“Sebagai warisan penjajah Barat, sekularisme merupakan paham yang rusak karena jelas-jelas menolak peran agama dalam pengaturan kehidupan, khususnya dalam politik… Akhirnya Kekuasaan pun hanya dijadikan lat untuk meraih keuntungan materi, bukan untuk melayani kepentingan rakyat dan mewujudkan kemaslahatan mereka… dalam politik sekuler, kebebasan hanya menjadi alat pembenaran berbagai perilaku maksiat.”
Pernyataan diatas termuat dalam buletin “Al-Islam” jumat 31 Maret 2017. Buletin Al-Islam merupakan buletin yang berafiliasi pada Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menjadi corong propaganda organisasi tersebut. Selama saya membaca Al-Islam setiap jumat, buletin yang dahulu selalu hadir di masjid-masjid tersebut selalu menggambarkan wajah sekularisme sebagai monster yang membuat tatanan dunia yang penuh kejahatan.
Sekularisme dianggap sebagai paham penuh dosa yang menjadi biang kerok kerusakan manusia, khususnya umat Islam. sekularisme dianggap sebagai ideologi jahat yang ingin merusak harkat dan martabat manusia. demokrasi dianggap semu dan kebebasan individu hanyalah omong kosong. HTI berhasil membuat citra sekularisme menjadi negatif di masyarakat.
Jika kita menelusuri kata sekularisme di Google, banyak sekali artikel bernada negatif tentang sekularisme. Begitu juga di televisi atau media sosial, para tokoh publik akan berhati-hati dengan istilah sekularisme, bagi mereka mendapat stigma “antek kaum sekuler” sama dengan melenyapkan masa depan karir mereka.
Istilah sekularisme di masyarakat, menjadi istilah yang bermakna peyoratif, hampir sama dengan istilah liberalisme dan pluralisme. Beberapa tokoh politik bahkan menghindari penggunakan kata “sekuler”, bahkan Cak Nur, salah satu tokoh Islam liberal, mengganti istilah “sekularisasi” menjadi “ desakralisasi.”
Karena begitu buruknya citra sekularisme, banyak orang menutup diri untuk mengucapkan kata ini. Akibatnya, banyak orang tidak mau mengkaji dan memahami makna sekularisme dan sekularisasi secara serius sehingga pemahaman mereka terhadap sekularisme cenderung terdistorsi sehingga menimbulkan kesan negatif.
*****
Secara sederhana sekulerisme dipahami oleh masyarakat sebagai suatu sistem yang memisahkan masalah-masalah kehidupan dengan agama. Anggapan ini tak sepenuhnya tepat dan tak sepenuhnya keliru, sebab sekularisme pada dasarnya adalah kebijakan politik, lebih tepatnya pemisahan kebijakan negara dengan fatwa-fatwa agama.
Disisi lain sekularisme juga merupakan pandangan rasional yang mengedepankan akal budi manusia ketimbang doktrin-doktrin yang disusun para agamawan, sebagaimana keterangan George Jacob Holyoake bahwa adalah sistem etik yang didasarkan oleh prinsip moral terlepas dari agama dan spiritualitas.
Banyak orang keliru memahami bahwa sekularisme adalah gerakan anti agama, padahal persoalannya tidak sesimpel itu, sejarah sekularisme adalah sejarah perkembangan kehidupan manusia dan hubungan mereka dengan iman agama. Dalam sejarah, gerakan sekularisme muncul di zaman Renaissance.
Renaissance itu sendiri adalah era dimana spirit humanisme atau pengakuan terhadap nilai-nilai “kemanusiaan” muncul. Renaissance telah membalik cara pandang masyarakat abad pertengahan yang menganggap bahwa manusia itu lemah, terikat takdir yang kuasa, dan harus menerima nasib apa adanya.
Dalam Renaissance manusia adalah makhluk adidaya, akal pikiran manusia adalah bukti bahwa manusia bukanlah hewan kerbau yang bisa dibajak oleh Gereja dan para raja. Sekularisme lahir dari gagasan humanisme, yang meyakini bahwa akal budi manusia bisa menciptakan pemikiran tentang etika, politik, sosial, dan hukum.
Dalam sejarah, sekularisme mulai bergejolak karena para agamawan dalam sepak terjangnya telah menyimpang jauh karena tercampur oleh urusan-urusan duniawi. Machiavelli, menggambarkan dalam buku The Prince (Sang Pangeran) bagaimana kiprah politik Paus Leo X dan anaknya Caesar Borgia untuk menguasai wilayah-wilayah sekitarnya, seperti Romanga. Kebuasan Caesar Borgia mendapat restu dan jaminan dari Paus selaku pemimpin agama.
Dalam sejarah, agama selalu menjadi tameng muka untuk membenarkan tindakan para politisi yang sebenarnya menyimpang dari ajaran agama. Karena agamawan mempunyai otoritas penuh sebagai “pemilik sorga” maka tindakan agamawan dianggap benar oleh orang-orang, sekalipun tindakannya sangat merugikan dan berbahaya bagi maslahat maupun menerabas kebebasan individu.
