Kisruh yang terjadi di Perusahaan PT. Garuda Indonesia rasanya makin hari makin rumit saja. Maskapai penerbangan yang menjadi kebanggaan publik ini, diprediksi akan mengalami kebangkrutan dalam waktu dekat.
Krisis yang diakibatkan oleh pandemi COVID-19 kini telah melanda seluruh dunia dan berimbas pula pada sektor industri penerbangan saat ini. Otomatis akibat pembatasan sosial yang diterapkan oleh pemerintah, beberapa maskapai tidak ada rute penerbangan, tapi operasional harus terus berjalan.
Keadaan ini mengakibatkan buruknya PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA). Biaya operasional untuk perawatan, gaji karyawan, pembayaran utang tak bisa dielakkan, sedangkan Garuda kekurangan pemasukan untuk menjalankan bisnisnya akibat PPKM yang diterapkan oleh pemerintah.
Berdasarkan bahan paparan yang disampaikan perusahaan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR RI pada 22 Juni 2021 lalu, Garuda telah mengalami kerugian sebesar USD2,50 miliar atau setara dengan Rp35 triliun.
Kerugian yang sedemikian besar ini, membuat Garuda harus mengencangkan ikat pinggang dan melakukan beberapa kebijakan penyelamatan bisnis. Mau tak mau, Garuda terpaksa memberlakukan kebijakan pensiun dini bagi para pegawainya.
Akibat kebijakan ini, sudah terdapat 1.099 karyawan yang terdaftar untuk dipensiunkan. Tetapi masalah lainnya, Garuda sendiri mengatakan bahwa saat ini mereka masih belum memiliki kemampuan untuk membayarkan kewajibannya kepada karyawan ini, yakni pesangon sesuai dengan aturan (Cnbcindonesia.com, 23/6/2021).
Pada akhirnya, perseroan tersebut “mengangkat bendera putih” meminta pertolongan pemerintah pusat, yang berarti mereka sudah tak bisa mengelak bahwa Garuda terancam pailit dikarenakan krisis keuangan. Garuda kini dihadapi persoalan utang dan kerugian yang terus diderita. Saat ini, utang Garuda Indonesia tercatat USD4,5 miliar atau mendekati Rp70 triliun (Okezone.com, 6/4/2021).
Permasalahan yang Carut Marut
Beberapa ekonom dan juga pengamat kebijakan seperti Rizal Ramli sudah memprediksi bahwa PT. Garuda Indonesia akan segera mengalami kerugian besar. Pengamat yang selalu bersikap kritis pada pemerintah ini mengatakan bahwa penyebab utama Garuda merugi disebabkan managemen yang buruk dan juga adanya korupsi besar yang dilakukan oleh para petinggi Garuda.
“Tapi, ini ada korupsinya, ini pejabatnya, Dirut Garudanya main kan. Waktu itu belum ketahuan, belakangan diperiksa KPK kena semua tuh,” kata Rizal Ramli (Pikiran-rakyat.com, 13/6/2021).
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir pun angkat bicara mengenai sengkarut yang terjadi di Garuda. Ia mengungkapkan beberapa alasan yang menyebabkan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk dalam kondisi keuangan yang terpuruk saat ini.
Selain memang terpengaruh pandemi COVID-19, persoalan lainnya adalah terkait penyewa pesawat atau lessor. Ia bilang, saat ini Garuda Indonesia bekerja sama dengan 36 lessor yang sebagian terlibat dalam tindakan koruptif dengan manajemen lama. “Sejak awal kami di Kementerian (BUMN) meyakini, bahwa memang salah satu masalah terbesar di Garuda mengenai lessor. Lessor ini harus kami petakan ulang, mana saja yang masuk kategori dan bekerja sama di kasus yang sudah dibuktikan koruptif,”
Terkait masalah lessor ini, penulis pun mencurigai adanya ketidakberesan dari segi bisnis antara pihak Garuda dan pihak lessor selaku penyewa pesawat. Ternyata apa yang dipikirkan penulis, disetujui pula oleh Peter Gontha selaku Komisaris PT. Garuda Indonesia.
Peter Gontha dalam cuitan di akun Instagram pribadinya, mengatakan bahwa inti permasalahan maskapai pelat merah tersebut adalah proses negosiasi dengan para lessor asing yang tidak dilakukan melalui proses bisnis yang baik. Akibat negosiasi yang salah, Garuda Indonesia kini terancam bangkrut karena memiliki utang terbesar dalam sejarah perusahaan BUMN.
