Sekularisme Prancis dan Amerika Serikat

    829

    Ketika kita mendengar kata negara sekular (secular state), besar kemungkinan yang terbersit di pikiran kita adalah negara-negara Barat seperti Prancis dan Amerika Serikat. Negara-negara Barat memang identik sebagai negara yang memisahkan urusan keagamaan dan kenegaraan.

    Di berbagai negara Barat, agama ditempatkan pada ranah privat dan menjadi urusan institusi keagamaan swasta. Di ruang publik, yang tentunya dimiliki oleh seluruh masyarakat yang memiliki latar belakang yang sangat beragam, hukum positif menjadi aturan yang diberlakukan.

    Selain itu, di beberapa negara monarki konstitusional Eropa di mana kepala negaranya juga merangkap pemimpin Gereja, peran agama di ranah publik hanya bersifat seremonial semata. Para pemimpin agama tidak bisa memaksakan kehendak mereka untuk memberlakukan hukum-hukum yang tercantum di dalam kitab suci kepada seluruh anggota masyarakat.

    Pemisahan antara institusi agama dan negara ini merupakan sesuatu yang sangat penting dan krusial untuk menjaga masyarakat yang bebas dan harmonis, apalagi bila di masyarakat terdapat identitas keagamaan yang sangat beragam. Bila setiap kelompok agama atau institusi keagamaan diberikan kesempatan untuk menjadikan keyakinan yang mereka yakini sebagai agama resmi yang diberlakukan kepada seluruh anggota masyarakat, maka tentu konflik sosial hingga perang sipil antar kelompok keagamaan menjadi sesuatu yang tidak terhindarkan, sebagaimana yang dialami Eropa pada abad pertengahan (ehne.fr, 22/6/2020).

    Namun, penerapan sekularisme di negara-negara Barat tidaklah seragam. Setiap negara memiliki keunikan mereka masing-masing dalam memberlakukan prinsip pemisahan antara institusi agama dan institusi negara. Salah satu perbedaan yang paling kontras yang bisa kita lihat adalah antara sekularisme yang diterapkan oleh Prancis dan Amerika Serikat.

    *****

    Tanah Amerika memang selama berabad-abad telah menjadi tempat pelarian berbagai kelompok keagamaan yang mengalami persekusi agama di negara asal mereka. Jutaan imigran, selama ratusan tahun datang ke negeri Paman Sam, selain karena ingin mendapatkan standar hidup yang lebih baik, juga karena ingin mendapatkan kebebasan untuk menjalankan agama dan keyakinan yang mereka yakini.

    Salah satu peristiwa yang menjadi pionir dari imigrasi ke Amerika Serikat untuk menghindari persekusi agama adalah mendaratnya kapal Mayflower pada tahun 1620 di wilayah koloni Amerika, yang pada masa itu masih dikuasai oleh Britania Raya, atau lebih dari 150 tahun sebelum Amerika Serikat merdeka. Kapal tersebut ditumpangi oleh umat Kristen Protestan, yang dikenal dengan nama kelompok Puritan, asal Britania Raya, yang meninggalkan rumah mereka untuk menghindari persekusi agama yang dilakukan oleh Kerajaan Inggris (Davis, 2010).

    Imigrasi tersebut terus meningkat selama berdekade-dekade hingga berabad-abad, membuat tanah Amerika menjadi tempat yang dihuni oleh berbagai kelompok agama yang sangat beragam. Hal ini membuat perlindungan kebebasan beragama menjadi isu yang sangat penting bagi para Bapak Pendiri Amerika Serikat ketika ingin memerdekakan negaranya dari kekuasaan Kerajaan Inggris pada tahun 1776.

    Salah satu Bapak Pendiri Amerika Serikat yang paling dikenal advokasinya untuk mendukung pemisahan antara institusi negara dan agama dan kebebasan beragama adalah Thomas Jefferson, yang menjadi Presiden Amerika Serikat ke-3. Dalam salah satu suratnya kepada salah satu kelompok Gereja Baptis di negara bagian Connecticut, Jefferson menuliskan bahwa agama adalah urusan seseorang dengan Tuhannya. Oleh karena itu harus didirikan tembok pemisah antara negara dan Gereja (Jefferson, 1801).

    Jaminan atas perlindungan kebebasan beragama dan pemisahan antara institusi keagamaan dan negara tertuang dalam Konsitusi Amerika Serikat. Amandemen Pertama Konstitusi Amerika, secara eksplisit menyatakan bahwa Kongres Amerika Serikat tidak bisa membuat hukum untuk mendirikan agama resmi negara, atau membatasi dan melarang kebebasan seseorang untuk mempratikkan dan menjalankan agama yang diyakininya (History.com, 25/9/2019).

