Sepak bola: Antara Sportivitas dan Kebebasan

    160
    Sumber gambar: Sumber: https://www.common-goal.org/Stories/Win-or-lose-but-always-with-democracy2020-09-15  

    Piala Dunia baru saja berlalu. Perhelatan akbar sepak bola internasional yang menghibur bapak-bapak di perkotaan bahkan di pedesaan sudah selesai dan harus menunggu 4 tahun ke depan. Semua takjub dengan laga Argentina versus Prancis pada tanggal 19 Desember lalu. Pertandingan yang spektakuler, memukau  dan juga sangat sportif. Inilah kelebihan dari dunia olahraga, permainan dan persaingan sepanas apapun bisa menjadi akrab dan gembira jika didasari pada rasa sportivitas dan juga persahabatan. Mungkin pasar bebas pun juga terilhami oleh olahraga ini, sebab pasar bebas menjunjung tinggi persaingan dengan sportivitas, mungkin.

    ***

    Piala Dunia Sepak Bola di Qatar memang memberi kesan lebih bagi para penikmat sepak  bola dan pecinta olahraga.  Selain sebagai negara pertama di Asia yang menyelenggarakan piala dunia, pertandingan di Qatar telah mencetak beberapa sejarah. Permainan yang menarik dan juga berbagai kemelut yang menghiasi sepanjang perjalanan piala dunia.

    Seperti mengenai isu pekerja pembangunan infrastruktur dan stadion di Qatar yang sempat menghebohkan publik karena tingginya angka kematian dan kurangnya perhatian pada hak pekerja (katadata, 25/11/2022).

    Juga pada masalah larangan simbol-simbol LGBT hadir di Qatar. Meski sudah berusaha untuk dilobi, Qatar tetap teguh pada pendiriannya, dan lucunya, organisasi FIFA bahkan mendukung penuh Qatar.

    Sikap FIFA ini mengingatkan kita pada tragedi Kanjuruhan, alih-alih memberikan sanksi dan dorongan agar Pemerintah menyelesaikan kasus Kanjuruhan secara terbuka dan adil, Presiden FIFA malah bermain sepak bola dengan Ketua PSSI, bak tak perduli dengan hati nurani keluarga korban (Tempo, 19/10/2022).

    Tanpa mencela atau menyalahkan pihak manapun, masalah olahraga memang tak lepas dari kepentingan politik, sosial dan budaya masyarakat. Seperti tuturan Astari Yanuarti, Fans Bola dan Pengamat Media, di Forum Kebebasan Suara Kebebasan pada tanggal 9 Desember lalu, meskipun kita selalu diajarkan bahwa inti dari olahraga adalah sportivitas dan juga keakraban dalam bertanding, namun tak dielakkan, bahwa olahraga sebenarnya terpengaruh oleh kehidupan manusia yang lain, khususnya politik dan kepentingan. Begitu pula di Piala Dunia kali ini. Nuansa kultur Arab yang keras terhadap gagasan kesetaraan gender dan juga sikap politis FIFA seolah membenarkan pandangan Astari tersebut (Suarakebebasan, 14/12/2022).

    Tetapi, meski olahraga terpengaruh oleh dimensi politik dan sosial, namun prinsip sportivitas dan rasa persaudaraan harus tetap dipupuk dan dipertahankan dalam dunia olahraga. Tak boleh ada rasa benci dan dendam. Yang kalah tetap di rangkul dan yang menang berhak dipuji atas usahanya, dan kesemua itu diikat dalam sportivitas dan persaudaraan.

    Ingat filosofi bola, bola selalu menggelincir dan berputar. Kadang di atas kadang di bawah. Tak perduli menang atau kalah, yang terpenting adalah taktik yang indah, permainan yang sportif dan juga rasa gembira saat bermain bola.

    Olahraga dan Kebebasan

    Pada 24 Maret 2021, Norwegia melancarkan protes dalam laga Kualifikasi Piala Dunia 2022 zona Eropa. Mereka memakai baju yang bertuliskan hak asasi manusia di dalam dan luar lapangan jelang laga lawan Gibraltar. Hal yang sama mereka lakukan saat akan berhadapan dengan Turki (Republika, 25/03/2021).

    Begitu pula dengan Jerman, Sebelum bertanding melawan Islandia 26 Maret 2021. Jerman saling berbaris, mengenakan kaus dengan huruf yang pada akhirnya membentuk kata “hak asasi manusia”.