“Sejak Februari 2020 saya sudah katakan salah satu jalan adalah nego dengan para lessor asing yang semena-mena memberi kredit pada Garuda selama 2012-2016 yang juga saya tentang,” katanya (Trenasia.com, 29/10/2021).
Hingga akhirnya Peter Gontha mengusulkan untuk “membangkrutkan Garuda” demi menyelamatkan maskapai tersebut dari jerat utang yang mencekik lehernya. Sebab menurut Gotha, pemberian dana talangan dari pemerintah sebesar Rp8,5 triliun tersebut tidak akan menyelesaikan masalah jika pola bisnis, birokrasi korup, dan juga pandemi belum berakhir.
Peter Gontha memiliki saran agar PT. Garuda Indonesia dibangkrutkan demi melepaskan diri dari jerat hukum tengkulak lessor yang telah memberi pinjaman dengan cara di-mark up dan menaikkan tarif sewa dua kali lebih mahal dari harga pasar seperti yang terjadi saat ini. Ia mengatakan, meskipun PT. Garuda Indonesia dibangkrutkan, ia berkata bahwa maskapai nasional tetap bisa dibangun kembali dengan brand tetap Garuda Indonesia meski dengan nama pesawat yang berbeda.
“Jadi kita jangan emosi dulu, nama apa pun boleh saja dipakai sebagai PT, tapi brand tetap Garuda Indonesia,” ucap Peter (hello.id, 28/10/2021).
Garuda, BUMN, dan Kacamata Pasar Bebas
Melihat permasalahan yang penulis beberkan di atas, maka dapat dipahami bahwa problem yang dialami oleh PT. Garuda Indonesia saat ini amat pelik dan sulit dipecahkan. Bagaimana tidak, kebobrokan yang terdapat dalam birokrasi Garuda Indonesia ditambah dengan pola bisnis yang tidak benar telah tertanam bagai bom waktu yang pada saat ini baru meledak.
Peter Gontha, selaku Komisaris Perusahaan penerbangan tersebut bahkan berpendapat agar Garuda dibangkrutkan. Sebab, pemberian bantuan oleh pemerintah untuk menyelesaikan utang Garuda, dinilai bagaikan menyebar garam ke laut, alias sia-sia.
Jika menelaah pola bisnis yang dilakukan oleh Garuda dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) lainnya di Indonesia, dapat dipastikan mereka akan terus mengalami kerugian-kerugian secara beruntun yang berimbas pada kerugian negara selaku pemilik utama perusahaan tersebut.
Mengapa akan selalu merugi? Jawabannya adalah, karena tidak ada efisiensi bisnis yang terjadi dalam tubuh BUMN, khususnya Garuda.
Bayangkan, perusahaan besar sekelas Garuda yang tidak memiliki pesaing, bisa merugi bahkan meninggalkan hutang yang dahsyat. Sebaliknya, maskapai swasta lain seperti AirAsia yang jelas merugi akibat pandemi bahkan selama dua bulan tak bisa membuka layanan (sehingga mereka beralih ke usaha kuliner), namun tak sampai mengalami problem sebegitu parah seperti yang dialami oleh Garuda.
Jika kita menggunakan perspektif pasar bebas, tentu problem utama dari krisis yang dihadapi oleh Garuda hari ini karena mereka menjalankan perusahaan tidak berbasis pada pasar bebas.
*****
Setidaknya, ada tiga problem mengenai masalah BUMN yang relevan dengan kasus Garuda saat ini. Pertama, perusahaan yang kepemilikan dimiliki oleh negara mengakibatkan orang yang mengelolanya merasa bukan pemilik dari perusahaan tersebut. Jika ia gagal, maka orang lain akan menggantikan posisinya tanpa ia merasa sakit hati atau mengalami kerugian.
Jika satu perusahaan milik negara diberikan oleh pihak-pihak yang ditunjuk secara politis dan tidak profesional, maka orang ditunjuk secara politis tersebut cenderung akan melihat perusahaan ini sebagai ladang baginya untuk mensejahterakan diri sendiri. Ini sebabnya banyak BUMN yang merugi akibat korupsi dan salah urus karena ada permainan politik kepentingan di dalamnya.
