Selamat Jalan “Sang Dawam”

    52

    Dawam adalah kata serapan dalam bahasa Arab yang maknanya adalah konsisten, terus-menerus, kontinyu. Jadi seorang yang dijuluki sebagai dawam berarti adalah orang yang mempunyai prinsip dan konsistensi yang tinggi, dapat diandalkan dan melaksanakan sesuatu sesuai prinsip dan nilai-nilai yang mendarah daging. Mencoba berkompromi atau membengkokkan 180 derajat prinsip seorang dawam sama saja dengan mencoba membengkokkan karang di laut, yang berarti hampir mustahil!

    Begitu juga terjadi pada seorang anak yang bernama Dawam. Anak kepala batu yang tegas dan konsisten yang kelak menjadi salah satu tokoh Indonesia, cendekiawan Muslim Indonesia, pelopor dari pendirian Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), penegak toleransi, kebebasan berpendapat, dan kerukunan antar umat beragama. Pemikirannya sangat berjasa bagi modernisasi pemikiran keagamaan di Indonesia. Muhammad Dawam Rahadjo nama lengkapnya.

    Dawam kecil lahir di pertengahan abad 20, tepatnya di tahun 1942. Ayahnya bernama Zuhdi Rahardjo, seorang guru di sekolah Muhammadiyah. Sedangkan ibunya adalah Mutmainnah yang juga seorang guru. Ayahnya kemudian meninggalkan profesi guru dan beralih untuk membuka usaha pemintalan benang dan pakaian batik, sehingga jadilah ia sebagai seorang pengusaha yang sukses.

    Dawam kecil mungkin orang yang cuek dengan apa yang dikerjakan ayahnya, ia lebih asyik dengan buku-buku yang digenggamannya daripada ikut berdagang. Ia menyukai dongeng Hikayat Amir Hamzah, komik Flash Gordon, Tarzan, bahkan membaca surat kabar harian. Ayahnya ingin sang anak meneruskan usahanya, namun rasanya sang anak sudah memutuskan ke arah mana hidup yang ia senangi. Sikapnya yang teguh dalam berpendirian ini ternyata ia pegang erat sampai hari senjanya.

    Ketika ia menjadi mahasiswa ekonomi di UGM, ia aktif di organisasi HMI. Di kemudian hari Dawam Rahadjo menjadi pemuda yang konsisten memperjuangkan modernisasi Islam dan sekularisasi yang merupakan gagasan dari Nurcholish Madjid. Ia bersama Ahmad Wahib dan Djohan Effendi menegaskan bahwa tanpa reaktualisasi dan penyegaran kembali pemikiran Islam, akan membuat umat terbengong-bengong dan pasif terhadap kemajuan zaman yang semakin maju dan berubah dengan cepatnya di era modern ini.

    Sebagaimana aktivis muda lainnya, Dawam Rahardjo memasuki masa dimana ia bersinggungan dengan berbagaimacam teori dan ideologi-ideologi besar dunia. Dalam masalah pemikiran, dia termasuk seorang yang terbuka terhadap gagasan filsafat Islam, Marxime, dan Liberalisme  yang pada saat itu (1960-an) banyak mewarnai gelombang pemikiran di Indonesia. Keterbukaan terhadap segala macam teori dan ideologi ini membuat wawasannya luas. Ia menyerap semua gagasan tersebut sebagai bahan materil yang membentuk pola pemikirannya..

    Ketika G30S terjadi, Indonesia diterpa krisis ekonomi dan pergolakan sosial. Dawam muda menjadi salah satu aktivis 66 yang tegas mengkritik kebijakan pemerintah Orde Lama, menyerukan tuntutan rakyat dan memperjuangkan perubahan sistem dari demokrasi terpimpin menjadi demokrasi yang sejati. Pergolakan 65-66 merupakan pergolakan ideologi dimana antara ideologi komunisme, nasionalisme dan agama saling menyerang dan saling tuduh akibat peristiwa G30S.

    Penggayangan ideologi Marxisme-Leninisme yang saat itu dilakukan oleh pemerintah Orde Baru (Orba) justru tidak lantas Dawam menjadi anti terhadap Marxisme. Dawam mengapresiasi ideologi pemikiran manapun, termasuk Marxisme. Dan dari tulisan-tulisannya di Prisma secara terbuka beliau menggunakan analisa dari kaum Marxis dan Neo Marxian dalam kajian sosial-ekonomi. Ini menunjukkan bahwa ideologi bagi Dawam termasuk hasil dari karya cipta pikiran manusia, dan kebebasan berpikir tidak bisa halangi bahkan oleh undang-undang sekalipun.

    Walaupun Dawam secara de facto adalah salah satu aktivis yang turut menegakkan rezim Orde Baru, namun Dawam tidak pernah masuk ke dalam struktur pemerintahan, baik menjadi anggota Golkar, partai atau menteri. Dawam lebih tertarik meninjau dari luar sembari mengkritik dan menyumbangkan gagasan pembangunan untuk pemerintah.