Pada masa Kekhalifahan Utsmani Turki, Khalifah dan para punggawanya menitahkan agar umat Islam turut membantu Jerman untuk berperang pada perang dunia pertama. Masyarakat Muslim yang tidak mengetahui apapun disuruh berperang hanya untuk membela kehormatan khalifahnya yang dianggap wakil Tuhan. Padahal sang Khalifah mencetuskan perang bukan karena masalah agama, tetapi karena kedekatan personal antara khalifah Turki dengan Raja Jerman.
Ketika Turki kalah, ekonomi mereka rusak hebat, terjadi chaos dan konflik antara kaum Muslim dan Kristen. Wilayah kekhalifahan dicaplok oleh sekutu, dan akhirnya muncul Mustafa Kemal yang bergerak melawan kekhalifahan yang kolot dan totaliter, menggantinya dengan pemerintahan sekuler.
Ide sekularisme bukan hadir untuk menghancurkan agama atau menghabisi agama. Sekularisme muncul sebagai upaya pemisahan antara urusan agama yang spiritual dipisahkan dengan politik yang duniawi. Agama dikembalikan menjadi suatu konsep yang sakral bukan lagi menjadi suatu alat politik yang membenarkan kebijakan politisi atau agamawan yang justru mengorbankan kepentingan orang banyak.
*****
Pandangan bahwa sekularisme bertujuan untuk melenyapkan kepercayaan pada Tuhan dan agama sebenarnya adalah pandangan (bisa dikatakan) terlalu naif. Rasa alergi dan phobia orang Indonesia terhadap ide-ide seperti sekularisme, liberalisme, dan pluralisme, tak lebih karena ketidaktahuan dan misinformasi.
Kita ambil contoh dari negara Amerika, suatu negara sekuler yang dalam propaganda HTI dianggap sebagai “setan besar”. Pew Research Center salah satu lembaga riset di Amerika, pada tahun 2017 melakukan survei mengenai rasa religius orang Amerika. Hampir 54% mereka mengaku mereka beragama dan 75% mengaku mengaku bertuhan tanpa menyebut agama mereka, dan hanya 18% orang yang mengaku tidak beragama dan tidak percaya Tuhan/ateis.
Ini merupakan fakta mengejutkan sekaligus membuktikan bahwa Amerika yang dipropagandakan oleh para radikalis sebagai negara anti Tuhan, justru agama masih berkembang pesat dan rata-rata penduduknya masih beriman pada Tuhan. Pandangan ini sudah cukup untuk membantah paranoia masyarakat Indonesia yang takut jika sekularisme ditegakkan akan menghapus agama dan melenyapkan kepercayaan mereka terhadap Tuhan.
Benar bahwa sekularisme berusaha untuk memisahkan antara agama dan negara, memisahkan peran agamawan sebagai politisi. Sekularisme tidak melarang seorang yang religius atau seorang haji terjun ke dunia politik. Tetapi sekularisme melarang jika “si soleh” itu menggunakan dalil-dalil agama untuk menghabisi lawan politiknya sekaligus mendongkrak citra pribadinya.
Dalam politik yang dibutuhkan adalah kejujuran dan keterampilan. Kesalehan individu juga dibutuhkan agar orang tersebut tidak melakukan korupsi dan kejahatan pada orang lain. Sekularisme mengizinkan nilai-nilai etik agama dipraktikan, tetapi melarang jika dogma dan ritual suatu agama ditegakkan dengan jalan paksa kepada orang lain.
Kita harus jujur bahwa Indonesia adalah negara majemuk. Walau mayoritas manusianya beragama Islam, namun suara mayoritas tersebut hanya secara angka statistik bukan geografik. Sebab banyak daerah-daerah di Indonesia yang mayoritas dikuasai oleh agama Hindu, Kristen, bahkan Buddha, seperti Bali, Papua, dan sebagainya, tidak mungkin dogma dan nilai-nilai Islam dipraktikan secara paksa kepada mereka (dengan dalil apapaun).
Kita juga harus jujur bahwa isu agama pada pemilihan umum dan daerah pada tahun 2014, 2017, 2018, dan 2019 tidak terjadi lagi. Apakah kita tega hanya karena beda haluan politik lantas kita mencap kafir tetangga kita yang seiman? Apakah hanya karena perebutan kursi, kita ingin kejadian “teror jenazah” yang membuat jenazah terbengkalai hanya karena beda piihan politik di DKI terjadi kembali?
Jawabannya TIDAK, karena itu Indonesia harus secara tegas untuk memisahkan antara mana kepentingan politik (demi maslahat setiap warga negara) dan kepentingan agama tertentu. Kita tidak butuh perda agama yang merazia warung dibulan puasa, memaksa orang untuk beribadah tepat waktu, atau memaksa warga untuk berhijab walau non-muslim.
Sekularisme menjamin tiap individu dan kelompok untuk beragama sesuai dengan keyakinan nuraninya, tanpa harus ada paksaan dan tanpa takut diancam oleh gerombolan intoleran. Mengutip kata Cak Nur, “ajaran-ajaran Islam (dan agama secara umum mengandung nilai-nilai yang dipromosikan oleh sekularisme seperti kebebasan, keadilan, dan kesetaran.”
Jadi kenapa kita harus takut pada sekularisme?
Referensi:
http://hizb-indonesia.info/2017/04/03/sekularisme-pangkal-kerusakan/
https://www.pewresearch.org/fact-tank/2018/04/25/key-findings-about-americans-belief-in-god/

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com