Sekularisasi, Negara, dan Kebebasan

    172
    Sumber gambar: https://world-religions.info/secular-humanism/

    Apa yang selama ini disalahpahami oleh sebagian besar masyarakat Indonesia tentang istilah “sekularisasi” adalah soal kekhawatirannya atas liberalisasi. Mereka menganggap bahwa negara sekuler adalah negara yang liberal. Umat Islam Indonesia sangat alergi terhadap hal yang bersifat liberal. Liberal adalah Barat. Barat adalah kafir.

    Jika kita melihat kutipan Sir Christoper di salah satu dinding katedral St. Paul yang berbunyi: “Si monumentum requires, circumspice”. Jika kamu ingin melihat (ku), lihat lah di sekelilingmu (Palmer, 2013: 21). Artinya, suka atau tidak bahwa liberalisme mewariskan demokrasi, saintifik, kelas menengah, termasuk mewariskan sekularisme.

    Satu hal yang disalahpahami oleh masyarakat Indonesia adalah gagasan sekularisasi Nurcholis Madjid atau yang akrab dipanggil Cak Nur. Pada tahun 1970an, Nurcholis pernah menyajikan artikelnya yang berjudul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat” dalam acara silaturahmi antara para aktivis, anggota dan keluarga dari empat organisasi Islam, yaitu Persami, HMI, GPI dan PII, yang diselenggarakan oleh PII Cabang Jakarta (Nurcholis, 2003: xx-xxi).

    Di dalam artikel tersebut, Nurcholis ingin menyampaikan dua poin besar atas permasalahan yang terjadi di kalangan umat Islam Indonesia, yakni soal terpecahnya integrasi umat akibat paham dan kepartaian politik.

    Dua poin besar itu adalah idea of progress (sikap terbuka) dan psychological striking force (daya pukul psikologis) yang dapat melahirkan ide ide yang segar. Inilah awal mulanya ide sekularisasi Nurcholis Madjid yang booming di era Orde Baru, dengan jargon yang familiarnya itu “Islam, Yes, Partai Islam, No

    Jika kita melihat ide Cak Nur tentang sekularisasi, maka apa yang dimaksud dengan sekularisasi itu bukanlah soal yang disebutkan di atas. Sekularisasi yang dimaknai oleh Cak Nur adalah sebagai “devaluasi” atau “demitologisasi” apa saja yang bertentangan dengan tawhid, yaitu pandangan yang paling asasi dalam Islam menyangkut ketuhanan, pada hakikat awalnya berkaitan dengan politik (Nurcholis, 2003: xxvii).

    Seperti yang kita ketahui, mengenai jargon Cak Nur yang familiar “Islam, Yes, Partai Islam, No” bermaksud ingin mengatakan, bahwa partai Islam itu (sekarang) bukan hal yang esensial, dan (sama sekali) tidak berhubungan dengan esensi keIslaman. Mengembalikan mana yang sakral sebagai sakral, dan yang profan sebagai profan. Itulah makna “sekularisasi” yang dimaksud Cak Nur.

    Negara dan Kebebasan

    Jika kita melihat KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) tentang definisi sekularisasi, yaitu hal-hal yang membawa ke arah kehidupan yang tidak didasarkan ajaran agama. Islam dengan kekayaan ilmunya, membahas tentang segala pokok kehidupan. Termasuk soal bagaimana mengelola negara. Bagaimana cara memilih pemimpin dan bagaimana mengatur masyarakat. Di mulai dari soal politik, ekonomi, sosial, agama, budaya dan lain lainnya. Bagaimana membuat masyarakat sejahtera.

    Jadi, sekulariasi bukan tidak didasarkan pada ajaran agama dan bukan soal bagaimana cara memisahkan antara dunia (dalam hal ini negara) dengan agama, melainkan apa yang disampaikan oleh Nurcholis di atas bahwa yang bersifat ilahiah ditempatkan sesuai dengan porsi keilahiannya, begitu juga sebaliknya.

    Islam mengajarkan bahwa kita semua manusia, adalah khalifah Tuhan (wakil dari ciptaan-Nya untuk mengelola dunia dan seisinya). Sebagai wakil yang diamanati untuk mengelola dunia dan seisinya, manusia tidak mungkin dapat memenuhi amanat jika tanpa adanya kebebasan (El Harmouzi, 2016: 168).

    Kebebasan dalam berkehendak. Baik memilih kebaikan atau kejahatan juga memilih kemajuan atau kemunduran.  Bukankah di dalam Al Qur’an mengatakan (2:256): “Janganlah ada paksaan dalam agama”. Intinya Islam mengajarkan bagaimana hidup ini didasarkan atas kebebasan. Bukan paksaan atau autokrasi di dalam sistem negara.

    Kita bisa melihat bagaimana rezim Orde Baru yang disebut sebagai rezim autokrasi/diktator ini dapat  runtuh. Penyebab utamanya adalah krisis moneter. Permasalahan ekonomi menjadi carut marut karena terlalu banyak hutang negara dan korupsi. Selain itu, rezim ini terkenal dengan istilah KKN (Korupsi Kolusi, Nepotisme).

    Pada rezim ini, masyarakat tidak bebas dalam berekspresi. Mengkritik pemeritah akan ditangkap. Masyarakat dibatasi dalam melakukan hal termasuk membuka usaha. Hampir 70% pelaku swasta menguasai sektor perekonomian Indonesia. Kita sebagai masyarakat dibatasi oleh pemerintah. Kekuasaan ada di tangan pemerintah dalam ritme satu komando. Pemerintah menjadikan rakyat tidak bebas. Apakah ini cara pemerintah agar masyarakat sejahtera?

    Referensi

    Palmer, Tom G (ed).  2013. Politik dan Kebebasan. Jakarta:  Suara Kebebasan: Jakarta.

    Madjid, Nurcholis. 2003. Satu Menit Pencerahan Nurcholis Madjid.  Depok: Imania.

    El Harmouzi, Nouh dan Linda Whitestone. 2016.  Islam dan Kebebasan.  Jakarta: Suara Kebebasan.