Warga DKI Jakarta sudah memilih orang nomor satu di Ibu Kota. Menurut hasil hitung cepat, pasangan Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Salahudin Uno berhasil mendapatkan suara mayoritas, dengan angka sekitar 58%.
Jika hasil hitung cepat ini sesuai dengan hitungan resmi Komisi Pemilihan Umum Daerah, berarti Pilkada tidak perlu berlama-lama dilanjutkan menjadi gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Rakyat DKI Jakarta harus menyiapkan pesta untuk menyambut gubernur baru.
Hasil survey dan hitung cepat memang memiliki ketepatan yang berbeda. Survey di DKI Jakarta biasanya melibatkan 500-1200. Di tengah kondisi yang sangat dinamis dan sensitif, akurasi yang tinggi begitu dibutuhkan. Sebuah lembaga survey cenderung memilih untuk menaikan jumlah sample, dibanding meningkatkan nilai margin of error (MoE), yang biasanya berada pada kisaran 5%.
Sementara, proses hitung cepat biasanya memiliki tingkat akurasi yang lebih tinggi. Sebuah lembaga hitung cepat tidak ragu menentukan nilai MoE 0.2%-1%. Meski lembaga-lembaga ini hanya mengambil sekitar 400 TPS (Tempat Pemungutan Suara), nilai MoE kecil tetap bisa dipatok. Jika survey menjadikan pemilih sebagai unit analisis, hitung cepat memiliki tujuan untuk melihat kecenderungan pemilih di tingkat TPS.
Jika sebuah survey mengambil sample sebanyak yang disebutkan di atas, hitung cepat mengambil sample sebesar 400 TPS x 500 pemilih (asumsi 500 Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada setiap TPS). Bisa dikatakan secara umum, hitung cepat sudah melibatkan sekitar 200.000 pemilih. Tidak pernah ada survey melibatkan sample sebesar itu di suatu provinsi. Secara statistik, klaim lembaga untuk menentukan MoE sebesar 0.2%-1% untuk hitung cepat sangat memungkinkan.
Perbedaan hasil sebenarnya masih sangat mungkin terjadi antar lembaga hitung cepat. Terutama jika, perolehan suara antarkandidat berada pada angka rentang MoE, yaitu sekitar 0.2%-1%. Namun berkaca pada kasus perbedaan hasil hitung cepat di Pilpres 2014 yang lalu, akurasi juga cenderung dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar argumentasi metodologis dan statistika.
Melihat hasil hitung cepat beberapa lembaga di Pilkada DKI 2017 ini, kita dapat melihat keunggulan pasangan nomor urut tiga, yang berada pada rentang sekitar 15%. Hasil hitung cepat ini dapat mengklaim kemenengan pasangan nomor urut tiga karena jauh berada di atas rentang MoE.
Hasil ini memang berbeda dengan hasil survey beberapa saat sebelum Pilkada yang tidak bisa mengklaim kemenangan salah satu kandidat. Selisih antara kedua pasangan kandidat di dalam beberapa survey tersebut hanya berada pada kisaran 1%-7%, dimana MoEnya berada pada angka 5%-7%. Beberapa hari menjelang pemilu memang masyarakat tampak belum bisa memutuskan pilihannya. Apalagi, berbagai upaya injurytime dilakukan oleh kedua kandidat.
Sebagaimana dalam tulisan saya sebelumnya yang dimuat Koran Tempo 27 Februari 2017, suara Ahok-Djarot tidak mengalami kenaikan secara signifikan sejak satu tahun sebelum pendaftaran Pilkada DKI Jakarta 2017. Pola 40% pro-Ahok, 30% anto-Ahok, dan 30% undecided tidak berubah hingga hasil hitung cepat. Kelompok anti-Ahok tetap solid, sementara sebagian besar undicided memilih pasangan Anies-Sandi.
Bahkan, suara Agus-Silvi pun tidak berhasil didapatkan oleh Ahok-Djarot. Berdasarkan hitung cepat, tren menunjukan suara pasangan nomor urut satu cenderung berpindah kepada pasangan nomor urut tiga. Yang lebih buruk lagi, suara Ahok-Djarot tidak mengalami perubahan dari hasil yang didapat pada putaran pertama.
Ini seperti menjadi sebuah hukum Pilkada dua putaran. Kita kembali teringat dengan apa yang terjadi di tahun 2012, dimana pemilih pasangan Faisal Basri-Biem Benjamin memberikan dukungan kepada Joko Widodo-Basuki Tjahaya Purnama pada putaran kedua.