Berbeda jika perusahaan tersebut dimiliki oleh swasta, maka pemilik akan mempertahankan mati-matian, mengefisienkan segala alokasi dan sumber daya untuk mengangkat perusahaan dari keterpurukan. Ini dilakukan oleh Perusahaan AirAsia yang beralih ke bisnis kuliner untuk mempertahankan pemasukan tanpa membubarkan maskapai penerbangannya.
Selain itu Air Asia juga menjalin kerjasama dengan perusahaan hotel nasional untuk menghidupkan kembali bisnis pariwisata yang mulai bangkit setelah dihantam oleh pandemi COVID-19. Sedangkan Garuda kemudian mengambil aman dengan beralih ke bisnis kargo yang dinilai menguntungkan.
Kedua, Pihak Garuda sebagai BUMN selalu bergantung pada kucuran dan bantuan negara ketika mengalami kerugian. Hal ini membuat mereka yang mengelola Garuda tidak begitu mengambil tindakan cepat ketika terjadi krisis. “Kan ada negara” pikir mereka.
Ketiga, Karena diatur oleh negara, maka Garuda tidak memiliki tujuan yang jelas dalam mengembangkan perusahaannya. BUMN selalu berdalih berdiri untuk kesejahteraan rakyat sehingga tidak melihat potensi bisnis yang dapat menguntungkan perusahaannya.
Penulis pernah membaca majalah Tempo edisi Maret, 1978, ketika itu kawasan Kalimantan Barat yang terkenal banyak aliran sungai tapi masih mengalami krisis air, bahkan Perusahaan Air yang dikelola oleh negara tak mampu menyelesaikan krisis air yang begitu parah.
Hal ini disebabkan karena pengelolaan air minum menggunakan perspektif sosial: air untuk hajat orang banyak, bukan perspektif bisnis. Akibatnya, perusahaan tersebut selalu merugi dan tak mampu melakukan terobosan ketika musim kemarau tiba.
Pemerintah Pusat akhirnya mengubah paradigma tersebut, dari sosial ke ekonomi. Dengan pengelolaan air yang bersifat bisnis, setidaknya perusahaan tersebut dapat memperbaiki fasilitas serta menyelesaikan persoalan krisis air di daerah tersebut (Tempo, Maret 1978).
Privatisasi ini yang menjadi kunci penyelamatan Garuda. Dengan melepaskan Garuda dari segala hiruk pikuk politik kepentingan, maka perusahaan tersebut bisa melakukan langkah-langkah untuk keluar dari jerat hutang yang dahsyat.
Dengan demikian, negara akan diuntungkan karena anggaran dana yang direncanakan untuk menjaga kelangsungan Garuda dapat dialokasikan untuk pembangunan lain yang lebih produktif dan bermanfaat untuk keluar dari krisis pandemi.
Referensi
Majalah Tempo “Sepi Bagi Remaja: Serba Belum Mampu”, 4 Maret 1978 https://www.cnbcindonesia.com/market/20210622123133-17-255028/problem-garuda-rugi-rp35-t-sampai-pensiun-dini-1099-pegawai/2 Diakses pada 4 November 2021, pukul 09.51 WIB.
https://economy.okezone.com/read/2021/06/04/320/2420397/4-fakta-penyebab-garuda-indonesia-di-ambang-kebangkrutan. Diakses pada 4 November 2021, pukul 10.14 WIB.
https://www.hallo.id/ekonomi-bisnis/pr-281554603/peter-gontha-beberkan-lessor-sengaja-membuat-garuda-bangkrut?page=all Diakses pada 4 November 2021, pukul 10.47 WIB.
https://money.kompas.com/read/2021/06/03/183600326/menurut-erick-thohir-ini-penyebab-keuangan-garuda-indonesia-terpuruk?page=all. Diakses pada 4 November 2021, pukul 10.23 WIB.
https://www.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-012047199/ramalannya-tahun-2015-terbukti-rizal-ramli-pernah-sebut-garuda-indonesia-akan-bermasalah-lagi?page=2 Diakses pada 4 November 2021, pukul 10.18 WIB.
https://www.trenasia.com/apa-masalah-utama-garuda-indonesia-hingga-terancam-bangkrut-bekas-komisaris-peter-f-gotha-buka-suara Diakses pada 4 November 2021, pukul 10.29 WIB.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com