    Bila konteks penerapan pemisahan antara institusi agama dan negara di Amerika Serikat adalah untuk melindungi kebebasan beragama dan mencegah adanya konflik antar kelompok keyakinan yang disebabkan banyaknya institusi agama yang tumbuh dan berkembang di negara tersebut, yang dibawa oleh mereka yang mencari keselamatan dari persekusi, lain halnya dengan di Prancis. Penerapan sekularisme di negara tempat kelahiran Kaisar Napoleon tersebut dikarenakan konflik antara Gereja Katolik dengan kelompok Republikan (Foreign Policy, 7/4/2016).

    Selama berabad-abad, Prancis merupakan negara yang dipimpin oleh Raja yang menganut agama Katolik, di mana Gereja Katolik merupakan agama resmi negara. Revolusi Prancis pada tahun 1789, yang didorong oleh ide-ide Pencerahan, seperti pentingnya kesetaraan dan ilmu pengatahuan, berupaya menghapuskan pengaruh Gereja Katolik yang dianggap sebagai penghambat kemajuan dan pendukung sistem monarki (Bertos, 2010).

    Konflik antara Gereja Katolik dengan kelompok Republikan terus berlanjut hingga pasca Revolusi. Akhirnya, pada tahun 1905, Prancis mengadopsi hukum pemisahan antara institusi agama dan negara, yang dalam bahasa Prancis dikenal dengan laïcité. Hukum ini secara eksplisit menyatakan bahwa Prancis adalah negara sekular (news.cnrs.fr, 13/8/2018).

    Perbedaan konteks historis antara penerapan sekularisme di Amerika Serikat dan Prancis tentu akan menghasilkan praktik dan interpretasi yang berbeda pula. Berbeda dengan penerapan sekularisme di Amerika Serikat, sekularisme di Prancis digunakan untuk mengelola berbagai perbedaan identitas yang ada di Prancis di bawah payung satu komunitas tunggal, yakni komunitas warga Prancis yang bersatu (Historytoday.com, 22/1/2016).

    Melalui laïcité, diharapkan masyarakat Prancis tidak terpecah-pecah melaui pembentukan “ghetto-ghetto” komunitas tertentu, dan dapat bersatu di bawah satu komunitas tunggal sebagai warga Prancis. Hal ini jelas sangat kontras dengan Amerika Serikat yang mendorong pluralisme antar umat dan kelompok beragama, dan sekularisme digunakan untuk melindungi kebebasan berbagai umat dan kelompok keagamaan tersebut (Historytoday.com, 22/1/2016).

    Itulah mengapa, misalnya, di Prancis, berbagai simbol keagamaan tidak boleh dikenakan di ruang publik, khususnya di lembaga-lembaga milik negara. Di sekolah publik misalnya, guru dan siswa dilarang menggunakan simbol-simbol keagamaan demi menjaga karakter sekularisme di sekolah-sekolah negeri, seperti hijab bagi siswi Muslim, kalung salib bagi siswa-siswi Kristen, turban bagi siswa Sikh, dan kippah bagi siswa Yahudi (NYTimes, 11/2/2004). Hal yang sama juga berlaku bagi pegawai pemerintah, termasuk aparat keamanan (Financial Times, 21/10/2019).

    Kebijakan ini jauh berbeda dengan yang diterapkan di Amerika Serikat. Pemisahan antara institusi agama dan negara di Amerika Serikat dimaksudkan bahwa negara tidak boleh memberi keistimewaan pada satu agama tertentu, dan bukan sebagai alat integrasi sosial. Oleh karena itu, seseorang yang memiliki keyakinan agama yang kuat tidak dilarang menampilkan simbol-simbol keagamaan yang diyakininya di ruang publik dan instansi pemerintah.

    Misalnya, pelajaran agama tidak boleh diajarkan di sekolah-sekolah negeri di negeri Paman Sam, karena bila demikian sama saja negara menyokong satu agama atau interpretasi ajaran agama tertentu. Namun, bukan berarti para siswa dilarang untuk menggunakan simbol-simbol agamanya di lingkungan sekolah (SCTimes, 28/2/2016). Hal yang sama juga berlaku bagi pegawai pemerintahan dan juga aparat keamanan. (NYTimes, 28/12/2016).

    Terkait kedua perbedaan sekularisme tersebut, secara filosofis, saya lebih condong sepakat gagasan pemisahan antara institusi agama dan negara di Amerika Serikat. Tujuan utama dari sekularisme adalah untuk menjaga kebebasan beragama dan memastikan negara tidak memberi keistimewaan pada satu agama atau keyakinan tertentu, dan bukan sebagai alat intergrasi sosial atau membentuk identitas baru yang mempersatukan seluruh anggota masyarakat.

    Namun, dalam praktiknya, bagi saya harus dibedakan antara seseorang yang bekerja di institusi negara dan masyarakat yang menjadi penerima fasilitas negara. Ketika seorang bekerja di institusi negara, seperti guru di sekolah negeri atau seorang polisi yang bekerja di lembaga kepolisian, ia tidak lagi menjadi warga negara pribadi (private citizens). Ia merupakan seseorang yang menjadi representasi negara, yang dibayar dengan menggunakan dana masyarakat, dan harus tentunya harus menunjukkan netralitas negara dalam aspek keagamaan.