Kandidat incumbent cenderung mengalami kesulitan untuk memungut elektabilitas dari kandidat yang sudah gugur di putaran pertama. Seharusnya, tim Ahok-Djarot sudah menyadari, kemudian menyiapkan strategi yang jitu untuk menghadapi permainan ini.
Variabel tingkat kepuasan Ahok-Djarot yang mencapai angka 70% tampak tidak terlalu berpengaruh. Suara solid Ahok-Djarot tampak tidak berkembang. Jika kita mengatakan sentimen agama menghancurkan elektabilitas Basuki, tentunya ini tidak sepenuhnya tepat. Karena memang, jumlah pemilih Ahok sejak dari awal tidak pernah mencapai angka kepuasan publik yang didapatnya.
Selain itu, keberadaan Djarot Saeful Hidayat juga tidak memberikan dampak elektabilitas bagi Ahok. Sebagaimana yang sangat diharapkan oleh Ahok, faktor PDI-P ternyata tidak juga mendongkrak elektabilitasnya.
Berbeda dengan pasangan Anies-Sandi, kedua figur ini memiliki angka elektabilitasnya masing-masing. Faktor Sandiaga sangat menentukan pertambahan suara untuk Anies. Dibandingkan dengan Djarot, angka Sandiaga Uno tentunya jauh lebih baik. Karena memang, Sandi awalnya dipersiapkan untuk menjadi calon gubernur.
Jikalau angka Ahok pernah menembus hingga 75%, itu sangat ditentukan oleh profil penantangnya. Ketika Ahok dihadapkan dengan Isnaeni Wanita Emas, elektabilitasnya bahkan sempat melebihi 80%. Sebagai contoh lain, Ahok bisa menembus 65% jika berhadapan dengan Yusril Izha Mahendra. Sementara itu, angka Ahok bisa mencapai 45% ketika berhadapan dengan Tri Rismaharini atau Ridwan Kamil, yang belum pernah mengeluarkan upaya untuk maju di Pilgub DKI.
Saya tidak tahu, apakah partai politik yang begitu cepat memberikan dukungan dan terdikte oleh posisi tawar Ahok benar-benar sudah menghitung kondisi ini. Dalam bahasa yang lain, saya tidak melihat partai-partai sudah sepenuhnya rasional dalam membaca hasil survey.
Dalam konteks ini, saya sangat apresiasi dengan apa yang dilakukan oleh Susilo Bambang Yudhoyono. Lepas dari kekalahan Agus Harmurti Yudhoyono, sebuah perhitungan yang matang sempat membawa Agus menjadi pemimpin perolehan elektabilitas sementara. Kasus ini mungkin bisa kita diskusikan dengan lebih mendalam pada tulisan yang lain.
Ketika memasuki masa pemilihan akan beda hitung-hitungannya, pemilih pastinya lebih tergerak dan terpapar informasi mengenai track record dari pasangan penantang. Apalagi, distribusi informasi memang begitu mudah untuk tersebar di Jakarta. Selain itu, semua kandidat definitif pastinya sudah memulai pekerjaannya untuk memungut elektabilitas.
Selain itu, saya ingin mengajak sedikit mendiskusikan KTP yang sudah dikumpulkan ketika Ahok masih ingin maju lewat jalur independen. Organisasi Teman Ahok berhasil mengumpulkan lebih dari satu juta fotocopy KTP, sementara pemilih Ahok pada putaran pertama hanya mencapai 2.3 juta.
Artinya, pengumpulan KTP yang dilakukan oleh Teman Ahok tidak memberikan efek yang besar terhadap suara Ahok di dalam Pilkada. Walaupun belum pernah melihat data sebaran KTP yang dimiliki oleh Teman Ahok, kita bisa menduga bahwa satu juta KTP itu lebih banyak berasal dari wilayah-wilayah yang memang sudah menjadi kantong pendukung Ahok. Jumlah KTP yang didapatkan adalah setengah dari total suara Ahok.
Selain itu, sejuta orang yang mengumpulkan KTP tidak memberikan dampak terhadap hasil survey yang menarik sekitar 400-1200 sample saja. Keberadaan pendukung Ahok hanya memusat pada titik-titik tertentu hingga keacakan penarikan sample di dalam survey tidak mampu memotret suara mereka. Jika pengumpulan sejuta KTP memiliki keacakan sebagaimana sebuah survey, pasti hasil-hasil survey Ahok jauh lebih tinggi daripada yang sudah didapatkan.
