Shinta Ratri: Potret Perjuangan Kaum yang Dimarginalisasi Masyarakat

    155
    Sumber gambar: https://jogja.tribunnews.com/2023/02/01/pemimpin-ponpes-waria-al-fattah-yogyakarta-shinta-ratri-meninggal-dunia-pagi-ini

    Menjadi orang yang konsisten dalam membela HAM dan idealisme bukanlah sesuatu yang mudah. Dibutuhkan perjuangan, dedikasi dan juga kesabaran dalam menyebarkan cita-cita kebebasan yang luhur tersebut. Bahkan tak jarang di tengah jalan, cita-cita dan idealisme memudar begitu saja. Entah karena ada target lain atau karena berubah pikiran. Namun hal serupa tidak terjadi pada Shinta Ratri, seorang transpuan sekaligus pejuang gender yang paling vokal dan gigih memperjuangkan keberagaman dan kesetaraan gender.

    Saya pribadi tak mengenal sosok Bunda Shinta secara personal, tapi namanya cukup cemerlang di kalangan aktivis pecinta kemanusiaan. Terkejut saya ketika mendapat berita pada hari Rabu, (1/02), Bunda Shinta dikabarkan meninggal dunia. Bunda Shinta terkenal ikonik sebagai pengurus Pondok Pesantren Al Fatah, sebuah pesantren yang didedikasikan untuk para transgender atau waria untuk menimba ilmu agama dan olah spiritual.

    Bisa kita rasakan betapa sulitnya seorang Shinta Ratri menghidupkan sebuah pesantren yang menampung orang-orang yang ‘dipinggirkan’ oleh masyarakat. Selama ini citra seorang waria masih dipandang negatif oleh mereka yang melihat dunia dalam gambaran hitam putih. Tak sedikit keluarga yang mengusir anaknya sendiri hanya karena si anak agak berbeda dengan yang lain.

    Marginalisasi waria ini pada akhirnya berdampak buruk buat masyarakat itu sendiri. Para waria yang tak dirangkul oleh masyarakat akhirnya hidup di jalanan. Menjadi gembel, pengamen bahkan melacurkan diri. Citra waria sebagai penyakit sosial ini harus diubah. Namun, hanya sedikit orang yang paham bagaimana memperlakukan mereka sebagai manusia.

    ***

    Ali Sadikin adalah sedikit orang yang paling mengetahui sisi kemanusiaan dibandingkan pejabat Indonesia di masa sekarang. Ketika ia menjabat sebagai gubernur dan melihat para waria seliweran di Jalan Teluk Betung dan Jalan Latuharhari, selepas Maghrib, hatinya tergugah untuk memproduktifkan mereka.

    “Pikiran saya menyebutkan, mereka juga manusia dan penduduk Jakarta. Jadi saya harus mengurus mereka,” (Ramadhan, 1992).

    Bang Ali lalu mengumpulkan mereka, memberikan bekal keterampilan khusus, memberi mereka ruang di masyarakat agar tak ada lagi yang mencemooh kelompok waria. Apapun dilakukan Bang Ali agar “mereka tak kembali ke jalanan”. Walhasil, kita bisa lihat banyak pelawak atau bintang film di era 70-80an yang menampilkan citra waria. Hal ini sebagai edukasi dari Bang Ali kepada masyarakat bahwa mereka adalah bagian kita juga (alinea.id, 12/12/2021).

    Selepas Bang Ali menjadi gubernur, marginalisasi waria yang dilakukan oleh pejabat dan ormas mulai kembali. Bahkan pasca Reformasi 98, waria sudah dilarang tampil di televisi.  Ini yang membuat pelawak Tessy merasa kesal pada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan berkata “yang ada hanya Tessy bukan Tesso”.

    Legitimasi kaum radikal terhadap kelompok LGBT yang kembali marak, membuat komunitas waria menjadi sasaran amuk mereka. Alih-alih menjalankan amanat konstitusi untuk memanusiakan manusia, beberapa politisi justru mendiskriminasi kelompok LGBT sebagai bahan pencitraan mereka.