    Ciri pembangunan dalam pemerintahan Orde Baru cenderung menggunakan pola pembangunan secara terencana, Soeharto memanfaatkan ide-ide  para intelektual yang sejalan dengan doktrin pembangunan Orde Baru. Sifat pembangunan pemerintahan Orba yang serba “lurus” dan anti kritik membuat Dawam sadar bahwa cara seperti demikian justru membahayakan pembangunan bangsa. Soeharto cenderung menjauhi para intelektual yang tak sejalan dengan rancangan dan garis besar kebijakan pembangunannya. Bahkan Soeharto mengasingkan menterinya sendiri, Daoed Joesoef, yang tajam mengkritik pola pembangunannya.

    Sikap anti kritik rezim orde baru justru akan membuat pemerintah lengah atas kekurangan dan tidak menyadari kesalahan dalam proses pembangunan. Dawam tentu menyadari hal ini, bersama-sama dengan beberapa rekannya ia turut mendukung berdirinya lembaga LP3ES, salah satu LSM awal yang didirikan sebagai pengamat, pengkaji, peneliti, sekaligus pengkritik arah kebijakan Orba

    Kebijakan rezim yang menyederhanakan partai dan golongan, serta membuangkam oposisi dalam sistem demokrasi Indonesia, membuat tokoh-tokoh yang rajin mengkritik atau tak sependapat dengan pola kebijakan rezim tidak memiliki tempat dan sarana untuk menampung gagasan dan kritikannya. Akhirnya LSM di masa itu menjadi salah satu alternatif para intelektual untuk mengkritik kebijakan pemerintah, secara tidak langsung LSM telah berfungsi sebagai  “oposisi halus”.

    Di tangan Dawam Rahardjo LP3ES menjadi semacam Think Tank dan menerbitkan majalah berkala, Prisma, yang menjadi salah satu bacaan analisis populer yang sangat berpengaruh dimasanya. Tak hanya berkiprah dan puas menjadi Direktur LP3ES, Dawam juga banyak mengagas, mendorong, menganjurkan tumbuhnya LSM-LSM lain, seperti Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), Lembaga Studi ilmu-ilmu Sosial (LSIS), Lembaga Kebajikan Islam Samanhudi (LKIS), Pusat Pengembangan Agribisnis (PPA), forum ICMI, dan turut berperan dalam mendirikan Yayasan Paramadina.

     

     

    Catatan Perjuangan

    Bukan Dawam namanya jika ia tidak konsisten dan teguh pada prinsip. Sebagai seorang Muslim liberal ia mempunyai pandangan yang humanis, Dawam selalu konsisten dalam membela masalah-masalah kemanusiaan, kebebasan beragama, kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat. Di masa Orde Baru ia aktif mengembangkan wacana modernisasi Islam, liberalisme Islam, HAM, pluralisme, dan kebebasan beragama.

    Ketika tuntutan reformasi bergulir,  Dawam mendukung proses reformasi. Sebab  Cita-cita demokrasi yang dihasilkan oleh gerakan reformasi 98 adalah menciptakan iklim yang mendukung tumbuhnya masyarakat madani (civil society) yang demokratis.

    Namun, setelah reformasi tegak, kebebasan berserikat dan berpikir ini juga membawa konsekuensi munculnya  ideologi fundamentalis dan ekstrim kanan yang justru anti demokrasi dan keragaman. Disini posisi Dawam Rahardjo tak pelak berjibaku dengan kelompok ekstrimis beragama yang berusaha menindas kelompok-kelompok yang berseberangan dengan kelompoknya. Dawam Rahardjo secara aktif menjadi tameng bagi golongan minoritas yang ditindas dan mendapat perlakuan semena-mena dari kelmpok ekstrim tersebut.

    Salah atu contohnya, ketika terjadi kerusuhan yang merugikan komunitas Ahmadiyah yang minoritas, Dawam Rahardjo bersama Djohan Effendi dan Gus Dur menjadi tameng yang melindungi hak-hak beragama bagi jemaat Ahmadiyah. Pembelaannya terhadap Ahmadiyah inilah yang kemudian hari (kaum fundamentalis menciptakan isu)  bahwa Dawam adalah seorang sesat dan zindiq (tanpa melihat betapa besarnya jasa Dawam sebagai seorang cendekiawan Muslim).

    Bahkan ketika kelompok komunitas Eden diserang, Dawam Rahardjo secara ikhlas dan rela membela dan memberi bantuan advokasi kepada mereka yang dirugikan. Tentu sikap toleran Dawam rahardjo bukan hanya kepada kelompok Ahmadiyah, Syi’ah, atau komunitas Eden yang minoritas, tetapi juga agama-agama lain seperti Kristen, Buddha dan Hindu. Nampaknya Dawam mempercayai bahwa konsep cinta adalah universal. Cinta adalah perekat kasih yang menjadi pendorong mengapa ia harus membela mereka-mereka yang tertindas dan diperlakukan semena-mena.