Bagi incumbent, tentunya strategi ini sangat merugikan. Ahok punya berbagai instrumen program dan kebijakan yang memungkinkannya untuk mendapatkan suara dari luar kantong pemilihnya. Keberadaan pengumpulan KTP malah membuat Ahok mengunci pendukungnya di kantong-kantong yang sudah dikuasai saja.
Sementara itu, daerah-daerah padat penduduk seperti Jakarta Timur dan Jakarta Selatan yang menjadi kunci kemenangan Anies-Sandi tidak terkelola secara maksimal. Pengumpulan KTP yang terkonsentrasi di titik-titik suara Ahok melalui pengumpulan KTP ini memang sebuah langkah yang kurang tepat jika memang tujuannya ingin mendapatkan dukungan partai.
KTP bisa dikatakan bukan sesuatu yang berharga lagi ketika Ahok memilih jalur partai. Database dari hasil pengumpulan KTP yang terkonsentrasi di kantong-kantong suara itu, juga tidak terlalu relevan untuk mendukung kebutuhan strategi.
Salah satu strategi menarik dari Ahok adalah upayanya melakukan delegitimasi terhadap keyakinan kelompok Muslim. Persoalan surat Al-Maidah 51 sebenarnya sudah sering diulang-ulang Ahok. Di dalam konteks Pilkada, perkataan ini memiliki dampak yang lain. Jika cukup rasional, Ahok harusnya memperhatikan hasil survey sudah memperlihatkan bahwa hanya ada 30% yang pasti tidak memilihnya. Oleh karena itu, melakukan deligitimasi terhadap isu agama sebenarnya tidak tepat sasaran.
Dalam kondisi ini, kita tidak juga bisa mengatakan bahwa pemilih Jakarta tidak rasional. Kedua kandidat tentunya memiliki pendekatan rasional. Jika Ahok menekankan pentingnya keteraturan dalam membangun Jakarta, sementara Anies lebih banyak berbicara mengenai kebijakan populis yang memiliki dampak langsung kepada masyarakat.
Anies-Sandi menyampaikan hal-hal yang mudah dimengerti, sementara Ahok-Djarot terkunci dalam rasionalitas yang sudah dibangun sendiri. Ahok lebih banyak mendelegitimasi gagasan Anies, dibandingkan menambahkan sedikit imajinasi terhadap program-program kampanyenya, agar dapat lebih membius kesadaran publik. Lepas dari benar atau tidaknya OKE OCE, konsep itu sudah terbukti menempel di kepala publik.
Mungkin, Ahok lupa bahwa pertarungan dalam Pilkada bukanlah kompetisi siapa yang paling banyak menjawab pertanyaan dengan benar, melainkan siapa yang paling banyak bisa memenangkan kesadaran publik.
Selain itu, faktor relawan dan dominasi di sosial media juga tidak memiliki signifikansi terhadap kinerja Ahok dalam mengumpulkan elektabilitas. Berbagai kesalahan statemen yang diutarakan oleh pendukungnya juga membuat publik kehilangan simpati.
Misalnya, akun twitter Teman Ahok yang mengancam ingin mendemo Kedutaan Singapura di Jakarta karena ada anggotanya yang ditahan di imigrasi Singapura. Selain itu, pernyataan tidak simpatik Denny Siregar kepada demo Petani Kendeng juga sempat menarik perhaian publik. Belum lagi, kampanye Guntur Romli di sosial media juga terkesan arogan.
Secara tidak langsung, serangan-serangan dari relawan Ahok ini membuat OKE OCE dan DP 0% menjadi terkenal. Sekali lagi, lepas dari benar atau tidaknya program tersebut bisa dilaksanakan.
Yang terakhir, Gubernur NTB Tuan Guru Bajang juga sempat menghebohkan sosial media lewat pertengkarannya dengan seorang mahasiswa Indonesia di Singapura yang menghinanya sebagai “pribumi”. Sentimen ini mendapatkan sebuah momentum politis yang mampu menggugah publik.
Lepas dari segala yang terjadi, Pilkada DKI Jakarta sudah menjadi pelajaran demokrasi yang berharga bagi Indonesia. Kita sudah siap menjadi sebuah negara yang mampu memberikan contoh kepada dunia. Saya ucapkan selamat kepada pasangan Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Salahudin Uno yang menduduki kursi tertinggi di Ibu Kota. Semoga Pilkada yang melelahkan dapat menghasilkan kepemimpinan yang mencerahkan.

Arie Putra adalah alumni Departemen Sosiologi FISIP UI. Ia juga menjadi associate di Universitas Indonesia Liberal and Democracy Study Club (UILDSC). Bisa dihubungi via email: arie.putra89@yahoo.com dan twitter: @arieptr.