    Gelombang penolakan dan tsunami radikalisasi ini yang berusaha dihadapi oleh Bunda Shinta Ratri. Ia tetap berusaha untuk mempertahankan eksistensi pesantren waria dan berusaha agar kelompok marginal ini tetap merasakan “karunia Tuhan” pada mereka.

    Pada tahun 2016 lalu, pesantren waria di Yogyakarta sempat ditutup karena ancaman dari ormas radikal. Shinta menjelaskan bahwa pesantren yang berdiri sejak tahun 2008 Islam adalah tempat puluhan transgender belajar agama dan mengaji, serta tidak mengajarkan pemahaman bertentangan dengan Islam. Aktivitas pengajian yang digelar tiap akhir pekan di pesantren untuk waria itu menghadirkan guru agama Islam, dan diikuti oleh sekitar 20 waria.

    “Yang terjadi adalah kita mengajak kebaikan, memberi pemahaman tentang agama kepada teman-teman supaya dia bisa menata hidupnya, supaya dia mempunyai kekuatan di dalam dirinya, jadi teman-teman waria ini sudah terdiskriminasi jangan sampai dia kemudian lemah secara spiritual,” jelas Shinta (BBC.com, 26/02/2016).

    Jika kelompok radikal mengatakan bahwa waria adalah kutukan ilahi, Bunda Shinta berusaha menguatkan keyakinan pada kelompok waria bahwa mereka juga berhak mendapatkan belas kasih dan rahmat dari Allah. Perjuangan almarhumah Shinta Ratri dalam mempertahankan eksistensi pesantren waria merupakan gambaran kecil bagaimana sebuah komunitas masyarakat berusaha untuk menerjang ombak diskriminasi dan kekerasan.

    Propaganda kaum radikal terhadap LGBT saja sudah cukup menyiksa komunitas waria, apalagi jika RUU Anti LGBT disahkan? Tak bisa dibayangkan bagaimana penuh sesak sel penjara para waria yang ditangkap hanya karena mereka berbeda dari masyarakat pada umumnya. Negara yang harusnya bertanggung jawab atas kehidupan dan jaminan keamanan mereka, saat ini justru menjadi oknum pertama yang bertanggung jawab atas diskriminasi sosial ini. Abainya Pemerintah dan masyarakat terhadap kaum waria justru merugikan negara. Berapa banyak kemiskinan dan tuna susila muncul karena pemerintah tak merangkul kaum waria (DW.com, 20/05/2022).

    Jangankan untuk merangkul, bahkan mendapatkan kartu identitas diri saja mereka sudah kesulitan. Saya berpikir bahwa ini adalah masalah yang harus kita hadapi. Di satu sisi, gelombang anti LGBT akan menimbulkan banyak masalah bagi kaum minoritas dan pada sisi yang lain, sikap diam pemerintah pada kelompok minoritas yang ditindas akan mengancam keamanan dan kewibawaan pemerintah. Jika pemerintah tetap diam, bahkan meloloskan undang-undang yang mendeskreditkan LGBT, maka hari depan demokrasi dan kebebasan di Indonesia amat menyedihkan.

     

    Referensi

    https://amp.dw.com/id/lgbt-terancam-dijerat-pidana/a-61879464. Diakses pada 3 Februari 2023, pukul 13.12 WIB.

    https://www.alinea.id/gaya-hidup/balada-waria-di-jakarta-zaman-ali-sadikin-b2cFv98Ki. Diakses pada 3 Februari 2023, pukul 08.00 WIB.

    https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/02/160225_indonesia_ponpes_waria_ditutup.amp. Diakses pada 3 Februari 2023, pukul 08.15 WIB.

    Ramadhan, KA. 1992. Ali Sadikin membenahi Jakarta menjadi kota yang manusiawi. Jakarta: Ufuk Press.