    Belanda mengikuti langkah Jerman dan Norwegia. Sebelum laga Kualifikasi Piala Dunia 2022 zona Eropa, mereka memakai kaus bertuliskan “sepak bola mendukung perubahan yang lebih baik”. (Media Indonesia, 28/03/2021).

    Apa yang bisa kita petik dari sini? Sepak bola bukan hanya sebagai ajang permainan yang menyehatkan dan mengasyikkan saja, tetapi juga sangat efektif dalam menyebarkan ide-ide kebebasan. Gagasan kebebasan dan demokrasi, mungkin sulit untuk masuk ke negara dengan kultur kontrol politik yang ketat, namun dengan olahraga, ia bisa masuk dan secara efektif bisa diterima oleh masyarakat.

    Mungkin tidak cepat, namun pesan-pesannya pasti mempengaruhi dan bisa tersampaikan hingga ke akar rumput. Saya pribadi ingin mengutip sejarah demokrasi di Brazil yang berhasil tegak berkat sepak bola. Brazil sendiri adalah negara “raja sepak bola” yang telah melahirkan bintang bersinar dunia seperti Pele. Karena pengaruh kuat sepak bola, hal ini dimanfaatkan oleh Klub Corinthians Paulista melawan kediktatoran junta militer di Brazil dengan menyerukan protes di tengah lapangan dan menuntut sistem demokrasi yang lebih terbuka (Medium, 14/08/2020).

    Tuntutan ini membuat respek masyarakat dan didukung oleh ratusan ribu orang. Mereka memiliki semboyan:

    “Ganhar ou perder, mas semper com democracia” (“Menang atau kalah, tapi selalu dengan demokrasi”.

    Semboyan ini membuat para antek junta khawatir dan akhirnya pemilu yang lebih demokratis di mulai di Brazil. Ini adalah contoh kecil bagaimana sebuah olahraga bisa mempengaruhi bagi perkembangan politik dan masyarakat.

    ***

    Kembali ke persoalan Piala Dunia di Qatar, memang harus kita akui bahwa selain prestasi dan kemegahan, resepsi akbar sepak bola Akbar tersebut memiliki sisi hitam. Diskriminasi gender, pekerja yang diperlakukan seperti budak, dan lain sebagainya cukup membuat sorotan aktivis HAM. Kritik terhadap penyelenggaraan Piala Dunia Qatar bukan merupakan hujatan, tetapi koreksi agar penyelenggaraan menjadi lebih baik.

    Pesan-pesan anti-rasisme, HAM dan keadilan gender yang dibawa oleh para atlet sepak bola, hal ini juga menunjukkan bahwa dunia sepak bola kita juga turut berusaha menyiarkan demokrasi dan kebebasan.

    Sepak bola adalah pembawa pesan yang efektif untuk mengedukasi masyarakat mengenai kemanusiaan, kebebasan dan demokrasi.  Negara-negara Timur tengah mungkin tak bisa dimasuki oleh aktivis luar, namun sepak bola dapat melakukan itu.

    Edukasi kebebasan ini (yang sudah diterapkan oleh Brazil dan Timnas Jerman) merupakan contoh yang patut di apresiasi. Bagaimana sepak bola bukan hanya sekedar permainan, tapi mengandung pesan damai dan kebebasan untuk semua orang.

    Referensi

    https://katadata.co.id/amp/ira/berita/6380a82e47827/6-hal-kontroversial-di-piala-dunia-2022-klaim-fifa-hingga-isu-lgbt Diakses pada 20 Desember 2022, pukul 01.00 WIB.

    https://medium.com/@gortizstella/corinthians-or-democracy-in-cleats-ce938589868c Diakses pada 20 Desember 2022, pukul 02.16 WIB.

    https://m.mediaindonesia.com/sepak-bola/393752/timnas-belanda-kenakan-kaos-dukung-pekerja-migran Diakses pada 20 Desember 2022, pukul 02.06 WIB.

    https://m.republika.co.id/amp/qqj06q438 Diakses pada 20 Desember pukul 02.00 WIB.

    https://sport.tempo.co/amp/1646788/tampil-dalam-laga-persahabatan-presiden-fifa-dan-ketua-pssi-sama-sama-cetak-gol Diakses pada 20 Desember 2022, pukul 01.12 WIB.

    https://suarakebebasan.id/cerita-diskusi-webinar-forum-kebebasan-tentang-kontroversi-piala-dunia-2022/ Diakses pada 20 Desember 2022, pukul 01.30 WIB.