Terletak di Street 113, Boeng Keng Kang 3, Champkar Morn, di bagian selatan ibukota Kamboja, Phnom Penh, terdapat bangunan yang dipakai oleh S-21 (Security Office) selama empat tahun lamanya sebagai tempat tahanan. Bangunan yang lebih populer dinamai Tuol Sleng ini kini berubah nama menjadi Museum of Genocide. Gedung tersebut adalah saksi bisu dari bagaimana Marxisme menancapkan kedigdayaan di negeri Hell of Earth.
Bagi Karl Marx, agama merupakan candu oleh rakyat (Marx & Ruge, 1844). Namun, pernyataan tersebut diputarbalikkan oleh fakta sejarah pada abad ke-20. Ternyata, Marxisme malah menjadi ideologi yang menghabisi nyawa ratusan juta orang di seluruh dunia. Salah satu yang menjadi korban dari ideologi tersebut adalah rakyat Kamboja di bawah rezim kekuasaan Khmer Merah.
Tahun 1975-1979 adalah masa paling kritis bagi Kamboja. Rezim pemerintahan Khmer Merah yang berkuasa memusatkan kekuatan di sisi pertanian, untuk mengirimkan orang-orang ke daerah perdesaan. Diperkirakan, 500.000 etnik Kamboja menjadi korban dari revolusi Pol Pot, mulai dari tahun 1975-1977 (Los Angeles Times, 29 Januari 1989).
Taufiq Ismail mencatat, Kamboja dikuasai Vietnam selepas Khmer Merah kalah dan tercerai berai. Kamboja mengalami nasib tragis berperang melawan bangsa sendiri, sejak Marxisme disebarkan Pol Pot pada tahun 1975. Pada tahun 1978, Kamboja diinvasi oleh Vietnam, dan perang tersebut terus berlanjut hingga tahun 1987 (Ismail, 2004).
Hal ini tentu adalah tragedi kemanusiaan yang sangat besar. Kamboja baru bisa menemukan jalan kesembuhannya dalam jangka waktu 5 dekade kemudian, terutama di Ibu kota Phnom Penh.
Saat ini, banyak yang masih perlu dieksplorasi dan dipelajari terkait dengan kejadian tragis tersebut. Salah satu dampak sosial dari genosida di Kamboja oleh rezim komunis Khmer Merah adalah bagaimana hal tersebut memengaruhi budaya orang-orang Kamboja dalam berkomunikasi dan bersosialisasi,satu sama lain. Bertempat di Phnom Penh, Jurnalis BBC, Dene-Hern Chen mewawancarai Irina Chakraborty, ekspatriat berdarah India-Finlandia yang tinggal di kota tersebut, di mana Irina menceritakan bahwa ia harus menjaga volume suara kendati dia sedang dilanda frustasi. Cara orang berkomunikasi, seperti tertawa kecil, bahkan ketika mereka marah, menjadi satu hal yang teramat mengejutkan (BBC, 11 Oktober 2016).
Seolah-olah di Phnom Penh, semua mesti berinteraksi secara santun. Hal semacam demikian terjadi juga pada interaksi harian di tempat kerja. Satu aktivitas yang amat sulit diadaptasi oleh banyak banyak pendatang, khususnya jika mereka berasal dari kota-kota yang menekankan efisiensi dan komunikasi lugas sebagai sesama rekanan kerja. Betapa menjemukan, sebuah kota, yang menjadi pusat pemerintahan suatu negara, tanpa sedikitpun hiruk pikuk canda tawa dari penghuninya (BBC, 11 Oktober 2016).
Sejak tahun 2016, Kamboja telah berusaha keras untuk lahir kembali sebagai negeri tujuan, baik bagi para wisatawan, maupun bagi para investor properti. Dene mencatat, selama beberapa tahun terakhir, Phnom Penh mengalami peningkatan dari sektor pembangunan fasilitas. Kota yang sebelumnya tidak punya gedung pencakar langit, kini dipenuhi gedung-gedung baru yang menjulang tinggi, juga sejumlah mal besar dibangun secara cepat (BBC, 11 Oktober 2016).
Sebagai penutup, Kamboja mungkin belum sepenuhnya bisa menyediakan kebahagiaan secara lengkap kepada para pelancong. Namun, di tiap sudutnya, Phnom Penh bisa mengurai fakta sejarah, selintas demi selintas tentang dampak penerapan ideologi Marxisme-Leninisme-Maoisme. Masa lalu ini bagi Kamboja merupakan hal menyeramkan. Tidak banyak negara yang kuat menanggung prahara sedemikian dahsyat, seperti Kamboja.
Dalam sebuah film yang diperankan Antonio Banderas, yang berjudul Imagining Argentina, menceritakan tentang betapa kejam junta militer Argentina. Rezim tersebut berkuasa penuh terhadap rakyat kecil yang ditindas semena-mena. Tepat saat kisah berakhir, terdapat sebuah pesan penting, “Somewhere in the world today. Someone is (dissapearing).” Bahwa saat ini di suatu tempat, di dunia, seseorang tengah menghilang.
Sejarah penerapan Marxisme di Kamboja adalah pelajaran bagi kita semua, agar hal tersebut jangan sampai terjadi lagi di manapun dan kepada siapapun di muka bumi ini. Karena, setiap hari, masyarakat Kamboja masih terus berusaha dengan susah payah sembuh dari trauma sejarah, yang sangat kelam. Semoga, kelak di masa depan, masyarakat Kamboja dapat secara utuh menyembuhkan diri mereka dari sejarah kelam tersebut.
Referensi
Buku
Ismail, Taufiq. 2004. Katastrofi Mendunia. Jakarta: Yayasan Titik Infinitum.
Marx, Karl dan Ruge, Arnold. 1844. Deutsch–Französische. Paris: Rue Vanneau 22.
Internet
https://www.latimes.com/archives/la-xpm-1989-01-29-op-1666-story.html?_amp=true Diakses pada 9 November 2020, pukul 13.42 WIB.
https://www.bbc.com/worklife/article/20161010-a-booming-city-with-a-brutal-history Diakses pada 9 November 2020, pukul 22.32 WIB.

Resza Mustafa adalah seorang penulis. Ia aktif menulis sejak bergabung di Lembaga Pers Mahasiswa Hayamwuruk tahun 2013. Sempat bergabung dengan Gatra.com tahun 2019 dan menulis isu-isu politik perkotaan, pendidikan, dan sosial-budaya.