    Bagi Dawam, perbedaan dalam masalah teologi tidak harus sampai kepada tindak kekerasan. Memang setiap pemeluk agama berhak mengklaim dan meyakini agamanya sebagai agama yang benar, namun keyakinan itu bersifat individu atau golongan, tidak boleh ada unsur pemaksaan kebenaran dengan cara menyerang komunitas agama lain dengan dalih agama.

    Fenomena yang terjadi saat ini, banyak orang keliru dalam beragama dan justru mendistorsi konsep agama itu sendiri. Agama bagi sebagaian orang telah menjadi miliknya, mereka menganggap telah menguasai dan mewakili agama tersebut serta menjadikannya sebagai alat. Yang lebih berbahayanya lagi jika seseorang yang meyakini agamanya sebagai kebenaran lalu merasa berhak menghakimi benar salahnya penganut agama lain. Hasilnya dapat ditebak, risalah agama direduksi dari kebaikan dan spiritualitas, menjadi aktivitas ritual dan gerakan politik semata.

    Banyak tokoh di Indonesia mempropagandakan ide-ide kemanusiaan, toleransi, kebebasan, dan persaudaraan antar umat beragama, tetapi kebanyakan hanya terhenti sebagai sebuah wacana. Banyak politisi yang mengkampanyekan pluralisme dan kebhinnekaan, tetapi ketika terjadi konflik antara umat beragama, tokoh tersebut memilih diam atau berlari ke bilik kamar sambil berselimut seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Sedangkan  Dawam Rahardjo terus secara konsisten membela kebebasan beragama dan kebhinnekaan bahkan hingga mempertaruhkan reputasi dan dirinya. Baginya, bukan Dawam namanya jika dia tidak konsisten menyerukan yang haq.

    Bersama-sama Djohan Effendi, Dawam secara konsisten menyuarakan secara vokal tentang demokrasi dan kebebasan. Tanpa kenal lelah mereka terus berusaha memberi kesadaran betapa pentingnya keharmonisan dan legowo terhadap perbedaan.

    Pernah suatu hari kantor jurnal Ulumul Quran (sebuah jurnal Islam yang mempromosikan ide-ide segar dan pembaruan) mendapat ancaman dan protes dar kelompok garis keras yang menentang pemahaman keagamaan yang tertuang dalam jurnal yang ia bina. Secara tegas Dawam menentang sikap keras dan intimidasi mereka, serta siap menghadapi kelompok tersebut lewat jalur hukum.

    Selamat Tinggal

    Dawam Rahardjo menjadi salah satu genersi terbaik bangsa yang secara konsisten bersuara lantang dalam menyebarkan ide-ide perdamaian dan kerukunan. Tanpa peran Dawam, mungkin kita akan melihat betapa tragisnya kaum minoritas di negeri ini dan betapa suramnya wajah keagamaan kita. Bagi kaum minoritas dan marginal di negeri ini, sosok Dawam Rahardjo adalah kado Tuhan yang terbaik untuk Indonesia. Kejeniusannya dan keberaniannya berpendapat patut kita contoh dan dijadikan teladan.

    Tanggal 30 Mei lalu, penulis mendapat pesan WA yang memberitakan bahwa Dawam Rahardjo telah berpulang ke Rahmatullah tepat pada hari ke-15 bulan suci Ramadhan. Kaget, sedih, bingung bercampur baur di hati setiap orang yang merasa telah dilindungi dan dididik oleh Dawam Rahardjo.

    Pada akhirnya sang pembela sudah tiada. Seolah bintang-bintang di langit runtuh berjatuhan. Dawan Rahardjo akhirnya menyusul kedua kawannya, Nurcholish Madjid dan Djohan Effendi. Ada rasa takut dan rasa cemas di hati saya, siapa lagi yang akan menjadi pembela setelah mereka tiada? Siapa yang akan memberikan pencerahan bagi generasi muda agar menjadi manusia tercerahkan dan terbuka?

    Memang ajal merupakan kodrat manusia. Pak Dawam Rahardjo telah meninggalkan kita, Namun kepergian beliau menandakan bahwa generasi tua telah memberikan tongkat estafetnya kepada generasi muda. Segala tanggung jawab dalam membela kebebasan dan perdamaian juga berada dipundak generasi muda. Generasi mudalah yang akan menjadi Dawam-Dawam baru yang konsisten membela demokrasi dan kebebasan.

    Akhir kata, mengutip salah satu bait lagu, Iwan Fals: “…Waktu terus bergulir, Semuanya pasti terjadi, daun-daun berguguran, tunas-tunas muda bersemi..” SELAMAT JALAN  PAK DAWAM,  SELAMAT DATANG GENERASI MUDA, DAN SELAMAT DATANG PEJUANG-PEJUANG BARU..