketika membicarakan mengenai Kuba pasca revolusi dengan mereka yang memiliki haluan politik kiri, hampir bisa dipastikan mereka akan menuntut kita untuk melihat konteks sosial-politik yang terjadi di Kuba, yang melatarbelakangi kejadian tersebut.
Kuba sebelum revolusi memang bukan negara demokratis yang menjunjung tinggi kebebasan sipil dan politik. Negara yang terletak di Kepulauan Karibia tersebut dipimpin oleh seorang diktator bernama Fulgencio Batista, yang didukung oleh Amerika Serikat.
Sebagaimana diktator-diktator pada umumnya, Batista memimpin Kuba dengan tangan besi. Kebebasan berbicara dan mengemukakan pendapat dikekang oleh pemerintah. Mereka yang berani menentang rezim Batista akan dipenjarakan atau dieksekusi.
Selain itu, Batista juga bekerja sama dengan para petinggi organisasi kriminal dari Amerika Serikat untuk menjalankan usaha di Kuba, salah satunya adalah membangun kasino. Havana pada masa Batista di era 1950-an merupakan “Las Vegas”-nya kepulauan Karibia. Turis dalam jumlah besar datang dari Amerika Serikat ke Kuba untuk berlibur dan berwisata.
Che sendiri, yang berasal dari Argentina, pada tahun 1948 melakukan perjalanan mengelilingi Amerika Latin dengan menggunakan sepeda motor. Pengalamannya tersebut ia tuliskan dan dibukukan dengan judul “The Motorcycle Diaries.” Pada bulan September 1954, Che sampai di Meksiko. Di sana ia bertemu dengan banyak orang-orang Kuba yang diasingkan. Salah satu diantara mereka memperkenalkan Che dengan adik Fidel Castro, Raul Castro, pada bulan Juni tahun 1955.
Raul Castro lantas memperkenalkan Che kepada kakaknya, Fidel. Castro pada masa itu sudah menjadi pemimpin dari Gerakan 26 Juli yang bertujuan untuk menggulingkan rezim Batista. Che sendiri memutuskan untuk bergabung dengan Gerakan 26 Juli pada hari pertama, saat ia berdiskusi dengan Castro, dan nantinya ia akan menjadi wakil Castro di gerakan tersebut.
Pada bulan November tahun 1956, Castro, Che, dan Gerakan 26 Juli pergi ke Kuba untuk menjatuhkan rezim Batista. Setelah serangkaian pertempuran dengan pasukan Batista, Gerakan 26 Juli akhirnya mendapatkan kemenangan, dan memasuki ibukota Kuba, Havana, pada 8 Januari 1959.
Setelah Batista dijatuhkan, ia melarikan diri ke Amerika Serikat. Che ditunjuk oleh Castro untuk mengepalai penjara La Cabana, di mana ia melakukan eksekusi mati terhadap ribuan orang yang dituduh sebagai pengkhianat, atau menjadi bagian dari rezim Batista.
Pembunuhan terhadap orang-orang yang dituduh melawan rezim komunis pada masa awal Revolusi Kuba di bawah komando Che Guevara merupakan sesuatu yang umum terjadi. Bahkan ketika beberapa orang terdekatnya meminta kepada Che untuk mengampuni orang-orang yang dihukum, Che menolak dengan keras, dan mengatakan “Orang-orang ini harus dikirim ke tim eksekusi. Bukti peradilan merupakan sesuatu yang tidak perlu, karena hal tersebut merupakan prosedur borjuasi. Ini adalah revolusi! Dan revolusi harus diikuti dengan pembunuhan berdarah dingin yang didorong oleh kebencian yang murni!” (National Post, 2020).
Sebagaimana negara-negara komunis lainnya, Kuba juga memiliki kamp-kamp kerja paksa yang didirikan untuk menghukum orang-orang yang dituduh terlibat dalam kegiatan “kontrarevolusi.” Salah satu kamp kerja paksa pertama yang didirikan di Kuba adalah kamp Guanahacabibes pada tahun 1960.
Mereka yang dituduh terlibat dalam kegiatan kontrarevolusi diantaranya adalah orang-orang yang memiliki pandangan berbeda dengan idelogi Marxisme-Leninisme, oposisi politik, kelompok homoseksual, pemuka agama Katolik, serta mereka yang dituduh mengikuti gaya hidup barat, seperti memainkan musik Rock n Roll. Di kamp-kamp tersebut, ribuan orang dipukuli, disiksa, dan tidak sedikit pula yang keluar kamp dalam keadaan bernyawa.