    Oleh karena itu, dalam kapasitasnya sebagai representasi negara, seorang yang bekerja di institusi negara selayaknya tidak menunjukkan simbol kepercayaan atau mengenakan atribut agama apapun. Ketika seseorang sedang menjalankan kapasitasnya sebagai representasi negara, misalnya ketika seorang guru sedang mengajar di sekolah negeri, atau seorang polisi yang sedang bertugas patroli, dan ia menggunakan atribut kepercayaan atau simbol agama tertentu, maka hal tersebut sama saja dengan negara menyokong satu keyakinan tertentu.

    Hal ini tentu tidak bisa disamakan dengan masyatakat yang menjadi penerima fasilitas negara. Anggota masyarakat yang tidak bekerja di instansi miliki negara adalah warga negara pribadi (private citizens) dan bukan pihak yang menjadi representasi negara. Oleh karena itu, tentunya mereka memiliki hak dasar dan kebebasan untuk menunjukkan identitas keyakinan atau kepercayaan yang ia miliki di ruang publik, yang merupakan bagian dari kebebasan beragama.

    Maka dari itu, meskipun saya menganggap bawah kebijakan pelarangan pegawai di institusi negara untuk mengenakan simbol keagamaan selama dalam jam kerja, seperti yang diberlakukan di Prancis, adalah sesuatu yang tepat, saya sangat tidak menyetujui bila larangan tersebut juga dikenakan kepada anggota masyarakat yang menggunakan fasilitas tersebut. Misalnya, kebijakan melarang siswa yang bersekolah di sekolah negeri untuk menggunakan atribut keagamaan, bagi saya adalah hal yang tidak tepat.

    Siswa yang bersekolah di sekolah negeri bukanlah seseorang yang menjadi representasi negara. Ia adalah anggota masyarakat yang menjadi penerima fasilitas negara, dalam hal ini adalah fasilitas pendidikan.

    Melarang seseorang yang menggunakan fasilitas pendidikan dari negara untuk menggunakan atribut keagamaan akan sama konyolnya dengan melarang seorang penumpang bus yang menggunakan fasilitas transportasi milik publilk, atau seorang pasien yang menggunakan fasilitas kesehatan dari negara, untuk menggunakan atribut keagamaan. Mereka yang bekerja di fasilitas atau institusi tersebut wajib menunjukkan netralitas negara dalam aspek keagamaan, namun tidak masyarakat yang menjadi pengguna fasilitas publik tersebut.

     

    Referensi

    Majalah Online

    Davis, Kenneth C. 2010. “America’s True History of Religious Tolerance”. Smithsonian Magazine. Diakses dari https://www.smithsonianmag.com/history/americas-true-history-of-religious-tolerance-61312684/ pada 6 Januari 2021, pukul 20.15 WIB.

    Bertos, Gemma. 2010. “The French Revolution and the Catholic Church”. History Review Issues. Diakses dari https://www.historytoday.com/archive/french-revolution-and-catholic-church pada 6 Januari 2021, pukul 22.35 WIB.

     

    Surat

    Jefferson, Thomas. 1802. “Jefferson’s Letter to the Danbury Baptists”. Library of Congress. Diakses dari https://www.loc.gov/loc/lcib/9806/danpre.html pada 6 Januari 2021, pukul 20.45 WIB.

     

    Internet

    https://ehne.fr/en/encyclopedia/themes/european-humanism/europe-wars-religion/print-wars-in-europe-during-sixteenth-century Diakses pada 6 Januari 2021, pukul 19.30 WIB.

    https://www.history.com/topics/united-states-constitution/first-amendment Diakses pada 6 Januari 2021, pukul 21.20 WIB.

    https://foreignpolicy.com/2016/04/07/the-battle-for-the-french-secular-soul-laicite-charlie-hebdo/ Diakses pada 6 Januari 2021, pukul 21.50 WIB.

    https://news.cnrs.fr/articles/on-the-sources-of-secularism-in-france Diakses pada 6 Januari 2021, pukul 23.05 WIB.

    https://www.historytoday.com/what-french-secularism Diakses pada 6 Januari 2021, pukul 23.40 WIB.

    https://www.nytimes.com/2004/02/11/world/french-assembly-votes-to-ban-religious-symbols-in-schools.html#:~:text=The%20National%20Assembly%20voted%20by,among%20France’s%20large%20Muslim%20population. Diakses pada 7 Januari 2021, pukul 00.20 WIB.

    https://www.ft.com/content/7d79bbf2-f1cd-11e9-bfa4-b25f11f42901 Diakses pada 7 Januari 2021, pukul 00.40 WIB.

    https://www.sctimes.com/story/news/local/immigration/2016/02/28/students-have-right-wear-hijab/80854794/ Diakses pada 7 Januari 2021, pukul 01.15 WIB.

    https://www.nytimes.com/2016/12/28/nyregion/new-york-police-department-sikh-beard-turban-policy.html Diakses pada 7 Januari 2021, pukul 01.35 WIB.