Pada 24-25 Agustus lalu, saya mengikuti Mises Boot Camp Indonesia (MBCI) IV yang diadakan oleh Suara Kebebasan. Isinya kurang lebih tentang kursus singkat apa itu Mazhab Ekonomi Austria. Penjelasan konsep ekonomi Austrian terutama menekankan pada apa yang terlihat dan yang tidak terlihat akibat kebijakan ekonomi.
Ketika panitia memberikan soal untuk menganalisis apa yang terlihat dan tidak terlihat dari kebijakan ekonomi, saya mencoba berseluncur di rimba media sosial dan menemukan dua peristiwa yang berbeda. Pertama, demonstrasi Hongkong dan yang kedua, demo 212. Pada peristiwa pertama, netizen sejauh mata men-scroll twitter kebanyakan membela para demonstran. Argumennya, bahwa demo untuk mempertahankan kedaulatan, kebebasan, dan otonomi Hongkong.
Pada peristiwa yang kedua, seingat penulis, sejauh saya mengikuti riuh rendah pro-kontra demonstrasi berjilid-jilid, netizen terpecah. Akan tetapi, tulisan ini tidak sedang membahas kenapa netizen terpecah. Tulisan ini hanya akan membahas salah satu argumentasi bahwa demonstrasi baik untuk ekonomi. Setidaknya seperti dalam infografis berikut, yang kemungkinan diproduksi ketika Jakarta dirundung demontrasi berjilid-jilid.
Diluar kerusuhan, seolah mencari pembenar, para pendukung hajatan “people power”, “gerakan nasional” atau apalah namanya itu, ada beberapa netizen yang berargumen di media sosial kalau demo sebenarnya memberikan efek positif terhadap ekonomi warga. Setidaknya seperti yang digambarkan dari infografis tersebut. Dengan demo, pedagang asongan yang berjualan di wilayah demontrasi mendapatkan berkah karena omsetnya meningkat.
Argumen yang menyatakan bahwa demontrasi malah membuat ekonomi tumbuh sebenarnya sudah banyak beredar lama terutama semenjak aksi demonstrasi berjilid, 212. Bayangkan dengan “7 juta” peserta demo, yang tumplek-blek di Jakarta membuat para pedangan asongan, pedagang sekitar monas, bahkan hotel-hotel juga disebut mendapatkan berkah.
Bayangkan kalau acara demontrasi terus diadakan berjilid sebulan sekali, maka akan bisa menjadi mesin ekonomi baru bagi Indonesia selain momen Ramadhan dan pemilu yang durasinya hanya momen rutin tahunan. Apabila argumen demikian benar, maka akan dahsyat dampak demo bagi pertumbuhan ekonomi.
Sayangnya cara pandang yang demikian selain cenderung mengada-ada juga menyesatkan. Memang demontrasi adalah hak konstitusional dan bagian penting dari demokrasi, tapi kalau digunakan untuk menjadi jalan karena ngambek kalah dalam pemilu, bahkan rusuh, ya repot senegara.
Memang argumen bahwa demontrasi dapat memberikan sumbangan untuk ekonomi bisa diterima secara kalkulatif. Tapi seperti cinta, ekonomi juga tidak hanya perkara yang terlihat, tetapi juga perkara yang tidak terlihat.
Ekonom Frederic Bastiat menyebutnya sebagai ‘The broken window fallacy’. Bastiat mengisahkan bahwa pada suatu ketika ada kecil yang memecahkan kaca oleh banyak orang dianggap baik karena dengan kaca pecah, maka perusahaan kaca akan terus berproduksi dan ekonomi akan terus bergeliat.
Bastiat menolak pandangan demikian. Bastiat sudah mewanti-wati bahwa pandangan yang demikian adalah the broken window fallacy, bahwa ada opportunity cost yang hilang dari pecahnya kaca. Benar dengan kaca pecah, perusahaan kaca bisa terus berproduksi. Namun, dengan pecahnya kaca, pekerjaan yang harus berhenti karena kaca masih diperbaiki juga ikut terkena dampaknya.
Begitu juga dengan argumen bahwa demonstrasi membuat ekonomi bergeliat. dimana dengan adanya demo maka para pedagang asongan yang tetap berjualan ditengah demo mengalami peningkatan omzet memang benar adanya. Di sisi lain, orang yang setiap hari melakukan aktivitas kerja melewati daerah Sarinah, Tanah Abang, misalnya, harus memutar arah untuk sampai tempat tujuan kerja.
Tidak hanya itu, karena demonstrasi juga beberapa pedagang harus menutup toko, serta beberapa perkantoran yang beroperasi di seputar Sarinah dan sekitarnya harus meliburkan pegawainya. Begitu juga dengan adanya tambahan biaya untuk pengamanan dan sebagainya.
Asumsi di atas belum memasukkan biaya resiko. Demonstrasi yang bertajuk damai sekalipun memiliki resiko yang besar akan adanya kekacauan dan pengerusakan fasilitas publik. Biaya resiko bisa jadi sangat besar melampaui perkiraan karena sifatnya yang tidak menentu.
Argumen yang menyesatkan sangat mengkhawatirkan dan saya tidak bisa membayangkan apabila argumen yang demikian dimiliki para pembuat kebijakan, maka untuk menyumbangkan pertumbuhan ekonomi, mereka berpikir untuk membuat program leisure economy berbasis festival demonstrasi.
Hal yang demikian sangat memungkinkan apabila melihat tren belakangan ini, dimana demonstrasi dalam setahun diselenggarakan secara berjilid layaknya festival tahunan yang diselenggarakan dalam menyambut ulang tahun sebuah kota atau kabupaten. Mungkin Jakarta boleh saja membuat program festival demonstrasi. Bisa masuk kalender pariwisata Enjoy Jakarta. J
Selebihnya, kita sebenarnya harus sudah move-on dari serial demonstrasi yang berjilid yang maksud dan tujuanya hanya kehendak partisan. Demo sangat penting misalnya mendesak agar pemerintah menyelesaikan pelanggaran HAM berat, atau demo terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang menyimpang. Demo tetap penting sebagai kontrol pemerintah.
Di sisi lain, kita juga patut mempertimbangkan bahwa bagaimanapun juga biaya demonstrasi apalagi yang rusuh relatif sangat besar tidak hanya secara ekonomi tetapi juga dari aspek sosial, politik dan keamanan. Sudahlah, move on, pesta pemilu sudah selesai.
***
Rafli Zulfikar adalah Alumni Mises Boot Camp Indonesia (MBCI) IV yang diselenggarakan tahun 2019 oleh Suara Kebebasan. Ia memiliki minat pada isu-isu ekonomi politik internasional. Rafli dapat dihubungi di Twitter: @raflizulfikr

Rafli Zulfikar adalah Alumni Mises Boot Camp Indonesia (MBCI) IV yang diselenggarakan tahun 2019 oleh Suara Kebebasan. Ia memiliki minat pada isu-isu ekonomi politik internasional. Rafli dapat dihubungi di Twitter: @raflizulfikr