Mengenai kamp kerja paksa tersebut, Che Guevara mengatakan bahwa, “orang-orang yang dikirim ke kamp Guanahacabibes adalah mereka yang melakukan tindakan kriminal melawan moral dari revolusi!” (Independent Institute, 2005).
Menjadikan seseorang yang dengan lantang menyatakan bahwa ia menikmati membunuhi orang lain, dan mengirim ribuan orang yang berbeda pandangan dengan dirinya ke kamp kerja paksa, sebagai pahlawan kebebasan dan kemanusiaan tentu adalah bentuk kemunafikan yang sangat tinggi.
Lantas bagaimana dengan kesetaraan? Apakah Che layak disebut sebagai orang yang mengadvokasi hal tersebut?
Che Guevara juga dikenal sebagai seseorang yang memiliki pandangan sangat prejudis terhadap orang-orang kulit hitam. Ia mengatakan bahwa “Orang-orang negro itu pemalas dan mereka menggunakan uang yang dimilikinya untuk hal-hal yang tidak karuan. Sementara, bangsa Eropa terdiri dari orang-orang yang cerdas dan memiliki wawasan kedepan” (The Huffington Post, 01/11/2012).
Pandangan Che Guevara terhadap ras tentu merupakan sesuatu yang sangat terbelakang dan jauh berbeda dengan pandangan mengenai ras yang dimiliki oleh tokoh-tokoh progresif pada dekade 1950-an hingga 1960-an, yang mengkampanyekan bahwa setiap warna kulit adalah setara. Sebagaimana kita ketahui, dekade 1950-an dan 1960-an merupakan periode penting bagi banyak gerakan hak sipil di berbagai negara, seperti negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat untuk mendapatkan kesetaraan rasial di mata hukum, terutama bagi warga kulit hitam.
Pandangan Che terhadap ras tentu merupakan hal yang patut dikecam, tidak hanya berdasarkan standar moral hari ini, namun juga berdasarkan standar moral pada masa ia hidup. Bisa dibayangkan, bila ada seorang tokoh politik yang berafiliasi dengan politik kanan, yang menyatakan bahwa ia suka membunuh dan menganggap orang-orang dengan warna kulit yang berbeda sebagai pemalas. Pasti ia akan langsung dikecam dan fotonya tidak akan ditampilkan di berbagai medium dan produk-produk konsumen.
Sebagai penutup, saya tidak menutupi bahwa kondisi Kuba sebelum revolusi adalah kondisi yang ideal. Kuba sebelum revolusi, diperintah oleh seorang diktator otoriter yang membungkam oposisi dan mengeksekusi orang-orang yang berani melontarkan kritik.
Namun, rezim diktator yang memimpin Kuba sebelum revolusi tidak bisa dijadikan justifikasi untuk membenarkan rezim diktator lain, yang membunuhi ribuan orang tanpa peradilan, yang muncul setelahnya. Solusi dari otoritarianisme adalah sistem demokrasi yang menghargai kebebasan individu dan hak-hak sipil warga negara, bukan tirani lainnya dengan filosofi pemerintahan yang berbeda.
Kekejaman Che Guevara merupakan hal yang sangat nyata dan tidak bisa diabaikan. Ia bukanlah pahlawan kebebasan dan kemanusiaan sebagaimana yang kerap digembor-gemborkan oleh mereka yang memiiki haluan politik kiri.
Pembunuhan tanpa peradilan dan pemberlakuan kerja paksa terhadap orang-orang yang menentang pemerintah merupakan hal yang tidak dapat diterima dengan alasan apapun, atau dasar ideologi apapun. Sudah seharusnya kita menempatkan Che sejajar dengan para tiran berdarah dingin, dan bukan dengan para pahlawan kemanusiaan yang telah menyelamatkan dan membebaskan jutaan umat manusia.
Referensi
https://nationalpost.com/news/canada/your-che-guevara-shirt-celebrates-a-bloodthirsty-maniac Diakses pada 2 Juni 2020, pukul 22.15 WIB.
https://www.independent.org/news/article.asp?id=1535 Diakses pada 3 Juni 2020, pukul 01.10 WIB.
https://www.huffpost.com/entry/el-che-the-crass-marketin_b_1199252 Diakses pada 3 Juni 2020, pukul 16.45 WIB.

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.